Kamis, 13 Oktober 2016

makalah konstitusi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat disusun untuk melengkapi tugas makalah mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan dosen pembimbing Ali Usman S.Fil.I., M.S.I. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Muhammad SAW. Makalah ini disusun berdasarkan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber.
Makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan berupa moral maupun material.
2.Dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yaitu Ali Usman S.Fil.I., M.S.I.
3.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Demikian makalah ini penulis susun, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk lebih memahami tentang pemahaman ilmu sains.

Yogyakarta,  20 Agustus 2013
                                                                                   
                    Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak masyarakat Indonesia yang mengabaikan arti dari pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Bahkan bukan hanya mengabaikan, namun banyak juga yang tidak mengetahui makna dari dasar negara dan konstitusi tersebut. Golongan masyarakat yang demikian sepertinya kurang pemahaman pendidikan tentang dasar negara kita itu. Sesungguhnya bila seluruh warga negara Republik Indonesia mampu memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan di dalam Pembukaaan UUD 1945, maka mereka sudah tentu dapat menghayati filsafat dan ideologi Pancasila sehingga menjiwai tingkah lakunya selaku warga negara Republik Indonesia dalam melaksanakan segala kegiatannya sebagai cerminan dari nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Terlebih di era globalisasi ini masyarakat dituntut untuk mampu memilah-milah pengaruh positif dan negatif dari globalisasi tersebut. Dengan pendidikan tentang dasar negara dan konstitusi diharapkan masyarakat Indonesia mampu mempelajari, memahami dan melaksanakan segala kegiatan kenegaraan berlandasakan dasar negara dan konstitusi, namun tidak kehilangan jati dirinya, apalagi tercabut dari akar budaya bangsa dan keimanannya.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KONSTITUSI
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (consituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan aturan suatu negara.[1]
Konstitusi pada praktisnya memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan Undang-Undang Dasar 1945. Secara politis, konstitusi dimengerti sebagai kesepakatan penyerahan kekuasaan pada kedaulatan yang lebih tinggi atau kontrak sosial. Menurut pengertian sosiologis, konstitusi adalah kesepakatan individu-individu dalam mendirikan organisasi sebagai payung untuk menaungi kehidupan individu dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 hanyalah sebuah pengertian konstitusi dalam arti yuridis. Menurut sudut pandang yuridis, konstitusi adalah perjanjian tertulis hasil kesepakatan yang berisi tujuan dan aturan-aturan untuk mengatur para pihak yang bersepakat.[2]
Para ahli hukum ada yang membedakan arti konstitusi dengan undang-undang dasar dan ada juga yang menyamakan arti keduanya. Persamaan dan perbedaannya adalah sebagai berikut:
1.      L. J. Van Apeldoorn membedakan konstitusi dengan UUD. Menurutnya, konstitusi adalah memuat peraturan tertulis dan peraturan tidak tertulis, sedangkan Undang-Undang Dasar (gronwet) adalah bagian tertulis dari konstitusi.
2.      Sri Sumantri menyamakan arti keduanya sesuai dengan praktik ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk Indonesia.
Herman Heller membagi pengertian konstitusi dalam tiga tingkat, yaitu :
1.      Konstitusi sebagai pengertian sosial politik
Pada tingkat ini konstitusi belum merupakan pengertian hukum, ia baru mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsa itu sendiri. Pengertian hukum dalam hal ini sekunder, sedangkan yang primer adalah bangunan-bangunan tersebut adalah keputusan-keputusan masyarakat sendiri, misalnya siapa saja yang menjadi kepala suku, pembantunya, dan sebagainya.
2.      Konstitusi sebagai pengertian hukum
Pada tingkat kedua ini, keputusan-keputusan masyarakat dari tingkat yang pertama dijadikan suatu perumusan yang normatif dan berlaku. Namun sebagai perumusan yang normatif, konstitusi ini tidak selalu tertulis dalam bentuk kodifikasi, tetapi juga ada yang tidak tertulis.
3.      Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum
Pengertian tingkat ketiga ini adalah suatu peraturan hukum yang tertulis. Dari sinilah, maka Undang-Undang Dasar adalah salah satu bagian dari konstitusi dan bukan sama dengan konstitusi.[3]

