Rabu, 30 Juli 2014

Puasa dan Kecepatan Cahaya

---{PUASA DAN KECEPATAN CAHAYA }---
Oleh: Ahmad Mukhlas 
Orang berpuasa pada hakikatnya menuntun menuju cahaya. Manusia diciptakan dari sari pati. Sehingga manusia tidak mampu menuju dimensi lain dengan tubuh manusia itu sendiri. Karena tubuh manusia ini merupakan instrumen bagi ruh untuk hidup di dunia. Dapat dianalogikan seperti orang menyelam ke laut dan dia menggunakan pakaian khusus untuk menyelam. Orang itu merupakan ruhnya. Pakaian selamnya merupakan instrumen atau wadah bagi ruh untuk menyelam di dunia yang fana ini. Sementara tabung oksigen yang dibawa penyelam dianalogikan batas waktu umur kita dalam menyelam di samudra kehidupan. Kehidupan dunia penuh keindahan yang menyilaukan seperti keindahan bawah laut yang menggiurkan. Banyak ikan-ikan kecil indah dengan beranekaragam warna dan bentuk, pesona bawah laut dengan terumbu karang yang cantik sangat menggiurkan bagi para penyelam.
Dalam menyelam di dasar laut kita mempunyai tugas mencari mutiara yang menjadi tujuan kita menyelam, sebelum tabung oksigen yang kita gunakan habis di pertengahan jalan. Begitu juga manusia ketika berenang dalam kehidupan dunia, mereka harus menemukan hakikat pencarian hidupnya yaitu hanya untuk Allah Tuhan yang paling berkuasa. Sebelum habis jatah usia yang diberikan pada manusia.
Selain berbagai macam bentuk ibadah, salah satu cara yang dianjurkan untuk dekat pada Allah adalah dengan berpuasa. Berpuasa menjadikan lebih dekat, hati terasa nyambung pada-Nya. Semua perasaan angkuh, sombong dan semua penyakit hati lain menjadi lunak dengan sendirinya.
Jika puasa dalam Al Qur’an, Hadits dan kitab-kitab lain dijelaskan waktunya, tata caranya, keutamaannya. Maka hakikat puasa sebenarnya adalah jalan atau cara untuk melihat Allah sebelum di surga. Karena besok di surga kita diberi kenikmatan luar biasa, mampu melihat Allah secara langsung. Akan tetapi, puasa merupakan jalan pintas atau jalan tol penghubung menuju Allah. Kenapa bisa seperti itu? Dalam fisika puasa dijabarkan sebagai bentuk manifestasi dari teori relativitas cahaya E=mc2.  Teori temuan Einsten, yang mana manusia belum mampu menemukan suatu alat yang bergerak secepat kecepatan cahaya, tiga kali sepuluh pangkat delapan meter perdetik. Jadi berpuasa menjadikan manusia telah menuju waktu yang belum pernah dia sentuh sebelumnya dengan instrumen berupa raga ini.
Dengan berpuasa semua massa tantang hal-hal duniawi seperti keinginan nafsu menjadi berkurang sedikit demi sedikit dan akhirnya hilang. Sehingga kita dapat bergerak menuju kecepatan cahaya. Inilah yang dimaksud dengan hubungan antara massa dan energi. Sementara kerapatan massa dan energi sama dengan kelengkungan ruang dan waktu. Jika massa mampu ditekan, energi menuju kecepatan cahaya semakin tinggi, maka ruang dan waktu menjadi melengkung dan mampu dilampaui. Karena waktu bersifat relatif. Seperti halnya jika kita berpuasa kita menunggu waktu berbuka puasa dengan cara diam saja dan dengan cara melakukan aktivitas maka akan berbeda. Jika kita hanya diam diri dan menunggu waktu, maka waktu akan terasa lama. Tapi berbeda jika kita menunggu waktu berbuka puasa dengan cara melakukan aktivitas lainnya, maka waktu akan terasa cepat. Begitu juga ketika kita tidur, maka waktu akan terasa cepat. Oleh karena itu, waktu dikatakan relatif. Karena pada hakikatnya orang tidur bergerak menuju kecapatan cahaya. Begitu juga orang yang sehari duduk dan akalnya terus bergerak berfikir pada satu tujuan maka waktu akan terasa cepat karena dia bebas dari waktu. Ini menjelaskan kenapa orang zaman dahulu suka tirakat, tahajudya kenceng di malam hari yang sunyi, meditasi atau bertapa di tempat-tempat sepi. Itu hakikatnya karena mereka ingin menuju kecepatan cahaya agar mereka mampu bersama Tuhan-Nya, lebih dekat dengan Allah. Maka dari itu, dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa cahaya Allah itu tak mampu dilihat secara langsung dengan mata manusia kecuali Nabi Musa yang mampu melihat secara langsung dengan mata kepalanya yang tentunya dengan seizin-Nya. Itu karena mata manusia ini masih ada massa yang menghalangi untuk menuju kecapatan cahaya. Dan dari semua kecepatan cahaya tersebut, ada cahaya Allah yang berada diluar kemampuan pemahaman dan pengukuran manusia. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-An’am [6] ayat 103, bahwasanya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Luas Lagi Maha Mengetahui.”  Cahaya Allah sendiri dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nur [24] ayat 35: “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Gagasan tentang kecepatan cahaya diperikan oleh Al-Qur’an melalui ayat-ayat mengenai kilat. Kilat ini memekakkan telinga pendengarnya pada saat berkilau terang, tetapi suaranya beru terdengar setelahnya. Ada dimensi mikroskopik pada elemen waktu:
“Tidaklah kejadian kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Q.S. An-Nahl [16]: 77).
“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti sekejap mata.” (Q.S. Al-Qomar [54]: 50).
“dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.” (Q.S. Qaf [50]: 16).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. (Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 85).
Selain hal-hal yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut, dijelaskan pula dalam konteks yang berbeda dan dalam ayat yang berbeda juga. Dalam Al-Qur’an surat An-Naml [27] ayat 38-40:
“Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah diantara sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”
Berkata Ifrit dari golongan jin: “Aku akan datangkan kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip...”
Ini mengisyaratkan, salah satunya adalah bahwa ada kecepatan yang mampu membawa singgasana dalam sekejap mata. Kecepatan ini yang tak mampu dilihat mata indrawi, sehingga butuh pendalaman lebih untuk mampu mengurai kecepatan yang dimaksudkan seberapa cepat.
Nah dalam konteks sekarang, kecepatan yang masih belum dapat dikalahkan kecepatannya menurut pengamatan manusia, adalah kecepatan cahaya. Kemungkinan kecepatan yang digunakan oleh seorang yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah kecepatan cahaya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa kecepatan cahaya merupakan salah satu pengejawantahan dari rahasia puasa. Bahkan jarak yang begitu jauh dapat dilampaui orang yang berpuasa. Jika lamanya waktu diruang angkasa dikatakan dengan satuan "tahun cahaya". Seperti dalam Al-Qur’an Surat As-Sajdah [32] ayat 5:
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Q.S. As-Sajdah [32]: 5).
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (Q.S. Al-Ma’arij [70]: 4).
“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu,” (Q.S. Al-Hajj [22]: 47).
Maka dengan puasa, jarak yang jauh tersebut dapat dijangkau, bahkan jaraknya yang sangat jauh sampai ribuan tahun cahaya sekalipun.
Selain itu, persepsi tentang waktu juga berbeda-beda. Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab: “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.” Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja kalau kamu sesungguhnya mengetahui.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 112-114).
Sudah tentu bahwa persepsi tentang waktu yang diterangkan dalam ayat Al-Qur’an tersebut sangat berbeda dengan waktu yang terdapat di dunia. Waktu itu relatif dan berhubungan degan kecepatan, serta puasa sangat berperan di dalamnya.

---{***}---

0 komentar:

Posting Komentar