Selasa, 28 Mei 2013

TASAWUF DALAM DUNIA MODERN

URGENSI TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN
Islam adalah agama yang didirikan diatas tiga pilar utama, yaitu: Islam jika memandang pada amal perbuatan, iman jika memandang pada aqidah yang mengerakkan, dan Ihsan jika memandang pada kesempurnaan realisasi dan tujuan dari perpaduan iman dan amal perbuatan. Ketida pilar ini dalam terminologinya bisa jadi mengalami perubahan, termasuk yang paling terkenal yaitu terminology fiqh, Tauhied dan Tasawuf. Akan tetapi sepanjang sejarahnya umat Islam senantiasa berusaha menerapkan ketiga pilar tersebut. Generasi awal Islam adalah mereka yang menyatukan antara keluasan ilmu pengetahuan dan kedekatan diri dengan Allah SWT. Kemudian dari mereka, lahirlah generasi-generasi yang mempunyai kecintaan hati kepada Allah sekaligus ilmu yang dapat menerangi jalan mereka menuju Allah. Mereka adalah ilmuwan (Ulama/Alim) sekaligus pendidik (Murabbun/murabby) dalam waktu yang bersamaan. 
Dari sana, terjadi perkembangan yang besar dalam ilmu-ilmu keislaman secara umum, dimulai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan diantaranya dalam bentuk madrasah-madrasah, pesantren-pesantren dan universitas-universitas yang memperhatikan ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi, sekarang lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengalami kemunduran karena mengesampingkan pilar Ihsan atau yang disebut sebagai tasawwuf. Penyebabnya adalah pemisahan antara pengajaran praktis dengan (fungsi) guru dan pendidik, yaitu dengan semakin sulitnya ditemukan guru pendidik sekaligus bisa menjadi teladan moral sebagaimana ulama salaf dahulu.

Makna Tasawwuf
Tasawwuf mempunyai dua makna: makna pertama lebih ditekankan pada usaha mensucikan jiwa, dan bersunggu-sungguh dalam mematuhi Allah dan meneladani Rasulallah SAW. hingga jiwa  menjadi bersih dan memantulkan haqiqat dan rahasia ketuhanan. Inilah yang disebut sebagai Ilmu Muamalah dalam menempuh jalan kepada Allah, yaitu dengan memperbaiki dan membingbing hati, memurnikannya untuk Allah dari selain Allah. Tasawuf, dalam makna ini, harus bersumber dari sumber yang suci dan berpijak pada kaidah syariah yang benar. Sebagaimana yang disebutkan oleh seorang tokoh besar Sufi Syekh al Junaid: "Ilmu kita ini terikat dengan Kitab dan Sunnah…."    
Makna kedua adalah dzauq dan perasaan hati, atau hasil-hasil kasyaf yang dialami dan dirasakan oleh para salik(penempuh jalan Allah). Makna yang kedua ini adalah husus untuk para pelakunya, tidak bisa diungkapkan atau ditulis atau diisyaratkan, tidak pula dapat dijadikan sebagai hukum syari'at atau argumentasi hukum, juga tidak mungkin dikatakan dalam ungkapan dan bahasa apapun, karena merupakan perasaan hati yang tidak mungkin dapat diuraikan dengan kata-kata. Pada makna yang kedua ini, sebagian guru sufi mengisyaratkan: "perngetahuan kita tentang ini hanyalah isyarat." Inilah yang disebut dengan Ilmu Mukasyafah, yaitu cahaya yang terpancar dari hati dalam pencapaian pada penyatuan dengan Tuhan Semesta Alam. Bagi seseorang, hendaknya menjalankan tasawuf dengan makna yang pertama, sehingga dapat diraih rahasia makna yang kedua.  