B.     TUJUAN KONSTITUSI
Konstitusi membagi kekuasaan dalam negara artinya lembaga-lembaga yang ada dalam suatu negara, tugas, dan wewenangnya ditentukan oleh konstitusi tersebut, misalnya antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif. Oleh karena itu, konstitusi secara umum bertujuan untuk :
1.      Memisahkan kekuasaan dari penguasa,
2.      Membatasi kekuasaan, dan
3.      Mengontrol penguasa dalam menjalankan kekuasaan tersebut.
Menurut tujuan konstitusi di atas, dalam pandangan Rule of Law, tampak bahwa konstitusi menjadi dasar legitimasi seorang penguasa untuk berkuasa. Seseorang yang berkuasa perlu mendapatkan pengakuan keabsahan tertulis dari para konstituennya. Jadi, kekuasaan yang dipegang oleh penguasa itu pun bukan miliknya sendiri, tetapi sifatnya dipinjamkan oleh para pemilik asli kekuasaan. Kemudian, kekuasaan yang dipegang oleh penguasa tadi dibatasi lagi dan selanjutnya konstitusi mengatur bagaimana cara menjalankan kekuasaan tersebut, sehingga kekuasaan itu tidak merajalela.[4]


C.    FUNGSI KONSTITUSI
Konstitusi (UUD) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki arti dan makna yang sangat penting. Hal ini berarti bahwa konstitusi (UUD) menjadi “tali” pengikat setiap warga negara dan lembaga negara dalam kehidupan negara. Dalam kerangka kehidupan negara, konstitusi (UUD) secara umum memiliki fungsi sebagai:
1.      Tata aturan dalam pendirian lembaga-lembaga yang permanen (lembaga suprastruktur dan infrastruktur politik).
2.      Tata aturan dalam hubungan negara dengan warga negara serta dengan negara lain.
3.      Sumber hukum dasar yang tertinggi. Artinya bahwa seluruh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku harus mengacu pada konstitusi (UUD).
Secara khusus, fungsi konstitusi (UUD) dalam negara demokrasi dan negara komunis adalah:
1.      Fungsi konstitusi (UUD) dalam negara demokrasi konstitusional :
a.       Membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang (absolut).
b.      Sebagai cara yang efektif dalam membagi kekuasaan.
c.       Sebagai perwujudan dari hukum yang tertinggi (supremasi hukum) yang harus ditaati oleh rakyat dan penguasanya.
2.      Fungsi konstitusi (UUD) dalam negara komunis :
a.       Sebagai cerminan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai dalam perjuangan ke arah masyarakat komunis.
b.      Sebagai pencatatan formal (legal) dari perjuangan yang telah dicapai.
c.       Sebagai dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan dan dapat diubah setiap kali ada pencapaian kemajuan dalam masyarakat komunis.[5]




D.    JENIS KONSTITUSI
Jenis-jenis konstitusi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Konstitusi tertulis merupakan suatu instrument atau dokumen yang dapat dijumpai pada sejumlah hokum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi proses undang-undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu sendiri dalam aturan-aturang yang sudah disiapkan.
Konstitusi tidak tertulis dalam perumusannya tidak membutuhkan proses yang panjang misalnya dalam penentuan Qourum, Amandemen, Referendum dan konvensi.
2.      Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku
Ciri-ciri konstitusi fleksibel yaitu :
a.       Elastis
b.      Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama.
Ciri-ciri konstitusi yang kaku :
a.       Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dan peraturan undang-undang yang lain.
b.      Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus, istimewa dan persyaratan yang berat.
3.      Konstitusi derajat tinggi dan komstitusi derajat tidak tinggi
Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai derajat kedudukan yang paling tinggi dalam Negara dan berada diatas peraturan perundang-undang yang lain. Sedangkan, konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat.
4.      Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan
a.       Jika bentuk Negara itu serikat maka akan didapatkan system pembagian kekuasaan antara pemerintah Negara serikat dengan pemerintah Negara bagian.
b.      Dalam Negara kesatuan, pembagian kekuasaan tidak dijumpai karena seluruh kekuasaannya terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi.
5.      Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi system pemerintahan parlementer. Konstitusi yang mengatur beberapa ciri-ciri system pemerintrahan presidensial dapat diklasifikasikan kedalam konstitusi system pemerintah presidensial begitu pula sebaliknya.[6]

E.     SEJARAH KONSTITUSI
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dalam bahasa Jepang yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta sebagai wakil dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa,3 orang dari Sumatra, dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. BPUPKI ditetapkan berdasarkan Maklumat Gunseikan Nomor 23 bersamaan dengan ultah Tenno Heika pada tanggal 29 April 1945.
BPUPKI menentukan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang dikenal dengan nama UUD 1945. Tokoh-tokoh perumusnya antara lain Dr.Rajman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadi Koesemo, Oto Iskandardinata, Pangeran purboyo, Pangeran Soerjohamindjojo dan lain-lain.
UUD 1945 dibentuk untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :
1.      Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan Undang – Undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
2.      Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
3.      Memilih ketua persiapan Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
4.      Pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Komite Nasional).[7]

