Senin, 29 April 2013

KEANEKARAGAMAN AGAMA MENURUT IBN AL-ARABI


Ibn al-Arabi merupakan seorang figur yang telah menjadi pusat kontroversi didalam tradisinya. Dilihat dari sudut pandang ini, maka bukan sesuatu yang aneh jika seseorang berinisiatif untuk menggunakan pemikiran figur ini yang kontroversial ini sebagai sumber kajian bagi pemahaman tentang keanekaragaman agama. Bagi mereka yang mempunyai keberatan serius terhadap penggunaan figur ini disebabkan kontroversi dalam beberapa aspek pemikiran-nya.
Perspektif Ibn ‘Arabi tentang agama berbeda secara mendalam dari asumsi metodologi Barat kontemporer tentang peranan dan fungsi umat manusia di dalam alam semesta (cosmos). Tentu saja, kebanyakan sarjana agama tidak menyuarakan asumsi mereka dengan cara itu, tetapi ini seperti asumsi yang tak terkatakan yang menyajikan keumuman di antara mereka. Asumsi-asumsi ini mungkin lebih mudah dinyatakan dalam term negatif ketimbang term positif. Sebagai contoh, kesarjanaan modern berlawanan dengan kesarjanaan Islam tradisional tidak mensyaratkan sebuah realitas paripurna yang menyatukan semua eksistensi, suatu kebutuhan nyata bagi kehidupan umat manusia, suatu dimensi moral bagi aktifitas manusia dan dunia alami, asal-usul ilahiyah dari agama-agama, atau kebenaran teks-teks suci. Seseorang mungkin menjawab bahwa fundamentalis Kristen, sebagai contoh, mensyaratkan beberapa atau semua hal tersebut, dan bahwa mereka tidak memainkan peranan terhormat dalam lingkaran akademis. Saya akan tambahkan bahwa mereka juga tidak mengetahui akan teknik penafsiran mereka yang sukar dipisahkan atau evaluasi positif mereka mengenai pluralitas keagamaan.
Bagi Ibn al-Arabi, keanekaragaman secara esensial adalah karena hakikat tidak berulangnya keanekaragaman jiwa manusia begitu mereka diwujudkan oleh Yang Esa. Sebagai elemen fundamental dari dunia fenomenal, setiap manusia secara alamiah merupakan mahall (secara literer berarti satu “tempat/wadah” atau mazhar (lokus manifestasi)) dimana Yang Esa menampakkan Diri-Nya dalam dan pada wilayah fenomenal. Karena tradisi agama dipahami atau terpenuhi dalam kehidupan individu manusia yang terdiri dari berbagai komunitas agama, perbedaan atau keragaman manusia sebagai manifestasi tertentu dan berbeda dari Wujud Yang Esa, terefleksi dalam tradisi tertentu sebagai suatu keseluruhan. Berbicara secara cukup terbuka mengenai isu keanekaragaman agama, sang Master menulis:
Kamu hanya menyembah apa yang kamu tetapkan sendiri. Itulah sebabnya doktrin serta hal mengenai Allah berbeda-beda sehingga salah satu kelompok akan mengatakan bahwa Dia seperti ini dan yang lain akan mengatakan Dia tidak seperti ini, melainkan seperti itu. Kelompok lain mengatakan berkaitan dengan pengetahuan (tentang Tuhan) bahwa warna air ditentukan oleh warna cangkirnya… maka pertimbangkan kondisi “ketersaingan/mistifikasi” yang merasuki (sariyya) tiap kepercayaan/agama.
Ibn al-Arabi sangat senang mengutip sang master Sufi Baghdad abad kesembilan belas, Abu al-Qasim Muhammad al-Junayd (d. 910), yang pernah menggunakan metafora air diwarnai oleh wadahnya sebagai metafora “kesatuan dalam keragaman”: “Warna air akan sesuai dengan warna wadahnya”. Akan tetapi, kecintaan Ibn al-Arabi terhadap metafora ini tidak menunjukkan bahwa dia memandang semua agama mempunyai makna sama, melainkan semata-mata bahwa, sebagaimana elemen fundamental lain dalam tata aturan yang ada, semua agama berasal dari Tuhan. Orang dapat meringkas atau memfrasa ulang interpretasi Ibn al-Arabi terhadap metafora air yang dipakai oleh Abu al-Qasim Muhammad al-Junayd dengan menegaskan bahwa jika air merepresentasikan Wujud Tuhan, keanekaragaman agama direpresentasikan oleh warna atau warna-warna wadahnya. Oleh karenanya, warna atau warna-warna secara langsung berkaitan dengan “kesepian” agama tertentu untuk menerima manifestasi tertentu dari Yang Riil. Terdapat beberapa agama yang mungkin bersifat monokromataik atau memiliki warna sangat terbatas atau bahkan kabur. Agama-agama lain mungkin mempunyai warna-warna yang lebih jelas, tetapi dengan nada atau kualitas yang berbeda, dan seterusnya. “Dia Yang menampakkan Diri-Nya,” Ibn al-Arabi menulis, “dalam arti Dia dalam Diri-Nya sendiri adalah Esa dalam entitas, tetapi yang menampakkan diri-maksudku bentuk-bentuknya (misalnya keragaman agama)-adalah beragam.
