Rabu, 30 Juli 2014

Astronomi Islam dalam Penetapan Jadwal Puasa

Astronomi ialah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit (bintang, planet, komet, gugus bintang, atau galaksi) serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi (radiasi latar belakang kosmik (radiasi CMB)). Ilmu ini secara pokok mempelajari berbagai sisi dari benda-benda langit seperti asal-usul, sifat fisika atau kimia, meteorologi, dan gerak dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukan dan perkembangan alam semesta.
Ilmu astronomi, yang dalam khasanah ilmu pengetahuan Islam dikenal dengan ilmu falak, yaitu ilmu yang mempelajari tentang benda-benda langit, matahari, bulan, bintang dan planet-planetnya. 
Berbagai pertimabangan praktis, seperti menentukan arah ketika melakukan perjalanan di waktu malam atau untuk memahami korelasi antara musim satu dengan musim yang lain setiap tahunnya dengan posisi planet, semakin menambah minat dalam kajian astronomi.
Dalam sejarah islam, astronomi dikembangkan baik untuk kepentingan praktis maupun teoritis. Kajian tentang benda-benda ruang angkasa didorong oleh anjuran al-Quran agar memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyyah, sepertihalnya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Yunus (10):5)
Dalam astronomi penetapan jadwal puasa ini dikembangkan metode observasi (rukyat) yang sistematis dan memenuhi kaidah serta syarat–syarat ilmiah, yaitu obyektif dan replicable. Dari ribuan observasi, maka berhasil dibuat rumus-rumus hitungan(hisab) untuk melakukan prediksi ke depan. 
1. Hisab
Hitungan hisab itu kini bisa diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian berbagai kesalahan manusia bisa dieliminasi. Salah satu contoh program komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijriah adalah software “Mawaaqit” yang semula dikembangkan oleh Club Astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal. Metode ini cukup akurasi terbukti dengan Lunar Laser Ranging, maupun secara praktis, yaitu di dunia pelayaran. Dunia pelayaran setiap hari memakai astronomi modern. Dengan demikian hisab modern ini sudah mendekati pasti (qath’ie), apalagi bila ketelitian yang diperlukan cuma dalam hitungan menit. Dengan hisab modern ini bisa dihitung besaran-besaran hisab yang sangat penting, dua di antaranya adalah:
a. Ijtima’
Ijtima’ adalah saat “bertemunya” (conjunction) bulan dan matahari pada bujur ekliptik yang sama. Bila lintangnya juga sama maka akan terjadi gerhana matahari. Sejak ratusan tahun yang lalu para astronom bisa menghitung ijtima’ ribuan tahun ke depan dengan kesalahan kurang dari satu menit. Ijtima’ terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan. Peristiwa ijtima tidak bisa dilihat karena matahari di belakang bulan sangat menyilaukan.
b. Irtifa’, Wujud ul Hilal
Setelah ijtima’, bulan yang makin tinggi lambat laun akan menyentuh horizon bagi tempat di muka bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Bila bulan ini tepat di horizon, maka dikatakan irtifa’-nya nol dan sejak itu dia “wujud” (wujud ul hilal). Makin lama irtifa’ ini makin besar. Dalam 24 jam (sehari) dia akan naik sekitar 12 derajat. Namun tidak setiap bulan di atas horizon akan membentuk “wujudul hilal”. Pada konstelasi tertentu, di lintang tertentu, bisa saja bulan berada di atas horizon meski belum ijtima’ (wujud ul qomar). Karena itu irtifa’ harus digabung dengan umur bulan.
2. Rukyat ul Hilal
Rukyat ul Hilal adalah metode praktis membuktikan apakah bulan sabit baru (hilal) terlihat atau tidak. Sebenarnya tidak mudah melakukan rukyatul hilal, sekalipun bagi astronom. Dalam astronomi obyek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat. Sedang rukyatul hilal justru dilakukan saat irtifa’ bulan masih sangat rendah. Sebenarnya rukyatul hilal semestinya dilakukan setelah ijtima’. Namun secara syar’i rukyat selalu harus dilakukan setiap tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum. Secara metodologi, pada saat ini rukyatul hilal jarang dilakukan secara ilmiah, yaitu obyektif, terrekam dan replicable melainkan mengandalkan kesaksian orang yang dianggap jujur.
3. Imkanur Rukyat
Masalahnya angka imkan yang ada berbeda-beda. Kitab-kitab ilmu falak tua masih memakai 7 derajat. Di Turki memakai 5 derajat. Di Indonesia Jama’ah Persis konsisten memakai hisab mutlak dengan imkan 2 derajat. PBNU tetap akan merukyat namun akan menolak rukyat sementara irtifa’ masih kurang dari 2 derajat. Karena masalah imkan belum ada konsensus, Muhammadiyah akhirnya memutuskan memakai wujudul hilal. Dari sini kelihatan bahwa meski metode hisab sama, namun bila kriteria imkan berbeda, hasilnyapun bisa berbeda satu hari. Di manakah bulan pertama kali mungkin terrukyat (imkan awal) ternyata bisa di mana saja. Tidak ada sebuah tempatpun yang memiliki privileg. Semua tergantung kondisi aktual. Secara astronomi, bisa dibuatkan garis tanggal hijri (Hijri Date Line / HDL), yaitu suatu garis tempat-tempat dengan irtifa’ (wujud, imkan) sama saat matahari terbenam di masing-masing tempat. HDL ini tiap bulan bergeser dan berubah bentuknya. Yang pasti, faktor cuaca tidak bisa diprediksi dengan hisab astronomi, karena tidak ada hubungannya.
4. Zona Waktu
Ketika para pelaut Inggris mengelilingi dunia ke arah timur, mereka menghitung hari. Ternyata ketika kembali ke London dari arah barat, mereka dapatkan hari yang dihitung dalam perjalanan selalu lebih panjang sehari dari yang dihitung orang di London. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka akhirnya para pelaut, geografer dan astronom sepakat untuk mendefinisikan suatu garis maya yang disebut garis tanggal internasional (International Date Line / IDL). Bila kita melintasi garis IDL ini, maka akan ada lompat hari. Meski kelihatan aneh, tapi garis maya ini harus ada agar ada konsistensi hari dan tanggal pada kalender internasional. Dan menurut garis tanggal ini pula kaum muslimin mendefinisikan nama-nama hari seperti Senin, Kamis, Jum’at dan sebagainya.
Melalui cara prediksi-prediksi diatas dapat memberikan jawaban atas astronomi islam dalam penetapan jadwal puasa.

0 komentar:

Posting Komentar