Minggu, 31 Maret 2013

Ibn Al-Arabi


Ibn Al-Arabi
Makalah  ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak dan tassawuf
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Syafaatun Almirzanah

Disusun oleh:
Hafsyah Siti Zahara       (10670004)
Mafika Yekti Arweni     (10670038)
Vika Puji Cahyani          (10670044)  
Hendra Budi Gunawan  (11670018)
Beni Yanuar Dwi Satrio         (12670037)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Dunia Islam telah melahirkan para tokoh besar dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bahkan diantaranya tak bisa ditandingi oleh tokoh-tokoh cendekiawan dari dunia luar, baik ahli hukum, filsuf maupun para fisikawan dan astronom serta matematikawannya. Dunia Barat sungguh berutang budi pada dunia Islam, karena transfer pengetahuan abad pertengahan senantiasa melalui interpretasi cendekiawan Muslim.
Tokoh paling unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan seorang imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali, seorang ulama Islam yang jumlah karya-karyanya tak tertandingi oleh ulama Islam mana pun. Ia adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim, saudara Ady bin Hatim ath-Tha'y. Kemudian ia biasa dipanggil dengan Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Selain itu, ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar. Walaupun lahir di Andalusia, namun bernasab Arab.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat  Ibn Al-Arabi
Ibn al-Arabi mempunyai nama lengkap Abu Bakr Muhammad Ibn al-Arabi al-Hatimi al-Tai. Ibnu 'Araby lahir kedunia bertepatan tanggal 17 Ramadhan, hari Senin, tahun 560 H atau tanggal 29 Juli 1165 M di kota Marsia, Ibu Kota Andalusia Timur. Sebuah kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama, cendekiawan dan penyair besar Islam. Beliau dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”). Kendati tidak mendirikan tarekat popular, pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis (Narulloh,1994).
 Beliau tumbuh di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan yang masing-masing membentuk ideologi kehidupan dan tingkah psikologis sehari-harinya. Kelak dari keluarga inilah lahir filsuf besar, dan imam para sufi agung yang belum tertandingi dalam dunia Islam. Ibunya adalah Nurul Anshariyah. Sungguh ibunda agung ini, menyusui putranya dengan air susu taqwa, menyuapinya dengan suapan mahabbah, mendidikknya lahir dan batin, hingga mencapai karakter dimana jiwa ibunda telah berpisah dari kemanusiaan menuju karakter uluhiyah. Suatu ketika, sufi besar Fathimah dari Kordoba berkata kepadanya, "Wahai Nurul Anshariyah, anakmu ini, adalah "ayahmu", didiklah dengan baik dan jangan kau batasi." Ibunda Ibnu 'Araby tidak terkejut dengan kata-kata itu, dan ia terima dengan penerimaan yang baik (Narulloh,1994).
Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar disekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Beliau diajari Al Qur’an oleh salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang kemudian sangat dia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun. Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih, teologi, dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana (Narulloh,1994).
 Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatnya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibnu Rusyd (w 595 / 1198) di Kordova. Ibnu ‘Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filsuf  besar Ibnu Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibnu Rusyd, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, karena ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles – Astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, etika, logika – dan dan ulasan-ulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles (Narulloh,1994).
Percakapan Ibnu ‘Arabi dengan filsuf  besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan  dan pertentangan asasi antara jalan akal logis dan jalan imajinasi gnostik yang kemudian membagi pemikiran Islam secara keseluruhan kedalam 2 cabang. Fakta bahwa sufi muda mengalahkan filsuf peripatetik itu dalam tukar pikiran tersebut dengan tepat menunjukan titik buhul pemikiran filosofis dan pengalaman mistik Ibnu’Arabi, yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam kesadaran metafisisnya. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan paling dekat dengan, dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibnu’Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa atau lebih tepat telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya kedalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana terdalam dalam hubungan dengan struktur metafisikanya kedalam waÄ¥datul wujÅ«d (Narulloh,1994).
 Pada usia relatif muda, sekitar usia 16 tahun, beliau menjalani pengasingan diri (khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah wafatnya, diceritakan bahwa Ibnu ’Arabi suatu ketika ikut pesta makan-makan bersama  teman-temannya dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu disajikan anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia mendengar seruan, “Wahai Muhammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” Karena ketakutan mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Disana ia menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat hari ia tetap tinggal disana sendirian melakukan khalwat, melakukan zikir dan hanya keluar saat shalat (Narulloh,1994).