Karena masing-masing manifestasi Tuhan adalah satu dan tidak pernah berulang, masing-masing agama juga adalah satu dan bersifat eksklusif. Karena objek masing-masing agama adalah satu-yaitu “Tuhan di dalam agama “atau” Tuhan yang disembah oleh masing-masing orang beriman” berbeda dengan Tuhan yang disembah oleh yang lain. Sebenarnya, Ibn al-Arabi berusaha menegaskan pandangan ini dengan membicarakan keragaman “Sembahan” (Rabb) yang merupakan manifestasi Yang Esa:
Setiap orang beriman mempunyai satu Sembahan (Lord/Rabb) dalam hatinya yang dia wujudkan, lalu dia percayai. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang mempunyai tanda di hari kebangkitan nanti. Mereka tidak menyembah sesuatu kecuali apa yang mereka buat sendiri. Itulah sebabnya, ketika Tuhan menampakkan Diri dalam bentuk yang lain dari yang sudah mereka tandai, mereka ragu. Mereka mengetahui apa yang mereka imani, tetapi apa yang mereka imani tidak mengetahui mereka, karena mereka telah mewujudkannya. Menurut aturan umum, karya seni tidak akan mengetahui siapa yang membuat karya, dan bangunan tidak mengetahui siapa yang membangun.
Bagi Ibn al-Arabi, penting bagi orang beriman untuk mengatasi atau pergi menuju sesuatu yang berada di balik “ Tuhan yang diciptakan dalam agama “. Bagi sang master, jalan Tasauf akhirnya akan membawa seseorang untuk jauh mengatasi atau pergi menuju sesuatu yang berada di balik “warna” yang dibawa oleh afiliasi agama. Aka tetapi, hal itu bukan berarti suatu rekomendasi untuk pendekatan relativistik terhadap agama. Kita harus ingat, sebagaimana ditekankan sebelumnya, bahwa dalam pemikiran Ibn al-Arabi, Hukum Tuhan (yaitu Shari’a) sangat penting dalam realisasi mengenai yang Riil (la haqiqa bi la shari’a). Dengan demikian, jalan menuju Tuhan harus difasilitasi oleh iman dan amal yang murni dan paling benar yang dimungkinkan. Bagi Ibn al-Arabi, semua ini dapat ditemukan dalam interpretasi dan amaliah yang benar dari sunah nabi Muhammad, penutup para nabi yaitu yang biasanya dirujuk dengan “Islam”.
Kebanyakan pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman agama berdasar pada ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tradisi agama-agama selain Islam. Berbeda dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa ayat-ayat eksklusif tertentu dalam al-Qur’an menghapus(naskh) ayat-ayat inklusif tertentu di dalamnya sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan bahwa islam menghapus agama- agama yang ada sebelumnya, Ibn al-Arabi tidak mempunyai kesimpulan yang demikian. Bagi Ibn al Arabi, semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain. Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dari cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Kondisi sebagai tersembunyi adalah seperti penghapusan agama-agama lain dengan hadirnya agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad. Sekalipun demikian hal itu sebenarnya tetap eksis sebagaimana eksisnya cahaya bintang. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama inklusif kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi tertolak (batil) dengan adanya penghapusan (naskh)- itu adalah pendapat orang bodoh.
Apa yang dikatakan Ibn al-Arabi pada dasarnya adalah merupakan kewajiban bagi Muslim untuk mengikuti jalan yang dibawa oleh Rasul mereka, Muhammad dan berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an. Pada saat yang sama, dia juga menekankan bahwa hakikat al-Qur’an adalah inklusif, yaitu bahwa di dalamnya tercakup jalan para Rasul sebelum Muhammad. Dia menulis:
Di antara jalan yang ada adalah jalan yang diberkahi. Ini merujuk pada firman Tuhan “ bagi masing-masing kalian, Kami telah menetapkan suatu jalan yang benar dan hukum.
Ibn al-‘Arabi menggangap bahwa tujuan agama adalah untuk membawa pada kesempurnaan umat manusia pada tiga modus karya, kedudukan dan ilmu pengetahuan. Para nabi adalah model-model yang memantapkan paradigma-paradigma kesempurnaan yang berbeda. Ilmu pengetahuan adalah salah satu dimensi kesempurnaan, dan dalam banyak cara merupakan hal yang paling penting dan dimensi yang paling fundamental. Hal ini butuh pembedaan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat. Dia menulis, “Karena seseorang bergerak mendekati kesempurnaan. Tuhan memberinya pembeda di antara berbagai urusan dan pembenaran baginya terhadap realitas. Realitas adalah segala sesuatu di alam semesta (dunia/universe) yang diketahui oleh-Nya sendiri.