Kenapa harus Tasawuf
Islam adalah agama yang menjungjung tinggi peranan akal dan membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran baru, serta mendorong intraksi praksis maupun teoritis terhadap fenomena alam.  Pada saat yang sama, islam juga menekankan pada keterjagaan hati dan ketulusan rasa dan menjadikan iman sebagai ruh penggerak bagi hati yang dinaungi cinta dan kebaikan sekaligus ditandai dengan kebenaran. Islam bukanlah teori-teori praksis dan ekonomis belaka yang terlepas dari bimbingan ketuhanan. Ia adalah sikap hati yang terbuka lapang, dimana cahaya cinta bersinar dari seluruh dingding-dingdingnya. Hati yang sangat terikat dengan Tuhan yang menciptakannya, senantiasa mencari jejak Sang Pencipta di alam raya ini.
Sebenarnya tidak ada pemisahan antara pemikiran yang tercerahkan dan sikap hati yang terpuji. Validitas pemikiran seyogyanya berjalan seiring dengan validitas tindakan dan sikap. Akan tetapi dalam prakteknya konsep yang sudah menjadi aksioma ini sering terkendala. Tasawuf adalah solusinya. Karena Tasawuf menjawab secara tuntas pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana kita menumbuhkan rasa akan keagungan Allah dan sikap khusuk terhadap-Nya? Bagamana kita dapat menghayati keimanan kita sehingga tidak hanya mengambang di permukaan akan tetapi menjadi landasan bertindak dan bersikap? Bagamana mentranformasikan ma’rifat akan Allah untuk mendorong tumbuhnya karakter dan sikap terpuji? Bagaimana seseorang bisa mencintai Allah sehingga secara naluriah akan senantiasa mematuhi dan mencari keridhaan-Nya?  Menjadikan kecintaannya kepada Allah sebagai penggerak yang secara otomatis menjauhkan dirinya dari perbuatan maksiat dan durhaka? Dan bagaimana agar seseorang dapat memandang penampakan-penampaka Allah dalam semua ciptaanNya, menyaksikan nama-nama Allah yang baik dalam setiap diam dan gerakan kapan dan dimanapun saja?    

Bagaimana Bertasawuf
Tasawuf adalah program pendidikan yang focus pada penyucian jiwa dari segala penyakit yang menghalangi manusia dari Allah SWT. sekaligus meluruskan penyimpangan-penyimpangan kejiwaan dan tindakan dalam masalah yang berkaitan dengan hubungan seorang hamaba denga Tuhannya, dengan dirinya dan dengan orang lain.  Ia adalah metode pendidikan ruhani dan praksis untuk mengangkat seseorang ke tingkat ihsan yang dijelaskan oleh Nabi SAW. sebagai; “hendaknya kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalau kamu tidak melihat-Nya maka Allah sesungguhnya melihat dirimu.”
Oleh karena itu, orang yang hendak mempelajari tasawuf harus mengambil ilmu ini dari sumbernya yang dipercaya. Dibawah bimbingan seorang guru, menghirup apa yang sang guru hirup, dan melalui tahapan-tahapan yang sang Guru lalui.  Syekh Ata’illah al Iskandari berkata: “Orang yang hendak mencari tahu, dan menempuh jalan petunjuk, seyogyanya mencari guru dari kalangan ahli dalam bidang ini, yang telah menempuh jalan petunjuk, dan senatiasa meninggalkan hawa nafsunya, serta mempunyai pijakan yang kuat dalam menghambakan diri kepada Tuhannya. Kalau ketemu, maka hendaklah mematuhi apa yang sang guru perintahkan dan menghindari dari apa yang sang guru larang.”   


Sabtu, 11 Mei 2013

Tarekat Dalam Islam


Kata “tarekat” berasal dari bahasa Arab yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Jadi, tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq.
Di dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok menjadi pengikut salah seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.
Tasawuf itu adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang guru/syaikh. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah itu merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat adalah tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.
Peralihan tasawuf yang bersifat personal kepada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas tasawuf, semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya. Untuk itu, mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengalaman tasawuf yang dapat menuntun mereka.
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun, Dr. Kamil Musthafa Asy-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syiah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’I di Mesir dan Jalal Ad-Din Ar-Rumi di Parsi.
Harun Nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan taswuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembang di dunia Islam, tetapi perkembangannya melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya.
Banyak sekali aliran-aliran tarekat yang terdapat dalam dunia Islam, seperti tarekat Qadiriyah, Syadziliyah, Naqsabandiyah, Yasafiyah dan Khawajagawiyah, Khalwatiyah, Syatariyah, Rifa’iyah, Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Chistiyah, Mawlawiyah,Ni’matullahi, dan Sanusiyah.
1.      Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, Abd Al-Qadir Jailani, yang terkenal dengan sebutan Syekh ‘Abd Qadir Al-Jailani atau quthb al-awliya’. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Meskipun struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kewafatannya, semasa hidupnya sang syekh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat Islam. Ia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual.
Tarekat yang tergolong kepada group Qadiriyah ini cukup banyak dan tersebar ke seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah di Mesir yang dinisbatkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 M) yang kemudian mengilhami tarekat Sanusiyah (Muhammad bin Ali Al-Sanusi, 1787-1859 M) melalui tarekat Idrisiyah (Ahmad bin Idris) di Afrika Utara merupakan grup Qadiriyah yang masuk ke India melalui Muhammad Al-Ghawath (1517 M) yang kemudian dikenal dengan tarekat Al-Ghawthiyah atau A -Mi’rajiyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi (1041 H/1631 M).
Diantara praktik tarekat Qadiriyah adalah dzikir (terutama melantunkan asma Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada dzikir yang terdiri atas satu, dua, tiga, dan empat. Dzikir dengan satu melalui tarikan napas panjang yang kuat, seakan dihela dari tempat yang tinggi, diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga napas kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama.
2.      Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu-Al Hasan Asy-Syadzili (539/1196-656/1258). Selanjutnya, nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat lainnya. Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar dunia muslim. Ia diwakili di Afrika Utara terutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan Darqawiyah serta berkembang pesat di Mesir, tempat 14 cabangnya dikenal secara resmi pada tahun 1985.