 Ibnu’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya : Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan Al Muwahiddin selama beberapa waktu, dan dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman konvensi atau pencerahan. Kejahilan Ibnu’Arabi bukan merupakan masa ia melakukan dosa besar atau tindakan yang melampaui batas, namun hanya ketidakpedulian (terhadap Tuhan) dan godaan dari daya tarik duniawi. Ini adalah masa yang hampir semua manusia pasti mengalami, agar mereka memahami makna kejauhan dari Tuhan dan karena itu memahami makna kedekatan dengan Tuhan (Narulloh,1994).
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin bersama-sama mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova. Beliau berkata, “Alasan aku menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut : aku pergi bersama tuanku, Panglima (Al Muwahidin) Abu bakar Yusuf bin Abd al Mu’min bin Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova, dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon pada Allah. Kemudian pikiran melintas (khatir) menerpaku (sehingga) aku berkata pada diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana dihadapan Allah, maka dunia ini tidak artinya”. Lalu aku meninggalkannya pada hari itu juga, dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti Jalan ini”. Begitulah, sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Isa, Musa dan Muhammad (Narulloh,1994).
Ibnu ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun. Qadhi ketua di Damaskus dan 2 orang murid Ibnu ‘Arabi melakukan upacara pemakamannya. Tentang isteri-isterinya menurut R.W.J. Austin yang dapat diketahui ada tiga orang yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla, Fathimah binti Yunus bin Yusuf, putri seorang syarif di Makkah dan seorang wanita yang tidak diketahui namanya, putri seorang Qadi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus. Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibnu ‘Arabi) tidak diketaui namanya serta bagaimana nasibnya (Narulloh,1994).

B.     Ajaran-Ajaran Ibn Al-Arabi
Pemikiran atau inti ajaran tasawuf Ibnu Arabi :
a.    Wahdat al – Wujud
Diantara ajaran terpenting Ibn Arabi adalah tentang kesatuan wujud (Wahdat al -Wujud) yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam .Aspek luar disebut makhluk (al- Khalq) aspek dalam disebut Tuhan (al haqq). Menurut faham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah  bayangan dari aspek dalam tersebut (Jamil, 2007 : 109) .
Sebagaimana doktrin doktrin beliau dalam kitab Futuhad Al-Makkiyah dan Fushush Al-Hikam esensi KeTuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal dan tanpa atribut( sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi dalam keTuhanan-Nya, Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan adalah absolut, ciptaannya ada secara relative dan yang muncul sebagai relasi realitas adalah wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala sesuatu adalah atribut Tuhan dan dengan demikian semua pada akhirnya identik dengan Tuhan,tanpa memandang bahwa semua itu sebenarnya bukan apa apa (Ali, 2004 : 147).
Ibnu Arabi menjelaskan lebih jauh : “manusia itu bagi tuhan adalah merupakan mata dengan mata, dimana mata dapat melihat dan dilihat. Penglihatan ini diibaratkan dengan pandangan hingga ia dinamakan manusia. Dengan manusia tuhan memandang kepada makhluk dengan kasih sayangnya. Manusia itulah yang baru, yang melimpah, yang berkekalan, yang abadi dan ia juga merupakan kalimah pemisahdan penghimpun. Dan jika tidaklah zahir tuhan pada benda-benda makhluk niscaya tidak ada sifat-sifat dan asma-Nya.dan manakala sudah kenal terhadapnya, kitapun mengenal dia dan melalui tajalli-Nya kita mengenal alam semesta” (Laily, 1996 : 189-190).
Menurut Ibnu Arabi wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat.Adapun kalau ada  yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpulkan dalam ucapan Ibn ‘Arabi, “Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu” (Rosihan, 2004 : 176-177).
Pengertian ‘wujud’ yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurutnya adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam, tidak memiliki wujud. Walaupun kenyataannya Ibn ‘Arabi juga menggunakan kata ‘wujud’ untuk menyebut sesuatu selain Tuhan, ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Dengan demikian, wujud itu hanya satu, yakni wujud Tuhan. Untuk memperjelas uraiannya itu, Ibn ‘Arabi memberikan contoh, yaitu cahaya hanya milik matahari, namun cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi (Rosihan, 2004 : 149).
Sehubung dengan ini, Ibnu Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut :
Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakana, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar”.
(Rosihan, 2004 : 145-149).
