Jumat, 03 Mei 2013

JALALUDDIN AL-RUMI



Nama lengkap Jalaluddin al-Rumi adalah Muhammad bin Muhammad bin Husein al-Khatbi al-Bakri, yang dikenal dengan penggilan Jalaluddin al-Rumi. Ia dilahirkan di Balkh, Persia pada tahun 604 H/1217 M dan meninggal di Koniya pada tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin al-Rumi lahir dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya salah seorang sufi yang terlibat dalam berbagai kegiatan kerohanian di daerahnya. Ketika umur 4 tahun, Jalaluddin al-Rumi dibawa ayahnya ke Aatolia, yaitu sebuah kota dinasti Saljuk yang memerintah dibagian Barat, yang dikenal dengan Rum. Karena keluarganya menetap di kota tersebut, maka ia diberi gelar dengan al-Rumi. Kemudian, bersama orang tuanya pindah ke Koniya, Turki dan menetap disini sampai ia meninggal.
Jalaluddin al-Rumi mendapat pendidikan pertama di Anatolia, kemudian mengembara ke beberapa negeri dalam rangka menuntut ilmu. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Fariduddin Attar dan Majduddin Sana’I al-Ghazali. Dari  kedua tokoh sufi ini, Jalaluddin al-Rumi banyak mendapat ilmu dan pengalaman yang amat berharga dan selalu dikenangnya sepanjang masa. Setelah ayahnya meninggal, ia menggantikannya memberi pelajaran dan menduduki kedudukan sebagai ulama. Di waktu menjadi guru itulah ia bertemu dengan Syamsuddin al-Tabrizi. Jalaluddin al-Rumi menjadi berubah total, dari pencinta musik, sastra, seni dan ilmu menjadi cinta kepada tuhan. Lebih-lebih setelah ia berkhalwat dengan Syamsuddin al-Tabrizi dalam satu kamar selama 40 hari, tanpa dimasuki seorangpun. Syamsudin al-Tabrizi menjadi pemimpin rohani Jalaluddin al-Rumi dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Begitu eratnya hubungan al-Rumi dengan al-Tabrizi hingga pertemuan demi pertemuan selalu terjalin dan ia selalu membutiri berbagai hikmah yang terkandung dalam pertemuan-pertemuan itu. Ketika jalaluddin al-Rumi harus berpisah dengan Syamsuddin al-Tabrizi, seakan-akan ia tidak rela sampai akhirnya ia merasa bahwa gurunya itu sudah ada dalam dirinya, dalam gelora syair-syair yang selalu muncul bersama luapan kenangan yang amat dalam.
Sejak perpisahan dengan guru rohaninya, Jalaluddin al-Rumi menjalin persahabatan baru dengan muridnya, Husamuddin Celebi dan Salahuddin Jarkub. Mereka banyak mendorong dan membantu Jalaluddin al-Rumi menulis berbagai pengalaman sufi. Terutama Husamuddin banyak memberikan saran dan dorongan hingga al-Rumu lebih rajin menulis. Husamuddin menyarankan agar al-Rumi juga menulis dalam bentuk prosa bukan hanya dalam bentuk puisi saja, seperti Hadiqat al-Haqaiq yang ditulis oleh Sana’I dan Mantiq al-Thair yang ditulis Faruddin Attar.
Karya besar al-Rumi adalah Al-Mastwani yang berisi lebih dari 26.000 baris syair, terdiri dari 6 jilid mengandung ajaran taswuf yang diperuntukkan bagi mereka yang telah mamasuki lautan tasawuf dan tenggelam didalamnya. Al-Rumi sendiri menyatakan bahwa al-Mastwani adalah kumpulan masalah-masalah agama yang besar dan pokok, dan dapat disebut dengan Al-Fiqhu al-Akbar, karena isinya mengandung ajaran pokok tentang keesaan Tuhan, ketaatan kepada agama, pembersihan jiwa, pemantapan hati dan pikiran kepada Allah SWT. Dalam al-Mastnawi, ajaran-ajaran al-Rumi dikhususkan bagi orang-orang sufi dan tidak untuk umum kaum muslimin. Dalam karyanya Fihi Ma Fihi yang berarti “engkau akan mendapat apa yang ada didalamnya”, menguraikan berbagai keadaan dan ajaran-ajaran sufi yang sifatnya umum dan dapat dibaca setiap orang. Sedangkan karyanya yang lain yaitu, Diwan Syamsi Tabriz, Manaqib al-Arifin dan lain-lain.
Dalam pandangan Jalaluddin al-Rumi, hidup di dunia ini harus bisa memanfaatkan apa yang ada pada manusia itu sendiri untuk membentuk jiwa hingga selalu ingat dan menghambakan diri kepada-Nya. Karena dorongan ingat kepada-Nya dan kecintaan yang tumbuh mekar membuat cinta menjadi asyik maksyuk dan dalam tingkat inilah yang membuka segala rahasia yang ada ini. Tetapi pada kebanyakan orang, semua itu menjadi sirna karena pengaruh binatang dan alam materi yang berkuasa dalam dirinya. Dalam keadaan demikian, Tuhan terasa terpisah jauh dengan alam dan bahkan mungkin tidak ditemukan lagi. Kebendaan dan kebinatangan menjauhkan segala-galanya dalam nilai keutamaan dan keabadian.
Jalaluddin al-Rumi berkata: “Keselamatan datang kepada malaikat melalui pengetahuan yang benar terpatri dalam dirinya. Kepada hewan terpatri kekaburan dan kekeliruan. Sedang manusia senantiasa berada diantara keduanya. Beberapa orang meningkat kearah akal universal dan menjadi malaikat dan selamat dari keburukan dan kekeliruan. Yang lain dikuasai oleh naluri hewan, tenggelam dalam kekeliruan. Yang lain lagi berada dalam pertentangan, bimbang dan cemas sepanjang masa. Adapun orang-orang sufi selalu bersama keutamaan dan kebajikan serta membimbing mereka ke arah keutamaan. Sedang setan selalu mengganggu, merayu dan membawa ke arah kehinaan sebagai balas dendam dan iri hati pada manusia”.
Menurut Jalaluddin al-Rumi, dalam diri harus ditumbuh dan dimekarkan cinta. Karena cinta itu ada pada semua yang ada. Ia menjadi alat penggerak segala makhluk menuju cinta yang abadi. Cinta demikian, meningkat kepada cinta tanpa batas dan bertemu dengan cinta yang hakiki. Dalam tingkat demikian, al Rumi bersenandung:
“Bukan dari Adam aku mengambil nasab,
Tapi dari debu nan jauh di sana,
Jalan yang sunyi sepi tiada berujung
Aku lepaskan diriku dari tubuh dan nyawa,
Dan aku mulai menempuh hidup baru
Dalam roh kecintaan abadi”.


Daftar Pustaka
Mansur H.M. Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

0 komentar:

Posting Komentar