3.      Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat Naqsabandiyah, yang didirikan olrh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan. Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Ciri menonjol dari tarekat ini adalah sebagai berikut:
·         Mengikuti syariat sangat ketat
·         Keseriusan dalam ibadah, sehingga menolak terhadap musik dan tari
·         Lebih menyukai berdzikir dalam hati
4.      Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
Didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi (w. 562 H / 1169 M), dan Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani (w. 617 H /1220 M).
5.      Tarekat Khalwatiyah
Didirikan oleh Umar Al-Khalwati (w. 1397 M). berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Syiria, Mesir, Hijaz, dan Yaman.
6.      Tarekat Syatariyah
Didirikan oleh Abdulah bin Syattar (w. 1485) dari India.
7.      Tarekat Rifa’iyah
Didirikan oleh Ahmad bin Ali Ar-Rifa’I (1106-1182). Tarekat Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme.
8.      Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad-19. Tarekat ini merupakan yang paling berpengaruh dan tersebar meluas di jawa saat ini.
9.      Tarekat Sammaniyah
Didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Madani Asy-Syafi’I As-Samman (1130-1189/1718-1775)
10.  Tarekat Tijaniyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun.

11.  Tarekat Chistiyah
Didirikan oleh Khawajah Mu’in Ad-Din Hasan, yang lebih poopuler dengan panggilan Mu’in Ad-Din Chisti di India.
12.  Tarekat Mawlawiyah
Nama Mawliyah berasal dari kata “mawlana” yang berarti guru kami, maksudnya yaitu gelar yang diberikan oleh muruid-muridnya kepada Muhammad Jalal Ad-Din Ar-Rumi, yang merupakan pendiri tarekat ini. Walaupun tidak terlalu besar dibandingkan tarekat yang lain, tarekat ini masih ada di akhir-akhir sekarang.
13.  Tarekat Ni’matullahi
Didirikan oleh Syekh Ni’matullah Wali (lahir sekitar 1329 M).
14.  Tarekat Sanusiyah
Didirikan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi yang biasa di panggil dengan “Sanusi Agung” (Lahir menurut satu versi 22 Desember  1787).

Dalam perkembangannya, tarekat-tarekat tidak hanya memusatkan perhatiannya kepada tasawuf ajaran-ajaran gurunya saja, akan tetapi juga mengikuti kegiatan politik. Tarekat mulai mempengaruhi dunia Islam sejak abad ke-13, dimana kedudukan tarekat pada saat itu sama hal nya dengan partai politik, bahkan banyak juga tentara yang menjadi anggota tarekat. Tarekat-tarekat keagamaan meluaskan pengaruh dan organisasinya ke seluruh pelosok negeri hingga mampu berkembang sangat pesat. Akan tetapi, pada saat itu telah terjadi penyelewengan, salah satunya adalah paham wasilah, yaitu paham yang menjelaskan bahwa permohonan seseorang tidak dapat dialamatkan langsung kepada Allah, tetapi harus melalui guru, guru ke gurunya, demikian terus sampai kepada syekh, baru bisa bertemu atau berhubungan dengan Allah.
Pada abad ke-19 timbul pemikiran yang negatif terhadap tarekat dan tasawuf, dimana banyak orang yang menentang dan meninggalkan tarekat/tasawuf. Banyak pengamat yang menyatakan bahwa pada era modern, tarekat secara efektif telah berakhir. Namun berlainan dengan oposisi dan prediksi-prediksi tersebut, tarekat-tarekat sufi justru semakin kuat secara menakjubkan di sebagian besar dunia Islam serta dalam komunitas muslim tempat mereka menjadi minoritas. Akan tetapi, pada akhir-akhir ini perhatian kepada tasawuf timbul kembali karena dipengaruhi oleh paham materialism. Orang-orang barat melihat bahwa materialism itu memerlukan sesuatu yang bersifat rohani, yang bersifat immateri sehingga banyak orang yang kembali memperhatikan tasawuf.

