Senin, 29 April 2013

KEANEKARAGAMAN AGAMA MENURUT IBN AL-ARABI


Ibn al-Arabi merupakan seorang figur yang telah menjadi pusat kontroversi didalam tradisinya. Dilihat dari sudut pandang ini, maka bukan sesuatu yang aneh jika seseorang berinisiatif untuk menggunakan pemikiran figur ini yang kontroversial ini sebagai sumber kajian bagi pemahaman tentang keanekaragaman agama. Bagi mereka yang mempunyai keberatan serius terhadap penggunaan figur ini disebabkan kontroversi dalam beberapa aspek pemikiran-nya.
Perspektif Ibn ‘Arabi tentang agama berbeda secara mendalam dari asumsi metodologi Barat kontemporer tentang peranan dan fungsi umat manusia di dalam alam semesta (cosmos). Tentu saja, kebanyakan sarjana agama tidak menyuarakan asumsi mereka dengan cara itu, tetapi ini seperti asumsi yang tak terkatakan yang menyajikan keumuman di antara mereka. Asumsi-asumsi ini mungkin lebih mudah dinyatakan dalam term negatif ketimbang term positif. Sebagai contoh, kesarjanaan modern berlawanan dengan kesarjanaan Islam tradisional tidak mensyaratkan sebuah realitas paripurna yang menyatukan semua eksistensi, suatu kebutuhan nyata bagi kehidupan umat manusia, suatu dimensi moral bagi aktifitas manusia dan dunia alami, asal-usul ilahiyah dari agama-agama, atau kebenaran teks-teks suci. Seseorang mungkin menjawab bahwa fundamentalis Kristen, sebagai contoh, mensyaratkan beberapa atau semua hal tersebut, dan bahwa mereka tidak memainkan peranan terhormat dalam lingkaran akademis. Saya akan tambahkan bahwa mereka juga tidak mengetahui akan teknik penafsiran mereka yang sukar dipisahkan atau evaluasi positif mereka mengenai pluralitas keagamaan.
Bagi Ibn al-Arabi, keanekaragaman secara esensial adalah karena hakikat tidak berulangnya keanekaragaman jiwa manusia begitu mereka diwujudkan oleh Yang Esa. Sebagai elemen fundamental dari dunia fenomenal, setiap manusia secara alamiah merupakan mahall (secara literer berarti satu “tempat/wadah” atau mazhar (lokus manifestasi)) dimana Yang Esa menampakkan Diri-Nya dalam dan pada wilayah fenomenal. Karena tradisi agama dipahami atau terpenuhi dalam kehidupan individu manusia yang terdiri dari berbagai komunitas agama, perbedaan atau keragaman manusia sebagai manifestasi tertentu dan berbeda dari Wujud Yang Esa, terefleksi dalam tradisi tertentu sebagai suatu keseluruhan. Berbicara secara cukup terbuka mengenai isu keanekaragaman agama, sang Master menulis:
Kamu hanya menyembah apa yang kamu tetapkan sendiri. Itulah sebabnya doktrin serta hal mengenai Allah berbeda-beda sehingga salah satu kelompok akan mengatakan bahwa Dia seperti ini dan yang lain akan mengatakan Dia tidak seperti ini, melainkan seperti itu. Kelompok lain mengatakan berkaitan dengan pengetahuan (tentang Tuhan) bahwa warna air ditentukan oleh warna cangkirnya… maka pertimbangkan kondisi “ketersaingan/mistifikasi” yang merasuki (sariyya) tiap kepercayaan/agama.
Ibn al-Arabi sangat senang mengutip sang master Sufi Baghdad abad kesembilan belas, Abu al-Qasim Muhammad al-Junayd (d. 910), yang pernah menggunakan metafora air diwarnai oleh wadahnya sebagai metafora “kesatuan dalam keragaman”: “Warna air akan sesuai dengan warna wadahnya”. Akan tetapi, kecintaan Ibn al-Arabi terhadap metafora ini tidak menunjukkan bahwa dia memandang semua agama mempunyai makna sama, melainkan semata-mata bahwa, sebagaimana elemen fundamental lain dalam tata aturan yang ada, semua agama berasal dari Tuhan. Orang dapat meringkas atau memfrasa ulang interpretasi Ibn al-Arabi terhadap metafora air yang dipakai oleh Abu al-Qasim Muhammad al-Junayd dengan menegaskan bahwa jika air merepresentasikan Wujud Tuhan, keanekaragaman agama direpresentasikan oleh warna atau warna-warna wadahnya. Oleh karenanya, warna atau warna-warna secara langsung berkaitan dengan “kesepian” agama tertentu untuk menerima manifestasi tertentu dari Yang Riil. Terdapat beberapa agama yang mungkin bersifat monokromataik atau memiliki warna sangat terbatas atau bahkan kabur. Agama-agama lain mungkin mempunyai warna-warna yang lebih jelas, tetapi dengan nada atau kualitas yang berbeda, dan seterusnya. “Dia Yang menampakkan Diri-Nya,” Ibn al-Arabi menulis, “dalam arti Dia dalam Diri-Nya sendiri adalah Esa dalam entitas, tetapi yang menampakkan diri-maksudku bentuk-bentuknya (misalnya keragaman agama)-adalah beragam.
