Rabu, 30 Juli 2014

Problem Nilai di dalam Ilmu

PROBLEM NILAI DI DALAM ILMU
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Description: logo-uin-suka-baru-warna.jpgDosen Pengampu: Mukalam









Oleh:

                                    Dian Ayu Puspitasari              (11670004)
Atin Saputri HF                       (11670006)
                                    Kiki Melita Andriani                (11670008)
                                    Hesti Nurmasari                      (11670012)
                                    Dyah Hesti Handarini             (11670024)
                                    Ahmad Mukhlas                     (116700
33)
                                    Hani Hastika                           (11670042)

PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Problem Nilai Di Dalam Ilmu” dengan tepat waktu.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu, selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah khasanah kelimuan kita sebagai mahasiswa Pendidikan Kimia. Makalah ini disusun atas tiga bagian, yaitu:
1.      pendahuluan;
2.      pembahasan;
3.      kesimpulan.
Kami mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam  penyelesaian makalah ini. Tak ada gading yang tak retak. Tentunya dalam penyusunan makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun, penulis butuhkan demi kesempurnaan karya ke depan. Sekian, dan terima kasih.
                                                                                               

Yogyakarta, 1 Mei  2014

Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada masa sekarang ini ilmu sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat sampai mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu tidak hanya menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan dapat mengubah hakiki kemanusiaan itu sendiri, dengan kata lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya tetapi dapat juga menciptakan tujuan hidupnya.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya digunakan untuk mempelajari alam sebagaimana adanya, pada saan ini mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu  dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan ilmu yang seharusnya? Pertanyaan yang semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi keilmuan. Namun pada abad ke-20 para ilmuwan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan berpaling pada hakikat moral.
Sejak saat itu, ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral dalam perspektif yang berbeda. Contoh: Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari. Berbeda dengan pendapat ajaran agama, sehingga terjadi interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik, ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada kenyataan- kenyataan (nilai- nilai) yang terdapat dalam ajaran- ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya yaitu agama. Dari kasus Copernicus tersebut, pada dasarnya mencerminkan suatu pertentangan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dengan ilmu yang berlandaskan pada nilai-nilai di luar bidang keilmuan. Pada makalah ini, akan dijelaskan mengenai paradigma tentang ilmu.


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan ilmu?
2.      Apa yang dimaksud dengan nilai?
3.      Bagaimana paradigma ilmu?
4.      Bagaimana keterkaitan ilmu dengan nilai?

C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian ilmu.
2.      Mengetahui pengertian nilai.
3.      Mengetahui tentang paradigma ilmu.
4.      Mengetahui keterkaitan ilmu dengan nilai.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu
Rasionalitas ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes bersikap skeptik sebagai metode yang meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa aufklarung (masa pencerahan), suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme atau suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam (Adib, 2011: 237).
Istilah ilmu dalam pengertian klasik diartikan sebagai pengetahuan tentang sebab–akibat atau asal usul. Guston Buchelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar.
Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yakni produk-produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk, artinya pengetahuan yang telah diketahui serta diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Ilmu pengetahuan sebagai proses, artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya bukan sebagaimana yang dikehendaki.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat, artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu: universalisme, komunalisme, tanpa pamrih dan skeptisisme yang teratur.
Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu, (dalam Rizal Mustansyir,dan Misnal Munir, 2002: 140-141) yaitu:
1.         Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren.
2.         Ilmu pengetahuan tanpa pamrih karena erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuan.
3.         Universalitas ilmu pengetahuan.
4.         Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif.
5.         Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6.         Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi.
7.         Kritis, tidak ada teori ilmiah yang difinitif.
8.         Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori dengan praktis
Dalam pembahasan tentang ilmu seringkali kita dihadapkan dengan paradigma bebas nilai dalam ilmu. Dalam bahasa Inggris paradigma bebas nilai disebut dengan value free, mengatakan bahwa ilmu dan juga tekhnologi bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali denga nilai. Pembatasan-pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai berarti semua kegiatan yang terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya, yang obyektif, yang terkaji secara kritik.

B.     Pengertian Nilai
Filsafat  sebagai “phylosophy of life” mempelajari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia. Teori nilai berfungsi mirip dengan agama yang  menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini.
Pengertian nilai dalam agama adalah prinsip, standart atau kualitas yang dipandang bermanfaat dan sangat diperlukan. Nilai adalah suatu keyakinan dan kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekolompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna bagi kehidupannya.
Nilai juga diartikan sebagai standar tingkah laku, keindahan, keadilan, dan efisiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya dijalankan serta dipertahankan. Nilai adalah bagian dari potensi manusiawi seseorang, yang berada dalam dunia rohaniah (batiniah, spiritual), tidak berwujud, tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan sebagainya. Namun sangat kuat pengaruhnya serta penting peranannya dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang. Nilai adalah suatu pola normatif, yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi sekitar bagian-bagiannya. Nilai tersebut lebih mengutamakan berfungsinya pemeliharaan pola dari sistem sosial.
Dari dua definisi tersebut dapat kita ketahui dan dirumuskan bahwasanya nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang tidak pantas atau yang pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercayai.
Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan-kenyataan  lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan (pembawa nilai bisa berubah).

C.    Paradigma Ilmu
Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu terikat nilai/ ilmu tak bebas nilai (value bound). Berikut penjelasannya,  
1.         Paradigma Ilmu Bebas Nilai
Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang dalam Ermi Suhasti (2013: 104) menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
a.     Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b.    Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c.     Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkdang hal tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air condition, yang ternyata berpengaruh pada pemanasan global dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan sekitar. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut, tetapi ilmu bebas nilai menganggap nilai ekologis tersebut menghambat perkembangan ilmu. Dalam ilmu bebas nilai tujuan dari ilmu itu untuk ilmu.

2.         Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai
Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen Habermas berpendapat bahwa, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia juga membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan masing-masing;
a.     Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya.
b.    Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuan yang pertama, karena tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuan ini adalah pemahaman makna.
c.     Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.
Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya.

D.    Keterkaitan Ilmu dengan Nilai
Di dunia modern ini, ilmu sangatlah mendominasi.  dipandang dari segi masa depan, ilmu dianggap sebagai sumber nasihat tentang perilaku. Dalam pandangan Habermas, jelas sekali bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam, manusia dan manusia, manusia dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu itu terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja terlepas dari nilai.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan tekhnologi menyangkut tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di masa-masa lalu. Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Kaitan ilmu terhadap nilai-nilai membuatnya tak terpisahkan dengan nilai.




BAB III
KESIMPULAN

Dalam kehidupan sehari-hari, nilai berfungsi mirip dengan agama yang  menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini. Nilai bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan- kenyataan  lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan.
Dalam filsafat terdapat dua pandangan mengenai ilmu, yaitu ilmu bebas nilai dan ilmu terikat nilai/tidak bebas nilai. Ilmu bebas nilai mengemukakan bahwa antara ilmu dan nilai tidak ada kaitannya, keduanya berdiri sendiri. Menurut pandangan ilmu bebas nilai, dengan tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan kita boleh mengeksplorasi alam tanpa batas dan tidak harus memikirkan  nilai-nilai yang ada, karena nilai hanya akan menghambat perkembangan ilmu.
Menurut pandangan ilmu terikat nilai/tidak bebas nilai, ilmu itu selalu terkait dengan nilai-nilai. Perkembangan ilmu selalu memperhatikan aspek nilai yang berlaku. Perkembangan nilai tidak lepas dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.






DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarrta: Pustaka Pelajar.
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
          Tiara
Wacana.
Ghozali Bachri, dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
          Kalijaga.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. 2002.  Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana
Suhasti, Ermi. 2013. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajna Media.
Surajiyo. 2007. Suatu pengantar Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.
          
Jakarta: Bumi aksara.
    


0 komentar:

Posting Komentar