Daftar Pustaka
Almirzanah Syafa’atun, Ph.D., D.MIN. 2008. When Mistic Masters Meet (Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chittick William C. 2009. Imaginal World (Ibn al-‘Arabi and The Problems of Religious Diversity). Alih bahasa Samantho Ahmad Y. New York: State University of New York.

Minggu, 28 April 2013

AL-GHAZALI



1.      Biografi
Nama lengkap dari Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Nama panggilannya adalah Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali, karena ia lahir di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran. Ia lahir pada tahun 450 H (1058 M), tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah Al-Ghazali merupakan seorang yang miskin yang bekerja sebagai pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Sebelum wafat, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya, yang bernama Ahmad kepada seorang sufi dengan menitipkan sedikit harta dan berwasiat kepadanya agar kedua anaknya mendapatkan apa yang belum didapatkan oleh dirinya.
Sang sufi menjalankan isi wasiat tersebut dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya, kemudian ia menyarankan kedua anak titipan pada pengelola sebuah madrasah untuk belajar dan menyambung hidup mereka. Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani dan memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Selain itu, ia juga belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Karena kemahirannya dalam menguasai ilmu-ilmu tersebut, Al-Juwani menjulukinya “Bahr Mu’riq” (lautan yang menghanyutkan).
Setelah Imam Haramain wafat (478 H/1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad dan sejak saat itu dia menjadi termasyhur di kawasan kerajaan Saljuk, sehingga dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad pada tahun 483 H/1090 M meskipun usianya baru 30 tahun. Dengan timbulnya pergolakan dalam dirinya karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya ketika melakukan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, Al-Ghazali memutuskan untuk melepasakan jabatan dan pengaruhnya untuk meninggalkan Baghdad untuk menuju Syiria, Palestina dan Mekkah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1111 M di Thus.
Banyak sekali karya-karya tulis yang ditinggalkan oleh Al-Ghazali, yang menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, yang dikarangnya sejak usia 25 tahun dan berkarya selama 30 tahun. Beberapa tema karangannya antara lain: filsafat dan ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlak.
2.      Ajaran Tasawuf
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah. Dari ajaran tasawufnya tersebut, ia menjauhkan semua kecendrungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan, sehingga dapat dikatakan tasawuf tersebut benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalnu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil pemikiran sendiri, sehingga Al-Ghazali menolak tasawuf semi filsafat. Selain itu, ia juga menolak paham hulul dan ittihad serta menyodorkan paham baru tentang makrifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam, karena mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqh dan ilmu kalam yang sebelumnya terjadi ketegangan. Selain itu, Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan (sa’adah).
a.       Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Harun nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi, bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyl) dari Allah. Pada waktu itu juga, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah dan sampailah ia ke tingkat makrifat.
b.      As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung dan mulia. Sedangkan kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati. Kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati, sebab qalb tidak ikut mati dan justru kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

Daftar Pustaka
Solihin, M dan Rosihan Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Selasa, 02 April 2013

