Senin, 18 Februari 2013

Cintaku Bertaut di Perpus



Awalnya Gue agak heran juga dengan pengunjung perpus yang belakangan ini lebih ramai dari biasanya, tapi bisik-bisik para cowok itu akhirnya sampai juga ditelinga gue. Tenyata penyebabnya adalah kecantikan sang pegawai perpus yang katanya mencapai titik kulminasi batas normal itu (ribet banget ye..).
“Sebuah kecantikan yang berdampak sistemik”, begitu bunyi rerumpian para kaum adam sekampus. Gue pun penasaran, secara kayaknya belakangan ini tidak ada satu makhluk-pun diperpus yang ciri-cirinya disebutin itu.
Akhirnya tibalah saat dimana nasib mempertemukan gue dengannya...
Gue yang saat itu sedang nyari buku Metode penelitian, sedang kebingungan mencari alamat buku itu...gue awalnya mau lapor polisi suruh nganterin ke alamat buku Metopen ini, tapi gue takut kalau nanti malah dianterin ke percetakannya atau dianterin ke RSKOA (rumah sakit khusus orang alay). Ya udah, gue pasang muka bingung aja supaya ada pegawai perpus yang kasihan sama gue dan nulungin gue nyari alamat sang buku. Akhirnya datanglah seorang cewek menghampiri gue, alamak....SESUATU BANGET...
Gue gugup, keluar keringat hangat...
Gue pun malah menawarkan bantuan duluan ke dia, ”ma..maaf mbak, ada yang bisa saya banting...eh bantu?”
”Hmmm..tadi masnya kelihatannya yang butuh bantuan deh” kata mbaknya sambil tersenyum tipis..
Gue tersenyum garing, ”Saya mau nyari buku Metode penelitian, mbak.”
”O, Metopen...karangannya siapa mas?”
Hah mbaknya yang cantik tanya siapa pengarang buku Metopen yang gue cari?, gue aja baru pertama nyari buku Metopen...sudah ditanya karangan siapa. Cuma ada dua pengarang buku yang gue tahu, Raditya Dika dan satunya lagi Empu Prapanca. Dan gue yakin Metopen yang gue cari bukan karangan mereka. Gue pun ngasal dengan nyebutin ketua PSSI yang akhir-akhir ini memang sedang diperbincangkan orang, ”Emmm...karangannya Profesor Djohar Arifin mbak.”
Mbaknya pun mencarinya lewat komputer pencarian, tapi nggak ditemukannya..(ya jelas saja nggak ditemuin, sejak kapan Pak Djohar nulis buku Metopen?)
Mbaknya-pun mau menanyakan buku yang saya maksud ke bapak-bapak yang jadi senior utama diperpus. Tapi sebelum dia balik dari bertanya ke bapak-bapak itu gue udah kabur duluan sambil membawa sebuah pertanyaan untuk mbaknya...
Mbak yang cantik, namanya siapa ye..?
Bersambung,,,,,,,,,,,,,,,,,
....................................................................
Pesona mbak penjaga perpus yang baru itu membuat tidur gue nggak enak, makan pun juga nggak nyenyak (kebalik ya? Whatever), mirip lagunya Armada jadinya. Apakah gue sedang dimabuk cinta?
Semakin hari, gue semakin kangen sama mbaknya. Tapi gue bener-bener nggak tahu siapa mbak-nya itu. nama nggak tahu, nama Fb-pun nggak tahu, apalagi nomer HP, nggak tahu juga. Kemana...kemana...kemana, kemana gue harus menacari informasi tentang mbaknya?
Gue curhat ke temen-temen gue, curhat ke abang-abang tukang somay, curhat ke tukang laundry-an disebelah kos, siapa tahu dari mereka ada yang tahu tentang mbak penjaga perpus itu. Tapi mereka semua tak tahu. Justru mereka semua membuat gue nyadar kalau gue tuh bego banget, ”kenapa elo nggak ke perpus lagi. Lalu kenalan sama mbaknya langsung?” begitu mereka memberikan saran ke gue. Ternyata hasil reaksi antara sifat kealayan dengan terlalu sering nonton sinetron dapat menciptakan produk bernama Dramatisiriusbegous.
Pagi harinya, Gue kembali bertandang ke perpus, dengan sebuah misi untuk berkenalan dengan mbaknya. Terlihat disana, mbaknya sedang beres-beresin buku. Beberapa langkah dari tempat mbaknya berdiri, aroma wangi sudah tercium hidung gue. Wanginya bukan seperti wangi trasi digoreng sob..ini wangi parfum, tapi ini bukan parfum biasa. Sangat wangi, gue nggak bisa ndefinisiin wanginya seperti apa. Pokoknya membuat jantung para lelaki berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang (alah..).
“Mmm..Mbak...” sapa gue dengan gugup. DNA jomblo gue memang membuat gue terserang gagapgugupitis kalau sedang ndeketin cewek.
Mbaknya noleh..sekejap itu juga hati gue berdzikir, ”Subhanallah”..
”A.a..ada apa mas?” mbaknya ikut-ikutan gagap. Nggak deng..
”Saya yang kemarin nyari buku metode penelitian mbak”
Mbaknya mulai teringat sosok gue yang mempesona naudzubillah kemaren..
”Oh..yang karangannya Profesor Djohar Arifin itu ya mas. Sayang sekali mas, buku tersebut belum tersedia di perpustakaan ini” mbaknya mencoba menjelaskan. Tapi gue nggak merhatiin apa yang diomongin. Mata gue kosong. Pesona mbaknya benar-benar menghipnotis gue. Manis wajahnya, baunya parfumnya, suaranya yang seksi itu... semuanya. Lama-lama kalau begini, gue nge-kos diperpus aja.
”mas..mas” suara mbaknya menyadarkan gue dari lamunan.
”Oh gitu ya mbak” gue berusaha menutupi aib kegoblokan gue. Sejenak gue teringat misi utama gue hari ini: kenalan sama Mbak cantik dihadapan gue.
”Eh, mbaknya punya pistol nggak?” gue memakai cara lama untuk berkenalan sama cewek dengan bertanya apakah si cewek punya barang yang kita asal saja nyebutinnya yang sekiranya si cewek nggak punya atau nggak bawa barang itu. Lalu ketika mereka bingung dengan apa yang kita maksud, kita dengan mantap bilang, ”kalau nama punya kan?”. Ide super kampret ini gue dapet setelah berguru selama dua hari dua malem di Padepokan Kampret dengan guru utama Syaikh Kampreduddin.
Mbaknya kelihatan bingung. Dan gue langsung bilang dengan mantap, ”kalau nama punya kan?”
Mbaknya senyum. Aih..senyumnya manis sekali. Mungkin aja sekarang kadar gula darah gue mencapai titik tertingginya (sepertinya habis dari perpus gue harus pergi ke rumah sakit untuk ngecek kadar gula. Siapa tahu habis melihat senyum mbaknya gue terkena diabetes meletus).
Sejenak mata kita bertemu. Sepertinya telah terjadi chemistry diantara kita. Sayup-sayup terdengar lagu ”Bila kau jatuh cinta”-nya Nidji. Gue berharap suasana ini nggak cepet berakhir...
”Santi kesini...” sebuah suara memecah keromantisan suasana itu.
”Sorry mas..” mbak penjaga perpus meninggalkan gue yang mematung tanpa bisa bergerak mungkin karena kadar gula yang sudah terlalu tinggi, namun gue nggak kecewa karena gue sekarang tahu nama bidadari cantik ini: Santi!.
-----
Oleh : Mischa Arifin