Daftar Pustaka
M. Solihin dan Rosihin Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.

BLUE IS THE COLOUR


Blue is the colour, football is the geme
We’re all together and winning is our aim
So cheer us on through the sun and rain
Cos Chelsea, Chelsea is our name

Here at the bridge, weather rain or fine
We can shine all the time
Home or away, come and see us play
You’re welcome any day

Blue is the colour, football is the geme
We’re all together and winning is our aim
So cheer us on through the sun and rain
Cos Chelsea, Chelsea is our name

Come to the shed and we,ll welcome you
Wear your blue and see us through
Sing loud and clear until the game is done
Sing Chelsea everyone


Blue is the colour, football is the geme
We’re all together and winning is our aim
So cheer us on through the sun and rain
Cos Chelsea, Chelsea is our name


Blue is the colour, football is the geme
We’re all together and winning is our aim
So cheer us on through the sun and rain
Cos Chelsea, Chelsea is our name

Chelsea FC - We'll Keep The Blue Flag Flying High

Wherever they’re playing we’ll follow our team
‘Cos we’re the Chelsea and we’re supreme
For we will fear no one we’ll do it or die
We’ll keep the Blue Flag flying high

Flying high up in the sky
We’ll keep the Blue Flag flying high
From Stamford Bridge to Wembley
We’ll keep the Blue Flag flying high

The Chelsea supporters will always be there
Whoever we’re playing had better beware
We follow the Blue team forget all the rest
Because we’re the Chelsea and we’re the best

We’re Chelsea diehards we’ve lived with the pain
We’ve tasted glory we can do it again
We’re going to be feared now at home and afar
The Pride of London is what we are

Way back in our history a deal was clinched
That saw Mr Abramovich buy Stamford Bridge
We’re riding high now with Roman as king
When we get to Wembley you’ll hear us sing

Jumat, 03 Mei 2013

JALALUDDIN AL-RUMI



Nama lengkap Jalaluddin al-Rumi adalah Muhammad bin Muhammad bin Husein al-Khatbi al-Bakri, yang dikenal dengan penggilan Jalaluddin al-Rumi. Ia dilahirkan di Balkh, Persia pada tahun 604 H/1217 M dan meninggal di Koniya pada tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin al-Rumi lahir dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya salah seorang sufi yang terlibat dalam berbagai kegiatan kerohanian di daerahnya. Ketika umur 4 tahun, Jalaluddin al-Rumi dibawa ayahnya ke Aatolia, yaitu sebuah kota dinasti Saljuk yang memerintah dibagian Barat, yang dikenal dengan Rum. Karena keluarganya menetap di kota tersebut, maka ia diberi gelar dengan al-Rumi. Kemudian, bersama orang tuanya pindah ke Koniya, Turki dan menetap disini sampai ia meninggal.
Jalaluddin al-Rumi mendapat pendidikan pertama di Anatolia, kemudian mengembara ke beberapa negeri dalam rangka menuntut ilmu. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Fariduddin Attar dan Majduddin Sana’I al-Ghazali. Dari  kedua tokoh sufi ini, Jalaluddin al-Rumi banyak mendapat ilmu dan pengalaman yang amat berharga dan selalu dikenangnya sepanjang masa. Setelah ayahnya meninggal, ia menggantikannya memberi pelajaran dan menduduki kedudukan sebagai ulama. Di waktu menjadi guru itulah ia bertemu dengan Syamsuddin al-Tabrizi. Jalaluddin al-Rumi menjadi berubah total, dari pencinta musik, sastra, seni dan ilmu menjadi cinta kepada tuhan. Lebih-lebih setelah ia berkhalwat dengan Syamsuddin al-Tabrizi dalam satu kamar selama 40 hari, tanpa dimasuki seorangpun. Syamsudin al-Tabrizi menjadi pemimpin rohani Jalaluddin al-Rumi dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Begitu eratnya hubungan al-Rumi dengan al-Tabrizi hingga pertemuan demi pertemuan selalu terjalin dan ia selalu membutiri berbagai hikmah yang terkandung dalam pertemuan-pertemuan itu. Ketika jalaluddin al-Rumi harus berpisah dengan Syamsuddin al-Tabrizi, seakan-akan ia tidak rela sampai akhirnya ia merasa bahwa gurunya itu sudah ada dalam dirinya, dalam gelora syair-syair yang selalu muncul bersama luapan kenangan yang amat dalam.
Sejak perpisahan dengan guru rohaninya, Jalaluddin al-Rumi menjalin persahabatan baru dengan muridnya, Husamuddin Celebi dan Salahuddin Jarkub. Mereka banyak mendorong dan membantu Jalaluddin al-Rumi menulis berbagai pengalaman sufi. Terutama Husamuddin banyak memberikan saran dan dorongan hingga al-Rumu lebih rajin menulis. Husamuddin menyarankan agar al-Rumi juga menulis dalam bentuk prosa bukan hanya dalam bentuk puisi saja, seperti Hadiqat al-Haqaiq yang ditulis oleh Sana’I dan Mantiq al-Thair yang ditulis Faruddin Attar.
Karya besar al-Rumi adalah Al-Mastwani yang berisi lebih dari 26.000 baris syair, terdiri dari 6 jilid mengandung ajaran taswuf yang diperuntukkan bagi mereka yang telah mamasuki lautan tasawuf dan tenggelam didalamnya. Al-Rumi sendiri menyatakan bahwa al-Mastwani adalah kumpulan masalah-masalah agama yang besar dan pokok, dan dapat disebut dengan Al-Fiqhu al-Akbar, karena isinya mengandung ajaran pokok tentang keesaan Tuhan, ketaatan kepada agama, pembersihan jiwa, pemantapan hati dan pikiran kepada Allah SWT. Dalam al-Mastnawi, ajaran-ajaran al-Rumi dikhususkan bagi orang-orang sufi dan tidak untuk umum kaum muslimin. Dalam karyanya Fihi Ma Fihi yang berarti “engkau akan mendapat apa yang ada didalamnya”, menguraikan berbagai keadaan dan ajaran-ajaran sufi yang sifatnya umum dan dapat dibaca setiap orang. Sedangkan karyanya yang lain yaitu, Diwan Syamsi Tabriz, Manaqib al-Arifin dan lain-lain.
Dalam pandangan Jalaluddin al-Rumi, hidup di dunia ini harus bisa memanfaatkan apa yang ada pada manusia itu sendiri untuk membentuk jiwa hingga selalu ingat dan menghambakan diri kepada-Nya. Karena dorongan ingat kepada-Nya dan kecintaan yang tumbuh mekar membuat cinta menjadi asyik maksyuk dan dalam tingkat inilah yang membuka segala rahasia yang ada ini. Tetapi pada kebanyakan orang, semua itu menjadi sirna karena pengaruh binatang dan alam materi yang berkuasa dalam dirinya. Dalam keadaan demikian, Tuhan terasa terpisah jauh dengan alam dan bahkan mungkin tidak ditemukan lagi. Kebendaan dan kebinatangan menjauhkan segala-galanya dalam nilai keutamaan dan keabadian.
Jalaluddin al-Rumi berkata: “Keselamatan datang kepada malaikat melalui pengetahuan yang benar terpatri dalam dirinya. Kepada hewan terpatri kekaburan dan kekeliruan. Sedang manusia senantiasa berada diantara keduanya. Beberapa orang meningkat kearah akal universal dan menjadi malaikat dan selamat dari keburukan dan kekeliruan. Yang lain dikuasai oleh naluri hewan, tenggelam dalam kekeliruan. Yang lain lagi berada dalam pertentangan, bimbang dan cemas sepanjang masa. Adapun orang-orang sufi selalu bersama keutamaan dan kebajikan serta membimbing mereka ke arah keutamaan. Sedang setan selalu mengganggu, merayu dan membawa ke arah kehinaan sebagai balas dendam dan iri hati pada manusia”.
Menurut Jalaluddin al-Rumi, dalam diri harus ditumbuh dan dimekarkan cinta. Karena cinta itu ada pada semua yang ada. Ia menjadi alat penggerak segala makhluk menuju cinta yang abadi. Cinta demikian, meningkat kepada cinta tanpa batas dan bertemu dengan cinta yang hakiki. Dalam tingkat demikian, al Rumi bersenandung:
“Bukan dari Adam aku mengambil nasab,
Tapi dari debu nan jauh di sana,
Jalan yang sunyi sepi tiada berujung
Aku lepaskan diriku dari tubuh dan nyawa,
Dan aku mulai menempuh hidup baru
Dalam roh kecintaan abadi”.


Daftar Pustaka
Mansur H.M. Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.