AL-HALLAJ


Nama lengkap al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir pada tahun 244 H/858 M di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia. Masa dewasa ia lalui di kota Wasith, dekat Baghdad. Ketika usia 16 tahun dia pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaz selama 2 tahun dan Amar al-Makki di Basrah. Kemudian pada tahun 264H (878 M) dia masuk ke Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu tasawuf.
Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan ibadah haji, dan kembali ke Baghdad, mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India. Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan.
Pada tahun 297H (910 M), ia ditangkap dan dipenjara oleh penguasa Baghdad yang disebabkan oleh kekhawatiran kebesaran al-Hallaj yang mempunyai pengikut banyak dan kecenderungan aliran yang digunakan olehnya adalah aliran syi'ah. Selain itu ia juga dituduh berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas. Walaupun sempat melarikan diri selama 4 tahun, akhirnya Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H  ia dimasukkan penjara lagi dan mendapatkan hukuman mati dengan cara dipukul dan dicambuk dengan cemeti, kemudian disalib, dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan dibakar serta dihanyutkan abunya ke sungai Dajlah.
Sepanjang hidupnya, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku. Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain: kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur, al-Abad wa al-Mabud, Kaifa Kana wa Kaifa Yakun, dan lain-lain. Adapun ajaran tasawuf yang diajarkan oleh al-Hallaj yaitu: hulul, al-haqiqatul muhammadiyah dan kesatuan segala agama.
sumber:
 Nurbakhsh, Javad. 1995. Wanita-Wanita Sufi. Bandung: Mizan
Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia

RABIAH AL-ADAWIYAH


Nama lengkap dari Rabi’ah al-Adawiyah adalah Ummu al-Khair bin Ismail al- Adwiyah al-Bashriyah al- Qaisiyah. Ia lahir di Basrah, Iraq diperkirakan pada tahun 95 H dari golongan suku Atiq dan memiliki tiga saudara putri. Hal inilah yang menyebabkan dia diberi nama Rabiah, yang berarti putri keempat.
Pada masa kecilnya, Rabiah merupakan seorang anak yang cerdik, lincah, takwa dan taat. Selain itu, ia juga memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu mampu menghafal al-qur’an disaat usianya masih 10 tahun. Ketika remaja, Rabiah pernah menjadi seorang budak yang disebabkan oleh kematian kedua orangtuanya sehingga ia pergi berkelana dan jatuh ke tangan perampok sehingga ia dijual sebagai budak. Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah menjadi pilihannya. Rabi’ah menepati janjinya pada Allah untuk selalu beribadah kepadaNya sampai menemui ajalnya. Ia selalu malakukan shalat tahajjud sepanjang malam hingga fajar tiba. Rabi’ah tidak tergoda kehidupan duniawi, hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam dalam kecintaannya pada Allah SWT dan beramal demi keridhaanNya.
Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupannya sendiri dengan memilih hidup zuhud dan hanya beribadah kepada Allah. Selama hidupnya ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran lelaki yang meminangnya. Pangkat, derajat, dan kekayaan tidak mampu memalingkan cinta pada kekasihnya Allah SWT. Pada usia 90 tahun, Rabiah meninggal dunia dan dimakamkan di kota kelahirannya.
Pada masa itu, yang berkuasa di Basrah adalah Bani Umayyah. Hidup mewah mulai meracuni masyarakat terutama di kalangan istana. Melihat kondisi demikian, kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban untuk menyerukan pada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam kemewahan. Sejak saat itu, kehidupan zuhud mulai menyebar luas di kalangan masyarakat.
Menurut at-Taftazani, karakteristik asketisme (zuhud) islam pada abad pertama dan kedua hijriah adalah sebagai berikut:
1.   Asketisisme ini didasarkan ide menjauhi hal-hal dunia demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka.
2.   Asketisisme ini bercorak praktis dan para pendirinya tidak menaruh pendirian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas asketisismenya itu.
3.   Motivasi asketisisme ini adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan yang sungguh-sungguh.
Dalam kehidupan sufi Rabiah al-Adawiyah, tedapat 3 ekspresi agama yaitu: ekspresi verbal, ekspresi grafis, dan ekspresi motoris. Dari ketiga ekspresi tersebut, hanya ekspresi verbal dan motoris saja yang dilakukan oleh Rabiah al-Adawiyah.

sumber:
Nurbakhsh, Javad. 1995. Wanita-Wanita Sufi. Bandung: Mizan
Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia