Kamis, 31 Juli 2014

Kebenaran Ilmu

KEBENARAN ILMU
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Mukalam

Description: logo-uin-suka-baru-warna.jpg
Oleh:
Amanatul Qudsiyah (11670014)
Th. Nurmala Ekawati (116700)
Elsa                             (116700)
     Fatkhul Aini Qur’ansyah (116700)
Irma Asfiyani Zahroh (116700)
Rahma Mei Widarti (116700)
Janat Prabowo (116700)
PENDIDIKAN KIMIA
    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
     UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia dalam peradabannya selalu membutuhkan bukti nyata fenomena yang sering ditemui dalam hidupnya. Adanya fenomena-fenomena tersebut mendorong manusia untuk mencari tahu suatu kebenaran dengan pengetahuan yang ia miliki. Banyaknya berbagai sumber menjadikan manusia semakin kaya akan ilmu pengetahuan untuk melihat suatu kebenaran. Suatu fenomena yang telah terjadi serta dapat dilihat dan diyakini merupakan suatu wujud dari kebenaran itu sendiri. Namun bukan berarti salah jika sesuatu yang tidak dapat dilihat, karena semua itu tergantung pada keyakinan yang dimiliki dalam diri manusia itu sendiri, maka dari itu kebenaran berhubungan dengan suatu keyakinan atau kepercayaan
      Teori-teori kebenaran mengarah pada dasar suatu ilmu pengetahuan yang bersifat benar atau salah. Hal ini dapat dilihat dari adanya keterkaitan antara fenomena satu dan fenomena yang lain meskipun kedua fenomena itu berlawanan arah atau tidak sejalan. Diterimanya suatu kebenaran berdasar sifat benar atau salah didasari oleh keyataan dan logika yang bersifat positif, meskipun hal tersebut tidak dialami secara langsung oleh manusia. Diketahuinya suatu hubungan antara fenomena yang telah terjadi sebelumnya serta dianggap benar merupakan salah satu ungkapan dari teori kebenaran. Adanya perbedaan pandangan antar teori kebenaran yang satu dan yang lainnya menjadikan munculnya pragmatism. Dimana anggapan pragmatisme mengenai kebenaran berbeda dengan teori sebelumnya. Pragmatisme ini selalu berkaitan dengan suatu tindakan praktis yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang ada.  Oleh karena itu adanya teori-teori kebenaran ini merupakan salah satu acauan manusia untuk melihat kebenaran itu.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat diketahui bahwa rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian kebenaran itu?
2.      Bagaimana kebenaran berdasarkan teori kebenaran?
C.     Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian kebenaran.
2.      Untuk mengetahui kebenaran berdasar teori kebenaran.





















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Kebenaran
             Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement (Tim Filsafat Ilmu UGM, 2007 ). Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah. Misalkan pernyataan ini: “Ada elektron-elektron, tetapi mereka tidak dapat dilihat. Pertanyaannya bukan mengenai apakah pernyataan ini benar atau salah, tetapi apa yang dimaksud dengan menganggap itu benar atau mempercayai bahwa hal itu benar (Suriasumantri, 2012).
           Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber (Susanto, 2011 ). Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
           Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Susanto, 2011) yang ditulis oleh Purwadarminta menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah :
·   Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenran dan keadilan.
·   Sesuatu yang benar (sugguh-sugguh ada, betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran yang diajarkan agama.
·   Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
·    Selalu izin, perkenaan, misalnya dengan kebenaran yang dipertuan.
·   Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu dapat  dibekuk dengan secara kebenaran saja.
   Terdapat bermacam katagori atau tingkatan dalam arti kebenaran ini, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memilki persepsi dan pengetahuan yang amat berbeda satu dengan yang lainnya.

Pertama-tama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya semua pengetahuan yang dimilki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek dititik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Dengan demikian tingkatan pengetahuan adalah:
1.    Pengetahuan yang memiliki sifat subjektif, artiny amat terikat pada subjek yang mengenal.
2.   Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologi yang khas pula.
3.   Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati.
4.   Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.

Kedua, Kebenaran yang berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membanguannya dengan penginderaan atau sense experience, atau akal pikir atau ratio, intuisi, atau keyakianan. Jenis pengetahuan menurut ini terdiri atas:
1.      Pengetahuan indrawi
2.      Pengetahuan akal budi
3.      Pengetahuan intuitif
4.      Pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.

Ketiga, kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu, artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenran yang sifatnya subjektif atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif ( Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2007).


B.     Teori Kebenaran
Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menetukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu:
1.    Kebenaran korespondensi
            Di dalam Dictionary of Philosophy, Dagobert D Runes menyebutkan kebenaran korespondensi sebagai berikut:
“the theory that the truth of propositions is determined by the existence of one-one correspondence between the terms of the proposition and the elements of some  fact”
Inti dari ungkapan itu bahwa kebenaran korespondensi ialah benarnya pemikiran karena terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain.  Dalam hal ini relevansi dibuktikan dengan adanya kejadian yang sejalan ataupun yang berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan. Bagi positivisme, begitupun positivisme-logis, kebenaran memang seharusnya yang koresponding. Ini sesuai dengan dasar filosofinya yang menyatakan bahwa proporsi yang benar manakala dapat diverifikasi. Adapun verifikasi itu sendiri pada prinsipnya harus berdasar pada observasi. Hal itu diungkapkan oleh A. Anyer dalam karangannya yang berjudul“Languange, truth and logic”:
“Kami mengatakan bahwa suatu kalimat pada kenyataannya bermakna bagi seseorang tertentu, jika, dan hanya jika, ia tahu observasi-observasi mana akan membuat dia –dengan syarat-syarat yang tertentu- menerima suatu proporsi sebagai benar atau menolaknya sebagai salah. Sebaliknya, jika apa yang dianggap sebagai proporsi bersifat demikian rupa sehingga menerima kebenaran atau ketidakbenarannya dapat dicocokkan dengan pengandaian apa pun juga mengenai pengalamannya di kemudian hari, maka bagi orang bersangkutan apa yang disebut proporsi itu tidak lain (kecuali kalau merupakan suatu tautologi) dari pada proporsi semu saja.
Berdasar uraian itu dapat diketahui bahwa bagi positivisme, bermaknanya suatu ungkapan apabila hal itu dapat diverifikasi. Artinya terbuktikan lewat observasi (empiris atau teralami melalui indrawi). Itulah prinsip yang pertama. Kemudian prinsip yang kedua, khususnya bagi positivisme logis, ialah bahwa disamping data empiris, sebenarnya masih ada satu lagi jenis statemen yang bermakna, yaitu ungkapan matematika dan logika. Seperti, untuk matematika segi empat adalah gambar yang dibentuk oleh empat garis lurus yang saling memotong. Kemudian untuk bidang logika misalnya menyebutkan bahwa Indonesia medeka tahun 1945. Ungkapan ini bagi kita yang tidak mengalami peristiwa itu tentu tidak memiliki data empiris.  Namun secara logis dapat diterima kebenarannya, sebab kita bisa membuktikan melalui pernyataan orang lain, dan prasasti/ peninggalan sejarah/ dokumen yang dapatdipercaya, dll.(berarti tidak langsung)
Dengan demikian hal penting yang perlu ditegaskan ialah untuk diterimanya suatu kebenaran secara logis, bagi kebenaran korespondensi, tetap harus didasarkan pada data empiris, meskipun tidak dialami langsung oleh yang membuat statemen. (Ghazali, Bachri, dkk., 2005)
2.    Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran koherensi atau disebut juga teori konsistensi yang menyebutkan bahwa kebenaran tidak dibentuk oleh hubungan antara putusan dengan sesuatu hal yang lain, seperti dengan fakta, melainkan hubungan diantara putusan-putusan itu sendiri. Kebenaran itu dibentuk atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan sebelumnya yang sudah diketahui dan dianggap benar. Ini sebagaimana dikatakan oleh Dagobert D. Runes (Pokja Akademik, 2005):
“Theory of knowledge which maintains that truth is a property primarily applicable to any extensive body of consistent proposition and derivatively applicable to any one proposition in such a system by virtue of its part of system”.
Atas dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa sesuatu yang koheren dengan sesuatu yang lain adalah adanya kesesuian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hierarki lebih tinggi. Maksud dengan hierarki yang lebih tinggi ialah sesuatu yang secara aklamasi dan mutlak dipandang sebagai referensi  atau rujukan. Kondisi ini hierarki yang lebih tinggi itu bisa berupa nilai tinggi itu nilai, skema, maupun sistem (Pokja Akademik, 2005).
Pada masalah nilai dapat dicontohkan, misal nilai moral, bila pada suatu masyarakat yang dianggap benar dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya adalah harus melalui ikatan pernikahan, maka jika terjadi hubungan dua manusia lawan jenis dan berdasar pernikahan, maka hal itu diakui sebagai benar. Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, hubungan itu tanpa pernikahan, maka hal tersebut dianggap tidak benar. Ini artinya adalah kesesuaian atau keharmonisan antara implementasi atau lapangan yang di bawah dengan aturan norma dalil yang lebih tinggi yang diajdikan standar atau patokan bersama (referensi) (Pokja Akademik, 2005).
Hierarki berikutnya yang berupa skema dapat dicontohkan dengan perolehan hasil atau target kelulusan mahasiswa oleh sebuah perguruan tinggi. Jika seumpama ditetapkan bahwa lulusan program studi pendidikan kimia adalah para sarjana yang memiliki wawasan dan kemampuan keterampilan mengajar, maka prodi harus membuat skema atau jalur yang mesti ditempuh oleh mereka. Paling tidak mereka dilewatkan jalur. Pertama, yang membekali kerangka teoritik tentang pendidikan, dan kedua, jalur praktek lapangan guna mengimpletasikan dan sekaligus menguji kemampuan teoritik pendidikan tersebut, sehingga nanti hasilnya akan maksimal (Pokja Akademik, 2005).
Uraian di atas menggambarkan bahwa target atau hasil menjadi rujukan dalam skema hierarki tersebut bagi jalur-jalur lainnya mestinya harus tampak koherensinya. Artinya sifat konsistensi dari masing-masing hal yang ada dalam skema itu harus saling mendukung dan itu dapat dikatakan benar secara koheren (Pokja Akademik, 2005).
Berikutnya kebenaran koheren yang berupa sistem merupakan sesuatu yang terdiri dari beberapa hal dan masing-masingnya memiliki peran dalam mendukung sistem tersebut dapat diumpamakan dengan organisasi. Di dalamnya ia terdiri dari beberapa unsur kepengurusan, misalnya suatu fakultas terdiri dari dekan, pembantu dekan (bidang akademik, bidang keuangan dan personalia, serta kemahasiswaan dan alumni), dan TU. Masing-masing komponen itu dibentuk dan berperan sesuai dengan pertimbangan pemikiran bahwa masing-masingnya berkondisikan sebagaimana dirinya sendiri dan sebagai bagian dari bagan utuh yang lebih besar, yaitu fakultas. Komponen-komponen itu adanya dan aktivitasnya adalah koheren, sebab masing-masingnya sesuaia dengan bagan dan aktivitas yang memang sudah merupakan kemestian (Pokja Akademik, 2005).

3.   Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma ( bahasa Yunani ) yang berarti tindakan atau perbuatan. Kata ini sering sekali di ucapkan orang – orang yang biasanya dipahami dengan pengertian praktis. Kata pragmatisme sering sekali di ucapkan orang. Orang-orang menyebutkan kata  itu dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, rancangan ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.

Menurut teori pramatisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja. Di lain pihak, menurut teori pragmatisme, teori koherensi adalah formal dan rasional, pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apa pun tentang wujud, esensi, intelektualitas, rasionalitas. Pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kebenaran itu dibuat dalam proses penyesuaian manusia (Ihsan, 2010).

Schiller (dalam Ihsan, 2010) pengikut pragmatisme di Inggris mengemukakan bahwa “kebenaran merupakan suatu bentuk nilai artinya apabila kita menyatakan benar terhadap sesuatu berarti kita memberikan penilaian terhadapnya”. Istilah benar adalah sesuatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah adalah pernyataan yang tidak berguna. Kebenaran merupakan hasil sosial, artinya sebagai hasil hubungan osial. Kebenaran individual dikontrol atau dikore

ksi di bawah pengaruh sosial, sampai akhirnya kebenaran itu diterima secara umum.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua. (Ihsan, 2010).
Para pendukung pragmatisme cenderung memberikan penekanan pada tiga pendekatan (Sadulloh, 2003), yaitu:
1.      Bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila memuaskan atau memenuhi keinginan dan tujuan manusia. Kepercayaan akan kebenaran bukan hanya memberikan kepuasan bagi seluruh sifat dasar manusia, melainkan juga memberikan kepuasan selama jangka waktu tertentu.
2.      Bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila dapat dikaji kebenarannya secara eksperimen. Pengujian kebenaran ini selaras dengan semangat dan praktik sains modern, baik dalam laboraturium maupun dalam kehidupan sehari-hari. Begitu suatu kebenaran atau ketidakbenaran muncul, maka kita hendaknya mengujinya atau membuktikannya.
3.      Bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila membantu dalam perjuangan hidup bagi eksistensi manusia. Instrumentalisme Dewey menekankan fungsi bagi kehidupan dari ajaran serta ide-idenya
Kaum pragmatis dalam mencari kebenaran cenderung menggunakan metode sains (ilmiah). Sebab metode ini dianggap berguna dalam menafsirkan gejala alam. Kriteria pragmatisme banyak digunakan oleh ilmuwan untuk menentukan kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karena menurut para pragmatisme tidak ada kebenaran yang abadi dan mutlak.












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
        Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah.
Teori yang dapat dijadikan acuan untuk menetukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu:
1.      Kebenaran Korespondesnsi
bahwa kebenaran korespondensi ialah benarnya pemikiran karena terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain.
2.      Kebenaran Koherensi
bahwa kebenaran tidak dibentuk oleh hubungan antara putusan dengan sesuatu hal yang lain, seperti dengan fakta, melainkan hubungan diantara putusan-putusan itu sendiri.
3.      Pragmatisme
menurut teori pramatisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja.








Daftar pustaka
Ihsan Fuad. 2010. Filsafat Ilmu.Jakarta : Rineka Cipta
Pokja Akademik. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Sadulloh, uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: alfabeta
Suriasumantri, jujun. 2012. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu:suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ Bumi Aksara, Jakarta:2011.
Tim dosen filsafat ilmu UGM. 2007. Filsafat Ilmu. Liberty, Yogyakakta.



0 komentar:

Posting Komentar