F.     SEJARAH PERUBAHAN KONSTITUSI DALAM NKRI
Dalam gerak pelaksanaannya, konstitusi (UUD 1945) banyak mengalami perubahan mengikuti perubahan sistem politik negara Indonesia. Peristiwa perubahan ini berlangsung dalam beberapa kali dengan periode waktu tertentu. Perubahan tersebut secara sistematis dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu diatas, pelaksanaan UUD tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena bangsa Indonesia sedang dalam masa pancaroba, artinya dalam masa upaya membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan, sedangkan pihak kolonial Belanda masih ingin menjajah kembali negara Indonesia.
2.      Konstitusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Rancangan Konstitusi (UUD) ini disepakati bersama di Negara Belanda antara wakil-wakil pemerintah RI dengan wakil-wakil pemerintah negara BFO (Bijeenkomst Voor Federal Obverleg), yaitu negara-negara buatan Belanda di luar negara RI. Peristiwa ini terjadi di Kota Pantai Scheveningen, tanggal 29 Oktober 1949, pada saat berlangsungnya KMB (Konferensi Meja Bundar). Rancangan Konstitusi RIS ini disetujui pada tanggal 14 Oktober 1949 di Jakarta oleh wakil-wakil pemerintah dan KNIP RI dan wakil masing-masing pemerintah serta DPR negara-negara BFO. Namun demikian, konstitusi RIS ini tidak dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama, melainkan hanya lebih kurang delapan bulan (27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950). Hal ini terjadi karena adanya tuntutan masyarakat dari berbagai daerah untuk kembali ke bentuk negara kesatuan dan meninggalkan bentuk negara RIS sangat tinggi. Kenyataan ini membuat negara RIS bubar dan kembali bergabung ke bentuk negara kesatuan yang ibukotanya di Yogyakarta. Pada tahun 1950, negara RIS yang belum bergabung dengan NKRI adalah negara bagian Indonesia Timur dan negara bagian Sumatera Timur, namun dalam jangka waktu yang tidak lama dicapai kesepakatan antara NKRI dengan kedua negara bagian tersebut. Dengan kesepakatan itu, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, negara RIS resmi kembali bergabung dengan NKRI.
3.      UUDS (15 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) ini merupakan UUD yang ketiga bagi Indonesia. Menurut UUDS ini, sistem pemertintahan yang dianut adalah sistem Pemerintahan Parlementer dan bukan sistem kabinet presidensial seperti dalam UUD 1945. Menurut sistem Pemerintahan Parlmenter yang tertuang dalam UUDS ini Presiden dan Wakil Presiden adalah Presiden dan Wakil Presiden Konstitusional dan “tidak dapat diganggu gugat”, karena yang bertanggungjawab adalah para menteri kepada parlemen (DPR). UUDS ini berpijak pada pemikiran liberal yang  mengutamakan kebebasan individu, sedangkan UUD 1945, berpijak pada landasan demokrasi pancasila yang berintikan sila keempat.
4.      UUD 1945 (5 Juli 1959-1966)
Pelaksanaan UUD 1945 pada kurun waktu kepemimpinan Presiden Ir. Soekarno adalah beberapa hal yang perlu dicatat mengenai penyimpangan konstitusi (UUD 1945) yaitu :
a.       Presiden merangkap sebagai penguasa eksekutif dan legislatif.
b.      Mengeluarkan UU dalam bentuk Penetapan Presiden dengan tanpa perstujuan DPR.
c.       MPRS mengangkat presiden seumru hidup.
d.      Hak Budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR.
e.       Pimpinan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara diangkat menjadi menteri-menteri negara dan presiden menjadi Ketua DPA.
Sedangkan dalam kepemimpinan Presiden Soeharto, hal-hal yang perlu dicatat mengenai pelaksanaan konstitusi (UUD), yaitu :
a.       Membentuk lembaga-lembaga yang tersebut dalam UUD 1945 yang ditetapkan dengan undang-undang.
b.         Menyelenggarakan mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunan, yaitu melaksanakan Pemilu DPR, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, mengangkat kabinet, laporan pertanggungjawaban dalam Sidang Umum MPR, dan seterusnya.
c.       Menggunakan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur dalam Konstitusi (UUD 1945), dan lain-lain.
5.      UUD 1945 (1966-1999)
Hal-hal yang terjadi dalam Pelaksanaan UUD 1945 kurun waktu tahun 1966-1999 ini dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian, yaitu :
a.       Pelaksanaan UUD 1945 tahun 1966-1999
Pelaksanaan UUD 1945 pada kurun waktu ini memiliki nilai penting bagi kehidupan banga dan negara Indonesia pasca Pemerintahan Orde Lama. Kenyataan ini secara bertahap dilakukan perbaikan dan koreksi dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara oleh Pemerintahan Orde Baru.
b.      Pelaksanaan UUD 1945 kurun waktu 1966-1970
1)      Lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar 1966)
2)      Pelaksanaan Sidang Umum MPRS ke IV tahun 1966
3)      Pelaksanaan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967
4)      Pelaksanaan Sidang Umum MPRS tahun 1968
c.       Pelaksanaan UUD 1945 kaurun waktu 1970-1997
Pelaksanaan UUD 1945 dalam kurun waktu ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan terlihat dari adanya manifestasi pelaksanaan sistem politik Indonesia yang berlangsung secara menyeluruh terpadu dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara.
6.      UUD 1945 Amandemen 1999 (1999-sekarang)
Dalam penerapan konstitusi (UUD 1945) amandemen, sistem pemerintahan negara mengalami perubahan sangat signifikan dengan penerapan sistem pemerintahan pada konstitusi (UUD 1945) praamandemen. [8]




G.    MEKANISME AMANDEMEN KONSTITUSI
1.      Amandemen Konstitusi (UUD 1945)
Sebagai usaha untuk mengembalikan kehidupan negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945, salah satu jenis aspirasi yang terkandung di dalam semangat reformasi adalah melakukan amandemen terhadap UUD 1945, maka pada awal reformasi, MPR telah mengeluarkan seperangkat ketetapan sebagai landasan konstitusionalnya, yaitu :
a.       Pencabutan ketetapan MPR tentang Referendum (dengan Tap. Nomor VIII/MPR/1998).
b.      Pembatasan masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Tap. Nomor XIII/MPR/1998).
c.       Pernyataan Hak Asasi Manusia (Tap. Nomor XVII/MPR/1998).
d.      Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P4 dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara (Tap. Nomor XVIII/MPR/1998).
e.       Perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.
f.       Perubahan kedua UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000.
g.      Sumber Hukun dan Tata Urutan Perundang-undangan (Tap. Nomor III/MPR/2000).
h.      Perubahan ketiga pada tanggal 1-10 November 2001.
i.        Perubahan keempat (terakhir) UUD 1945, 1-11 Agustus 2002.
j.        Disahkannya perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945 dalam Sidang Umum MPR tahun 2002 menandai sebuah lompatan besar ke depan bagi bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia telah mempunyai sebuah UUD yang lebih sempurna dibandingkan dengan UUD 1945 sebelumnya. Namun demikian, MPR tetap menyadari bahwa konstitusi (UUD) yang di amandemen belum sempurna. Untuk itu MPR membentuk Komisi Konstitusi akan bertugas untuk menyempurnakan perubahan konstitusi (UUD) itu. Dengan pengesahan Perubahan UUD 1945 MPR telah menuntaskan reformasi konstitusi sebagai suatu konstitusi yang demokratis. Perubahan itu merupakan suatu lembaran sejarah lanjutan setelah Bung Karno dan Bung Hatta dan rekan-rekannya berhasil menegaskan UUD 1945 dalam rapat-rapat BPUPKI dan PPKI.
2.      Mekanisme Amandemen Konstitusi (UUD) 1945
Dalam pelaksanaan Amandemen Konstitusi (UUD) 1945, MPR menggunakan mekanisme sebagai berikut :
a.       MPR mengadakan rapat konstitusi dengan seluruh badan kelengkapan MPR dan anggotanya yaitu, DPR 1945 dan DPD.
b.      Mendapat persetujuan 2/3 anggota DPR/MPR atas rencana amandemen UUD 1945 tesebut.
c.       MPR membentuk Panitia Perumusan Badan Pekerja (BP-MPR) yang betugas merumuskan RUUD 1945. Dalam pembahasan panitia perumusan mengadakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan elemen-elemen yang meliputi pemerintah, professional, pengusaha, parta politik, LSM, ormas, OKP, tokoh masyarakat, dan unsur-unsur laing yang terkait.
d.      Hasil perumusan Panitia Badan Pekerja MPR RI menyerahkan hasil perumusan RUU kepada pimpinan MPR RI.
e.       Pimpinan MPR menyelenggarakan Sidang Umum MPR RI Tahunan untuk mendengarkan pandangan umun fraksi-fraksi yang ada di MPR RI guna menetapkan Rancangan UUD 1945 (Konstitusi) Amandemen menjadi UUD 1945 Amandemen.[9]








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara politis, konstitusi dimengerti sebagai kesepakatan penyerahan kekuasaan pada kedaulatan yang lebih tinggi atau kontrak sosial. Konstitusi di Indonesia dapat diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi memiliki fungsi sebagaiu sumber hukum dasar yang tertinggi. Artinya bahwa seluruh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku harus mengacu pada konstitusi (UUD).
Tujuan konstitusi secara umum :
1.      Memisahkan kekuasaan dari penguasa,
2.      Membatasi kekuasaan, dan
3.      Mengontrol penguasa dalam menjalankan kekuasaan tersebut.
Jenis-jenis konstitusi :
2.      Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
3.      Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku
4.      Konstitusi derajat tinggi dan komstitusi derajat tidak tinggi
5.      Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan
6.      Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi system pemerintahan parlementer. Konstitusi yang mengatur beberapa ciri-ciri system pemerintrahan presidensial dapat diklasifikasikan kedalam konstitusi system pemerintah presidensial begitu pula sebaliknya.
Perubahan Konstitusi :
1.      UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
2.      Konstitusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
3.      UUDS (15 Agustus 1950-5 Juli 1959)
4.      UUD 1945 (5 Juli 1959-1966)
5.      UUD 1945 (1966-1999)
6.      UUD 1945 Amandemen 1999 (1999-sekarang)


B. Tanya Jawab
1.      Bagaimana mekanisme amandemen konstitusi? Apakah yang diamandemen pasal-pasalnya saja atau konstitusinya (UUD)?
Jawab:
Mekanisme perubahan amandemen UUD yaitu:
a.       Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR, apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. ****)
b.      Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagianyang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. ****)
c.       Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPRdihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. ****)
d.      Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 % ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR. ****)
e.       Khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan. ****)

Dalam melakukan amandemen, yang diamandemen adalah konstitusinya, dalam hal ini adalah UUD 1945, akan tetapi tidak secara keseluruhan, hanya bab dan pasal-pasal tertentu saja, karena di dalam UUD 1945 terdiri dari beberapa bab dan pasal.

2.      Apa tujuan konstitusi? Bagaimana cara konstitusi membatasi kekuasaan? Apa jenis konstitusi yang digunakan di Indonesia?
Jawab:
Tujuan konstitusi yaitu:
a.       Memisahkan kekuasaan dari penguasa,
b.      Membatasi kekuasaan, dan
c.       Mengontrol penguasa dalam menjalankan kekuasaan tersebut.
Cara konstitusi membatasi kekuasaan yaitu:
a.       Bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar harus menjamin hak-hak asasi manusia atau warga negara
b.      Bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar harus memuat suatu ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, dan
c.       Bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar harus mengatur tugas serta wewenang dalam negara juga yang bersifat mendasar.
Contohnya adalah pada orde lama seorang presiden tidak diberikan batasan dalam memimpin sebuah negara, sedangkan pada orde sekarang seorang presiden diberikan batasan untuk memimpin sebuah negara, yaitu sebanyak 2 periode.
Konstitusi yang digunakan di Indonesia adalah konstitusi tertulis.

3.      Mengapa anda menyebutkan Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 bukan 17 Agustus 1945?
Jawab:
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari disahkannya konstitusi atau sering disebut Undang-undang Dasar (UUD). Jadi, disini terjadi kesalahan oleh pemateri pada saat menyampaikan materi.




















DAFTAR PUSTAKA

Kresna Arya A. 2010. Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara. Jakarta: Salemba Humanika.
Srijanti dkk. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi: Mengembangkan Etika Berwarga Negara. Jakarta: Salemba Empat.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama.



[1] Srijanti. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi: Mengembangkan Etika Berwarga Negara. Hal 91
[2] Kresna Arya A. 2010. Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara. hal 126
[3] Moh. Kusnardi dan bintan R. Saragih. 2000. Ilmu Negara. hal 140-141
[4] Ibid. hal 126
[5] Ibid. hal 94
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid. hal 95-100
[9] Srijanti dkk. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi: Mengembangkan Etika Berwarga Negara. Jakarta: Salemba Empat hal 102-103