Karena masing-masing manifestasi Tuhan adalah satu dan tidak pernah berulang, masing-masing agama juga adalah satu dan bersifat eksklusif. Karena objek masing-masing agama adalah satu-yaitu “Tuhan di dalam agama “atau” Tuhan yang disembah oleh masing-masing orang beriman” berbeda dengan Tuhan yang disembah oleh yang lain. Sebenarnya, Ibn al-Arabi berusaha menegaskan pandangan ini dengan membicarakan keragaman “Sembahan” (Rabb) yang merupakan manifestasi Yang Esa:
Setiap orang beriman mempunyai satu Sembahan (Lord/Rabb) dalam hatinya yang dia wujudkan, lalu dia percayai. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang mempunyai tanda di hari kebangkitan nanti. Mereka tidak menyembah sesuatu kecuali apa yang mereka buat sendiri. Itulah sebabnya, ketika Tuhan menampakkan Diri dalam bentuk yang lain dari yang sudah mereka tandai, mereka ragu. Mereka mengetahui apa yang mereka imani, tetapi apa yang mereka imani tidak mengetahui mereka, karena mereka telah mewujudkannya. Menurut aturan umum, karya seni tidak akan mengetahui siapa yang membuat karya, dan bangunan tidak mengetahui siapa yang membangun.
Bagi Ibn al-Arabi, penting bagi orang beriman untuk mengatasi atau pergi menuju sesuatu yang berada di balik “ Tuhan yang diciptakan dalam agama “. Bagi sang master, jalan Tasauf akhirnya akan membawa seseorang untuk jauh mengatasi atau pergi menuju sesuatu yang berada di balik “warna” yang dibawa oleh afiliasi agama. Aka tetapi, hal itu bukan berarti suatu rekomendasi untuk pendekatan relativistik terhadap agama. Kita harus ingat, sebagaimana ditekankan sebelumnya, bahwa dalam pemikiran Ibn al-Arabi, Hukum Tuhan (yaitu Shari’a) sangat penting dalam realisasi mengenai yang Riil (la haqiqa bi la shari’a). Dengan demikian, jalan menuju Tuhan harus difasilitasi oleh iman dan amal yang murni dan paling benar yang dimungkinkan. Bagi Ibn al-Arabi, semua ini dapat ditemukan dalam interpretasi dan amaliah yang benar dari sunah nabi Muhammad, penutup para nabi yaitu yang biasanya dirujuk dengan “Islam”.
Kebanyakan pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman agama berdasar pada ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tradisi agama-agama selain Islam. Berbeda dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa ayat-ayat eksklusif tertentu dalam al-Qur’an menghapus(naskh) ayat-ayat inklusif tertentu di dalamnya sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan bahwa islam menghapus agama- agama yang ada sebelumnya, Ibn al-Arabi tidak mempunyai kesimpulan yang demikian. Bagi Ibn al Arabi, semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain. Ketika matahari muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dari cahaya tercakup dalam cahaya matahari. Kondisi sebagai tersembunyi adalah seperti penghapusan agama-agama lain dengan hadirnya agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad. Sekalipun demikian hal itu sebenarnya tetap eksis sebagaimana eksisnya cahaya bintang. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama inklusif kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi tertolak (batil) dengan adanya penghapusan (naskh)- itu adalah pendapat orang bodoh.
Apa yang dikatakan Ibn al-Arabi pada dasarnya adalah merupakan kewajiban bagi Muslim untuk mengikuti jalan yang dibawa oleh Rasul mereka, Muhammad dan berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an. Pada saat yang sama, dia juga menekankan bahwa hakikat al-Qur’an adalah inklusif, yaitu bahwa di dalamnya tercakup jalan para Rasul sebelum Muhammad. Dia menulis:
Di antara jalan yang ada adalah jalan yang diberkahi. Ini merujuk pada firman Tuhan “ bagi masing-masing kalian, Kami telah menetapkan suatu jalan yang benar dan hukum.
Ibn al-‘Arabi menggangap bahwa tujuan agama adalah untuk membawa pada kesempurnaan umat manusia pada tiga modus karya, kedudukan dan ilmu pengetahuan. Para nabi adalah model-model yang memantapkan paradigma-paradigma kesempurnaan yang berbeda. Ilmu pengetahuan adalah salah satu dimensi kesempurnaan, dan dalam banyak cara merupakan hal yang paling penting dan dimensi yang paling fundamental. Hal ini butuh pembedaan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat. Dia menulis, “Karena seseorang bergerak mendekati kesempurnaan. Tuhan memberinya pembeda di antara berbagai urusan dan pembenaran baginya terhadap realitas. Realitas adalah segala sesuatu di alam semesta (dunia/universe) yang diketahui oleh-Nya sendiri.




Daftar Pustaka
Almirzanah Syafa’atun, Ph.D., D.MIN. 2008. When Mistic Masters Meet (Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chittick William C. 2009. Imaginal World (Ibn al-‘Arabi and The Problems of Religious Diversity). Alih bahasa Samantho Ahmad Y. New York: State University of New York.

0 komentar:

Posting Komentar