Ibn Al Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah menampakkan diri atau membuka diri, jadi diumpamakan Allah bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori ini makhluk adalah bayang bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya. Lebih lanjut  Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam. menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam tempat tajali dan mazhar (penampakan Tuhan). Menurutnya ketika Allah menciptakan alam ini. Ia juga memberikan sifat sifat keTuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa.oleh karena itu Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam sifat dan asma-nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya.yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun (Laily, 1996 : 189-190).
b.      Haqiqah Muhammadiyah
Konsep haqiqah Muhammadiyah ini lanjutan dari konsep Wahdat al –Wujud. Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad .Menurutnya tahapan tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu adalah sebagai berikut:
1)      Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak    berhajat kepada suatu apapun.
2)      Wujud haqiqah Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan ) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala wujud dengan proses tahapan tahapannya.Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Nur muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi degan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan merealisasikan dari Muhammad pada diri pengikutnya dari kalangan para wali dan insan kamil (Laily, 2002 : 153).
 Dalam teori penciptaan ini Ibnu Arabi menganut faham tajalli atau tanazul (menampakkan diri). Dalam pandangan Ibnu Arabi bahwa Nur Muhammad (haqiqah muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari tahapan tahapan tanazul zat Tuhan dalam bentuk bentuk wujud. Dari haqiqah muhammadiayah segala yang maujud dijadikan. Dengan demikian penciptaan alam semesta ini termasuk manusia dalam teori Ibnu Arabi berasal dari zat Tuhan sendiri kemudian bertanazul kepada haqiqah muhammadiyah sebagai tanazul tingkat pertama yang dari padanya melimpah wujud wujud yang lain. Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat (penampakan) Allah pada lingkaran wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Zatnya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan keagunganNya. Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendaharaan tersembunyi tersebut dengan Tajalliyat (teofani) Haq tentunya yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya. (Simuh, 1997 : 197).

c.       Wahdat al - adyan (kesamaan agama)
Ibnu Arabi yakin bahwa umat manusia dan agama-agama yang tumbuh ditengah-tengah umat manusia itu adalah memiiliki prinsip dasar yang sama yaitu menyembah kepada Allah Yang Maha Esa. Kitab-kitab suci alqur’an, zabur, taurat, injil dll memiliki prinsip ajaran dasar yang sama, sedang yang berbeda itu adalah syariatnya saja. Demikian juga masjid, gereja, kelenteng dll melaksanakan ibadah dalam berbagai cara, namun yang dituju adalah Yang Maha Esa itu. Perbedaan antara satu agama dengan agama lain hanyalah dalam lambang dan simbol yang ditonjolkan bagi masing-masing pengikut. Umat manusia dan Tuhan yang disembah adalah satu jua, kapan pun mereka hidup dan dimanapun mereka berada (Laily, 1996 : 192).




C.    Karya Ibn Al-Arabi
Ibn ‘Arabi tidak menulis seperti penulis biasa. Ia pernah berkata,“Apa yang telah aku tulis, tidak pernah tertulis dengan satu tujuan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Cahaya-cahaya dari inspirasi Ilahi sering terpancar kepadaku dan hampir menyelubungiku, hingga aku hanya bisa mengekspresikannya dari pikiranku dan mencatat di kertas apa yang telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku tampak berupa sebuah komposisi, itu terjadi tanpa disengaja. Sebagian karyaku, telah kutulis karena perintah dari Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku di dalam mimpi atau melalui kasyaf. Kalbuku berpaut di pintu Hadirat Ilahi, menunggu dengan penuh kesadaran apa yang akan datang ketika pintu itu terbuka. Kalbuku fakir dan membutuhkan, kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada kalbu dari balik tirai, kalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang sudah ditentukan.” (Narulloh,1994).
Karya-karya Ibn ‘Arabi sangatlah banyak, diantara sekian banyak itu ada beberapa karya yang terbesar. Karya-karya tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
1.      Al- Futuhat Al Makiyyah
Karya Ibn ‘Arabi yang terbesar adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat, tegas Ibn ‘Arabi, bukanlah satu karya individualis, tetapi, “Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku semua yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi.”

Karya besar Ibn ‘Arabi ini ia selesaikan di Damaskus, tempat terakhirnya menetap hingga akhir hayat.Dalam kitab Futuhat, dia menyebut-nyebut dua saudara laki-laki ibnya yang sufi, Abu Muslim Al-Khawlani dan Yahya bin Yughan. Tentang Al-Khawlani, Ibn Arabi mengisahkan bahwa dia akan memukuli kakinya dengan tongkat manakala merasa lelah mengerjakan sholat. Dia diriwayatkan pernah mengatakan, “Apakah Sahabat-sahabat Muhammad saw mengira bahwa mereka bisa memiliki beliau sepenuhnya, demi Allah, kita akan berdesak-desakan dengan mereka sampai mereka menyadari bahwa mereka telah meninggalkan orang-orang di belakang mereka (yang lebih berhak dan pantas memiliki beliau)” (Narulloh,1994).
Kitab futuhat juga tertuang mengenai istrinya, Maryam. “ Istriku yang saleh, Maryam binti Muhammad bin ‘Abdun mengatakan, “ Aku telah melihat dalam tidurku seseorang yang belum pernah kulihat sendiri sosok orangnya, tetapi muncul pada saat-sat ekstaseku. Ia bertanya kepadaku pakah aku ingin menempuh jalan itu. Aaku pun menjawab ya, tapi aku tidak tahu dengan sarana apa aku bisa sampai kepadanya. Ia lalu memberitahuku bahwa aku akan bisa sampai kepadanya dengan lima hal : amanah, keyakinan, kesabaran, keteguhan hati, dan kejujuran.” Begitulah, isteriku mengemukakan visinya kepadaku (untuk kurenungkan) dan aku pun mengatakan kepadanya bahwa yang demikian itu memang metode yang ditempuh oleh kaum Allah.” (Narulloh,1994).
2.      Tarjuman Al-Asywaq (koleksi puisi terbaik)
Puisi ini dikritik oleh para ulama karena terlalu mengumbar kenikmatan dan sangat bersifat duiniawi, karena berisi pujian atas keelokan tubuh seorang wanita yang ia jumpai di Makkah. Akan tetapi sahabat Ibn ‘Arabi mendesaknya untuk menulis komentar dengan mempertahankan integritas komposisi dan gubahannya. Dalam komentar ini, dia berbicara tentang wanita cantik sebagai berikut : “Ketika aku tinggal di Makkah, di sana aku bertemu dengan banyak pria maupun wanita yang sangat terhormat, beradab dan shaleh. Tak ada satu pun di antara mereka yang membangga-banggakan diri, sekalipun mereka memiliki berbagai keutamaan dan kemuliaan ; orang-orang seperti…Abu Syaja Zhahir bin Rustam bin Abu Raja Al-Isfahani dan saudara perempuannya, Binti Rustam, seorang wanita tua alim, seorang teladan cemerlang di kalangan kaum wanita…Syaikh ini mempunyai seorang anak gadis, seorang dara langsing dan semampai yang memikat orang yang melihatnya, yang kehadirannya menerangi pertemuan-pertemuan dengan sinar cemerlang…Namanya adalh Nizham (keselarasan) dan nama panggilannya adalh ‘Ayn Al-Syams (mata sang surya). Dia sangat religius, alim, zuhud, seorang bijak di antara orang-orang bijak di tanah Suci itu” (Narulloh,1994).
3.      Fushush Al-Hikam
Fushush al-Hikam, menurut Ibn ‘Arabi adalah pemberian dari Nabi sendiri. “Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dalam satu penglihatan batin (“mubasysyirah”) yang telah diperlihatkan kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada tahun 627 di kota Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau berkata kepadaku: ‘Ini adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan sampaikanlah ia kepada manusia dan manfaatkannya.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar dan aku taat Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amr dari kalangan kami sebagaimana yang telah diperintahkan kepada kami.” (Narulloh,1994).
Jelas dari kalimat Ibn ‘Arabi, kitab Fushush al-Hikam bukanlah karyanya sendiri. Tetapi secara esensial ia adalah kitab dari Sumber Ilahi. Ibn ‘Arabi sekadar menyatakan kitab tersebut dalam bentuk tulisan. “Maka aku pun mengaktualisasikan pesan tadi, dan mengikhlaskan niat, serta memfokuskan keinginan dan aspirasi untuk menyatakan kitab tersebut sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa penambahan dan pengurangan.” (Narulloh,1994).
Tentang nama kitab ini, Qaysari menafsirkan ketika Ibn ‘Arabi memberitahu, “Ini adalah kitab Fushush al-Hikam”, ada kemungkinan di sini beliau ingin memberitahu bahwa nama kitab tersebut di sisi Allah adalah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi menamakan kitab itu sesuai dengan namanya di sisi Allah. Sudah tentu antara “nama” (al-ism) dan “yang dinamakan” (al-musamma) akan ada relasi. Dan namanya menandakan bahwa “yang dinamakan” adalah intisari (quintessence) hikmah-hikmah dan rahasia yang telah diturunkan kepada arwah para nabi yang disebut dalam kitab itu. Al-Fashsh juga berarti tempat terletaknya batu-cincin atau cap-cincin (seal). Karena kalbu insan kamil adalah tempat tertulisnya hikmah Ilahiah, maka itu kalbu diumpamakan sebagai al-fashsh. Dari itu kata Fushush al-Hikam berarti tempat terletaknya batu-cincin yang bernilai atau dengan kata lain, ia adalah kalbu-kalbu insan kamil yang terletak dan terkandung di dalamnya hikmah dan rahasia Ilahiah. Dan insan kamil di sini direpresentasi dengan para nabi, yang kalbu mereka adalah lokus termanifestasinya hikmah Ilahiah (Narulloh,1994).
Ibn ‘Arabi mendefinisikan manusia sebagai insan, dalam hubungannya dengan ruh kebenaran yang membentuk jiwa-jiwa atas pengesahan  atas ridho-Nya terhadap ketetapa-ketetapan yang telah diijinkan kepada hamba-hambaNya yang telah mencapai insan Kamil. Sebagai contoh, semua yang dilakukan Rasulullah SAW adalah ‘benar’ menurut Allah SWT karena beliau maksum, dan semua sunnah-sunnah yang dilakukan, bila diikuti secara kaffah, maka akan menjadi benar bagi ummat, kecuali orang tersebut tidak lagi bertauhid, maka akan keluar dari garis Rasulullah. Dan cerminan ini digambarkan Ibn Arabi dalam kausalitas manusia dengan alam, sebagai keterikatan yang tak terpisahkan, sesuai firman-Nya tentang penciptaan alam semesta dengan dasar yang terikat dengan penciptaan Muhammad SAW, serta keberlangsungan alam semesta berkaitan dengan keberlangsungan ‘manusia sempurna’ (Nabi, Rasul serta Wali-Nya) (Narulloh,1994).
Dalam penjabaran tentang malaikat, Ibn ‘Arabi memaparkan kedudukan mereka serta pembatasan-pembatasan atas pemahaman malaikat atas ilmu-Nya, dan malaikat tidak mampu melebihi manusia (bila diizinkan mencapai-Nya), sebagai bentuk atas utusan, kekhalifahan, serta wakil-Nya, di mana disimpulkan, bahwa malaikat terbatas dalam sifat-sifat dan nama-nama yang baik (dalam anggapan manusia) dan dalam ridho-Nya. Karya-karya Ibn ‘Arabi yang lain adalah Insya’ Al-Dawa’ir, Hilyat Al-Abdal, Taj Al-Rasa’il, Ruh Al-Quds, Al-Tanazzulat Al-Mawsilyyah dan lain-lain (Narulloh,1994).











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Ibn ‘Arabi setelah bertemu dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin bersama-sama mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova, saat dia  melihat panglima itu bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon pada Allah. Sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Isa, Musa dan Muhammad.
2.       Inti ajarannya :
a.       Wahdat al –wujud : Konsep wahdat al Wujud yakni Bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
b.      Haqiqah Muhammadiyah : Dalam pandangan Ibnu Arabi bahwa Nur Muhammad (haqiqah muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari tahapan tahapan tanazul zat Tuhan dalam bentuk bentuk wujud. dalam teori Ibnu Arabi penciptaan alam semesta berasal dari zat Tuhan sendiri kemudian bertanazul kepada haqiqah muhammadiyah sebagai tanazul tingkat pertama yang dari padanya melimpah wujud-wujud yang lain.
c.       Wahdat al - adyan (kesamaan agama) : Ibnu Arabi yakin bahwa umat manusia dan agama, kitab, lambang, dan simbol  yang tumbuh ditengah-tengah umat manusia memiiliki prinsip dasar yang sama yaitu tertuju kepada Allah Yang Maha Esa.
3.      Karya Ibnu Arabi
Ibnu ‘Arabi menghasilkan banyak karya, sejumlah 300 buku. Di antara buku-buku itu, yang dikenal adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah juga Tarjuman al-Asywaq adalah karya besarnya. Ia pernah berkata bahwa apa yang telah ia tulis, tidak pernah tertulis dengan satu tujuan melainkan terinspirasi dari cahaya-cahaya Illahi hingga ia bisa mengekspresikannya dengan mencatat di kertas apa yang telah ditampakkan kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Mahdi Khan. 2004. Dasar Dasar Filsafat Islam : Pengantar Ke Gerbang Pemikiran. Bandung : Nuansa
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Jamil, M. 2007. Cakrawala Tasawuf:Sejarah,Pemikiran dan Kontekstualitas. Jakarta: GP Press
Mansur, Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Narulloh, M.S. 1994. Sufis of Andalusia karya Ibn Arabi. Bandung : Mizan
Simuh, 1997. Tassawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo