Rabu, 30 Juli 2014

Penelitian Eksperimen

PENELITIAN EKSPERIMEN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan
Dosen Pengampu: Shidiq Premono, M.Pd


logo-uin-suka.jpg







Oleh Kelompok 4:
1.      Hendra Budi Gunawan              (11670018)
2.      Rahma Mei Widarti                    (11670037)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN




A.  Kata Pengantar
Dalam melakukan penelitan banyak sekali pilihan metode yang dapat digunakan. Namun tidak semua metode cocok digunakan, metode yang dipilih harus sesuai dengan tujuan penelitian. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam penelitia adalah metode eksperimen. Terutama dalam penelitian pendidikan, salah satu metode yang banyak digunakan adalah metode penelitian eksperimen.
Untuk dapat melaksanakan suatu eksperimen yang baik, perlu dipahami terlebih dahulu segala sesuatu yang berkait dengan komponen-komponen eksperimen. Baik yang berkaitan dengan variabel, hakekat, karakteristik, tujuan, syarat-syarat, langkah-langkah penelitian, serta validitas dalam penelitian eksperimen.
Selanjutnya, untuk lebih memahami mengenai penelitian eksperimen, dalam makalah ini yang berjudul “Penelitian Eksperimen” akan dibahas mengenai metode penelitian eksperimen beserta hal-hal yang terkait di dalamnya.




























BAB II
PEMBAHASAN

A.    MASALAH
1.      Pengertian Masalah
Pada dasarnya penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang antara lain dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, setiap penelitian yang akan dilakukan harus selalu berangkat dari masalah (Sugiyono, 2013). Menurut Emory dalam Sugiyono (2013) mengatakan bahwa penelitian murni dan terapan pada dasarnya berangkat dari masalah, hanya saja untuk penelitian terapan hasilnya langsung dapat digunakan untuk membuat keputusan.
Tuckman dalam Sugiyono (2013) berpendapat bahwa setiap penelitian yang akan dilakukan harus selalu berangkat dari masalah, walaupun dapat diakui bahwa memilih masalah penelitian merupakan hal yang paling sulit dalam proses penelitian. Apabila dalam penelitian telah dapat menemukan masalah yang benar-benar masalah, maka sebenarnya pekerjaan penelitian itu 50% telah selesai. Oleh karena itu, menemukan masalah dalam penelitian merupakan pekerjaan yang tidak mudah, tetapi setelah masalah dapat ditemukan, maka pekerjaan penelitian akan segera dapat dilakukan (Sugiyono, 2013).
Jadi, masalah atau problem adalah suatu pertanyaan yang mengawali suatu penelitian. Proses mencari jawaban dari permasalahan yang hanya bisa dilakukan melalui proses penelitian. Dengan demikian, suatu permasalahan muncul sebelum kegiatan proses penelitian dilakukan, dan masalah atau problem dalam penelitian tidak lepas kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, serta merupakan sesuatu yang lumrah (Ghony dan Almansur, 2009).

2.      Karakteristik Masalah
Permasalahan yang ada harus dapat diklasifikasikan, selanjutnya dapat diangkat sebagai masalah yang dapat diteliti. Menurut Syukardi dalam Djunaidi dan Fauzan (2009) masalah biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.       Permasalahn tersebut biasanya dirasakan oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu bidang yang sama.
b.      Permasalahan tersebut sering muncul dan secara signifikasi ditemui oleh orang-orang yang terlibat.
c.       Permasalahan tersebut dapat diukur dengan alat ukur penelitian, seperti skala nominal, ordinal, interval, dan rasio.
d.      Permasalahan tersebut dapat diteliti, lantaran dapat diungkapkan kejelasannya melalui tindakan koleksi data dan kemudian dianalisis.
e.       Permasalahan tersebut dapat dikontribusi signifikan, lantaran memiliki nilai guna dan memanfaatkan baik pada tataran teoritis yang berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan maupun pada tataran praktis dalam kehidupan sehari-hari.
f.       Permasalah tersebut didukung oleh data empiris yakni dapat diukur baik secara kuantitatif ataupun  secara empiris yang memberikan hubungan erat antara  fakta konstruk suatu fenomena, disamping mendukung pada suatu yang harus didasarkan hukum positif, empiris dan terukur. Apabila tidak demikian, maka akan jatuh pada kategori common sense yang sulit ditindak lanjuti dalam proses pengumpulan data.
g.      Sesuai dengan kemampuan dan keinginan peneliti, hal ini penting karena memberikan motivasi dan kepercayaan diri pada peneliti bahwa apa yang hendak diteliti di lapangan akan berhasil, karena data yang ada di lapangan kemudian peneliti memiliki  kemampuan untuk dikumpulkan sehingga dapat dianalisis sampai hasil penelitian dapat diperoleh. 

3.      Sumber Masalah
Masalah dapat diartikan sebagai penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa yang benar-benar terjadi, antara teori dengan praktek, antara aturan dengan pelaksanaan, antara rencana dengan pelaksanaan (Sugiyono, 2013). Stonner dalam Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa masalah-masalah dapat diketahui atau dicari apabila terdapat penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan, antara apa yang direncanakan dengan kenyataan, adanya pengaduan, dan kompetisi.
Menurut Borg dalam Ghony dan Almansur (2009), masalah atau permasalahan yang ada dilingkungan kita sehari-hari cukup banyak, untuk itu diharapkan bagi peneliti mampu mengidentifikasi, memilih, merumuskan, dan kemudian menentukan tipologi penelitiannya secara tepat. Menurut Surya brata dalam Ghony dan Almansur (2009), terdapat beberapa sumber masalah atau permasalahan yang dapat diperoleh dari:
a.       Literatur, yang meliputi : buku, buku teks, monography, laporan statistik, dan yang berupa non buku seperti: jurnal, tesis, disertasi, dsb.
b.      Sebagai pertemuan ilmiah, seperti: seminar, diskusi, loka karya, sarasehan, dsb.
c.       Pengalaman pribadi dan pengalaman yang bersifat longitudinal.
d.      Pertanyaan dari pemegang otoritas.
e.       Perasaan insituitif.
Disamping permasalahan diatas, masih ada beberapa macam sumber masalah  yang dapat membantu peneliti dalam memperoleh permasalahan yang layak dijadikan bahan untuk diteliti (Ghony dan Almansur, 2009), diantaranya :
a.       Pengalaman seseorang atau kelompok, dimana pengalaman adalah guru terbaik dalam karier maupun profesi seseorang seperti guru, dokter, pengacara, dimana mereka diberi gelar dan tanda jasa untuk menghormati pengalaman dibidangnya. Mereka telah lama menekuni bidangnya sehingga dapat digunakan sebagai sumber untuk membantu mencari permasalah yang signifikan untuk diteliti.
b.      Lapangan tempat peneliti bekerja merupakan tempat dimana seseorang maupun peneliti bekerja merupakan salah satu sumber permasalahan yang baik dan layak untuk digali sebagai sumber masalah yang akan diteliti.
c.       Laporan hasil penelitian, disamping ada hasil temuan yang baru juga ada kemungkinan penelitian yang direkomendasikan karena berkaitan dengan hasil penelitian yang telah ada, sehingga dari sumber tersebut diperoleh dari suatu gambaran permasalahan yang baik unuk diteliti.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Rumusan Masalah
Rumusan masalah berbeda dengan masalah. Jika masalah merupakan kesenjangan antara yang diharapkan dengan yang terjadi, maka rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Akan tetapi, antara masalah dengan rumusan masalah sangat berkaitan erat, karena setiap rumusan masalah penelitian harus didasarkan pada masalah (Sugiyono, 2013).
2.      Bentuk-bentuk Rumusan Masalah Penelitian
Rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Dimana bentuk-bentuk rumusan masalah penelitian ini dikembangkan berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi (level of explanation). Adapun bentuk-bentuk rumusan masalah tersebut (Sugiyono, 2013) antara lain:
a.       Rumusan Masalah Deskriptif
Rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang berkenaan dengan pertanyaan terhadap keberadaan variabel mandiri, baik hanya pada satu variabel atau lebih (variabel yang berdiri sendiri). Jadi, dalam penelitian ini peneliti tidak membuat perbandingan variabel itu pada sampel yang lain, dan mencari hubungan variabel itu dengan variabel yang lain.
Contoh:
1)      Seberapa baik kinerja Departemen Pendidikan Nasional?
2)      Bagaimanakah sikap masyarakat terhadap perguruan tinggi negeri berbadan hukum?
3)      Seberapa tinggi efektivitas kebijakan manajemen berbasis sekolah di Indonesia?

b.      Rumusan Masalah Komparatif
Rumusan masalah komparatif adalah rumusan masalah penelitian yang membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda.
Contoh:
1)      Adakah perbedaan prestasi belajar antara murid dari sekolah negeri dan swasta?
2)      Adakah perbedaan disiplin kerja guru antara sekolah di Kota dan di Desa?
3)      Adakah perbedaan produktivitas karya ilmiah antara perguruan tinggi negeri dan swasta?

c.       Rumusan Masalah Asosiatif
Rumusan masalah asosiatif adalah rumusan masalah penelitian yang bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Terdapat tiga bentuk hubungan, yaitu:
1)      Hubungan Simetris
Hubungan simetris adalah suatu hubungan antara dua variabel atau lebih yang kebetulan munculnya bersama. Jadi, bukan hubungan kausal maupun interaktif. Contoh rumusan masalah:
a)      Adakah hubungan antara jumlah es yang terjual dengan jumlah kejahatan terhadap murid sekolah?
b)      Adakah hubungan antara warna rambut dengan kemampuan memimpin sekolah?
c)      Adakah hubungan antara jumlah payung yang terjual dengan jumlah murid sekolah?
Contoh judul penelitian:
a)      Hubungan antara jumlah es yang terjual dengan jumlah kejahatan terhadap murid sekolah?
b)      Hubungan antara warna rambut dengan kemampuan memimpin sekolah?
c)      Hubungan antara jumlah payung yang terjual dengan jumlah murid sekolah?

2)      Hubungan Kausal
Hubungan kausal adalah hubungan yang bersifat sebab akibat. Jadi, di sini ada variabel independen (variabel yang mempengaruhi) dan variabel dependen (dipengaruhi).
Contoh:
a)      Adakah pengaruh pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar anak?
b)      Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala SMK terhadap kecepatan lulusan memperoleh pekerjaan?
c)      Seberapa besar pengaruh tata ruang kelas terhadap efisiensi pembelajaran di SMA?
Contoh judul penelitian:
a)      Pengaruh pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar anak di SD Kabupaten Alengkapura?
b)      Pengaruh kepemimpinan kepala SMK terhadap kecepatan lulusan memperoleh pekerjaan pada SMK di Provinsi Indrakila?
c)      Pengaruh tata ruang kelas terhadap efisiensi pembelajaran di SMA Negeri 1 Losari?

3)      Hubungan Interaktif
Hubungan interaktif adalah hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini tidak diketahui mana variabel independen dan dependen.
Contoh:
a)      Hubungan antara motivasi dan prestasi belajar anak SD di Kecamatan A.
b)      Hubungan antara kecerdasan dengan kekayaan.

3.      Langkah-langkah dalam Merumuskan Masalah
Dalam memilih masalah atau permasalahan penelitian akan lebih mudah jika peneliti memahai dan mengikuti secara organisatoris langkah-langkah penting (Ghony dan Almansur, 2009), yaitu:
a.       Peneliti sebagai mengidentifikasi cakupan luas dari permasalah tersebut, kemudian dispesifikasikan untuk mencari apakah permasalahan tersebut sering kali muncul dan dapat dinilai secara kasar kemanfaatannya baik terhadap perkembangan ilmu, perekembangan ilmu pengetahuan maupun terhadap stakeholder hasil penelitian.
b.      Peneliti mempersempit permasalahan sehingga menjadi permasalahan yang dapat diteliti, sesuai dengan kemampuan peneliti untuk melaksanakannya, disamping menghindari adanya kesulitan nantinya dalam mengukur data.
c.       Masalah penelitian yang telah diidentifikasi dan dibatasi agar memperoleh masalah yang layak untuk diteliti masih harus dirumuskan agar dapat memberikan arah bagi penelitian secara jelas.
d.      Masalah yang telah dirumuskan secara tepat dan benar harus mencakup dan menunjukkan semua variabel maupun hubungan variabel yang satu dengan yang lainnya yang hendak diteliti.

C.    KAJIAN TEORI
Fungsi teori dalam penelitian (Ghony dan Almansur, 2009) diantaranya:
a.       Teori berfungsi sebagai klasifikasi
Dalam hal ini teori memberi pedoman dan strategi, melalui konsep-konsepnya, untuk memgumpulkan data yang relevan, untuk melakuakn klasifikasi atau pengelompokan/ penggolongan data, menetapkan kategori-kategori yang dipandang memiliki maksud dan tujuan. Dengan bekal kerangka teori peneliti dalam mengumpulkan data tidak lagi merupakan himpunan yang tidak teratur dan tidak menentu, sebab teori memberi arah dan petunjuk bagi peneliti terutama data apa yang perlu dikumpulkan, bagaimana menyusun klasifikasinya berdasarkan atas tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya.
Misalnya, teori peningkatan mutu, kualitas pendidikan yang menghubungkan kerajinan guru dengan anak putus sekolah (droup out). Peneliti dengan bekal teori yang mantap mampu melakukan dan menghimpun pengelompokan data anak yang putus sekolah (droup out) menurut tingkat pendidikan. Hal ini erat kaitannya dengan teori yang menyatakan adanya perbedaan tingkat anak putus sekolah diantara tingkat pendidikan yang ada mulai dari tingkat sekolah dasar, tingkat menengah pertama, tingkat menengah atas, maupun tingkat perguruan tinggi.

b.      Teori berfungsi sebagai eksplanatur
Maksudnya bahwasanya teori memiliki banyak informasi dibalik rangkaian fenomena. Informasi disini diharapkan teori mampu memberikan jawaban mengenai sebab terjadinya suatu fenomena. Sebenarnya kegiatan penciptaan teori yang paling penting adalah proses kegiatan untuk mememukan sejumlah ulasan yang memberikan bukti penyebab dari suatu kegiatan atau kejadian tertentu. Alasan yang merupakan inti atau bukti tentu saja dapat diperoleh melalui pengujian secara empiris dengan menggunakan prosedur dan metodologi yang memadai.
Teori selalu bersifat menemukan kesimpulan dengan jalan mengadakan abstraksi  dari sejumlah fakta yang konkret. Kerangka abstraksi menghubungkan antara fakta itu selalu menjadi rangkaian yang berhubungan satu sama lain dalam kaitan yang memiliki makna. Inilah salah satu jasa yang diberikan teori dalam penjelasan sebuah fakta, dan dengan berkat teori maka hubungan antara fakta menjadi jelas dan masuk akal.

c.       Fungsi teori sebagai prediktif
Dalam kaitan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari teori yang berfungsi sebagai eksplanasi  yakni menjelaskan sebab akibat kejadian tertentu. Sebab dengan mengetahui suatu kejadian akan tahu pula penyebab terjadianya kejadian yang lain, sehingga apabila kejadian yang semacam itu terjadi berulangkali dan polanya sama, maka peneliti menjadi yakin akan ketepatan hubungan sebab akibat dari kejadian tersebut, yang selanjutnya peneliti diharapkan mampu untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Apabila terjadi dalam situasi yang berbeda, peneliti menjumpai timbulnya faktor penyebab yang sama, maka dapat dipastikan adanya akibat tertentu akan terjadi.

D.    PENELITIAN YANG RELEVAN


E.     KERANGKA BERFIKIR
Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.
Kerangka berfikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antar variabel yang akan diteliti. Jadi, secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antar variabel independen dan dependen. Apabila dalam penelitian ada variabel moderator dan intervening, maka juga perlu dijelaskan, mengapa variabel itu ikut dilibatkan dalam penelitian. Pertautan antar variabel tersebut, selanjutnya dirumuskan ke dalam bentuk paradigma penelitian. Oleh karena itu, pada setiap penyusunan paradigma penelitian harus didasarkan pada kerangka berfikir.
Sapto Haryoko dalam Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa kerangka berfikir dalam suatu penelitian perlu dikemukakan apabila dalam penelitian tersebut berkenaan dua variabel atau lebih. Apabila penelitian hanya membahas sebuah variabel atau lebih secara mandiri, maka yang dilakukan peneliti disamping mengemukakan deskripsi teoritis untuk masing-masing variabel, juga argumentasi terhadap variasi besaran variabel yang diteliti.

F.     HIPOTESIS
1.      Pengertian Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik dengan data (Sugiyono, 2013).
Menurut Emmy dalam Ghony dan Almansur (2009), hipotesis merupakan pertanyaan logis yang menjadi dasar untuk menarik suatu kesimpulan sementara, atau proses berfikir deduksi mengenai hubungan antar variabel yang diteliti dan dengan proses berfikir deduksi dan induksi yang selalu saling melengkapi dalam prosedur keilmuan.
Dari penjelasan tersebut apa yang harus dilakukan oleh peneliti, maksud maupun dari tujuannya tak lain untuk menentukan suatu konsep yang tepat dan benar menuju  ketaraf mencari hubungan antara gejala dan fakta. Sebab hipotesis merupakan suatu kebenaran sementara yang dapat diubah atau diganti dengan yang lebih tepat dan lebih representatif (Ghony dan Almansur, 2009).
Penelitian yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, tidak dirumuskan hipotesis, tetapi justru diharapkan dapat ditemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis tersebut akan diuji oleh peneliti dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

2.      Bentuk-bentuk Hipotesis
Bentuk-bentuk hipotesis penelitian sangat terkait dengan rumusan masalah penelitian. Apabila dilihat dari tingkat eksplanasinya, maka bentuk hipotesis penelitian sama dengan bentuk rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2013), yaitu:
a.       Hipotesis Deskriptif
Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri.
b.      Hipotesis Komparatif
Hipotesis komparatif merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah komparatif. Pada rumusan ini variabelnya sama tetapi populasi atau sampelnya yang berbeda, atau keadaan itu terjadi pada waktu yang berbeda.
c.       Hipotesis Asosiatif
Hipotesis asosiatif adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah asosiatif, yaitu yang menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih.
Adapun jenis atau macam hipotesis dalam penelitian menurut Ghony dan Almansur (2009), yaitu:
a.       Hipotesis null atau nihil, adalah hipotesis yang mengandung pernyataan negatif yakni menyatakan tidak adanya hubungan, tidak adanya pengaruh antara variabel yang satu dengan yang lain.
b.      Hipotesis kerja atau hipotesis alternatif, adalah hipotesis yang mengandung pernyataan positif yakni menyatakan adanya hubungan, adanya pengaruh antara variabel yang satu dengan  yang lain.

3.      Karakteristik Hipotesis
Terdapat tiga karakteristik hipotesis yang baik (Sugiyono, 2013), yaitu:
a.       Merupakan dugaan terhadap keadaan variabel mandiri, perbandingan keadaan variabel pada berbagai sampel, dan merupakan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih.
b.      Dinyatakan dalam kalimat yang jelas, sehingga tidak menimbulkan berbagai penafsiran.
c.       Dapat diuji dengan data yang dikumpulkan dengan metode-metode ilmiah.

4.      Merumuskan Hipotesis Penelitian
Menurut Ary dalam Ghony dan Almansur (2009), menyatakan bahwa dalam perumusan hipotesis seorang peneliti harus mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
a.       Hipotesis yang baik menunjukkan bahwa peneliti mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup dalam kaitannya dengan permasalahan.
b.      Hipotesis yang baik dapat memberikan arah dan petunjuk tentang pengambilan dan proses interprestasinya.
           
G.    DESAIN EKSPERIMEN
Desain eksperimen adalah kerangka konseptual pelaksanaan eksperimen. Suatu desain mempunyai dua fungsi (Furchan, 2004), yaitu:
1.      Menciptakan kondisi bagi perbandingan yang diperlukan oleh hipotesis eksperimen, dan
2.      Melalui analisis data secara stastistik, memungkinkan peneliti melakukan tafsiran yang berarti mengenai hasil penelitaian.
Wiersma dalam Emzir (2007) mengemukakan sejumlah kriteria untuk suatu desain penelitian eksperimental yang baik, antara lain:


1.      Kontrol eksperimental yang memadai
2.      Kekurangan artifisialitas
3.      Dasar untuk perbandingan
4.      Informasi yang memadai dari data
5.      Data yang tidak terkontaminasi
6.      Tidak mencampurkan variabel yang relevan
7.      Keterwakilan
8.      kecermatan



Menurut Arifin (2012), ada beberapa jenis desain penelitian eksperimental, yaitu:
1.      Pra Eksperimen (pre experimental)
Kelompok ini hampir sama dengan eksperimen, tetapi bukan eksperimen, karena tidak ada penyamaan karakteristik atau random dan tidak ada variabel kontrol. Fraenkel dan Norman dalam Arifin (2012) menyebutnya sebagai eksperimen lemah (weak experimental), karena dianggap eksperimen paling lemah. Jenis eksperimen ini hanya digunakan untuk penelitian latihan, bukan untuk penelitian akademik, penelitian kebijakan, pengembangan ilmu atau sejenisnya. Desain ini terdiri dari studi kasus satu tembakan (one-shot case study), satu kelompok prates-postes (one-group pretest-posttest design), dan perbandingan kelompok lengkap (intact-group comparison).

2.      Eksperimen Murni (true experimental)
Kelompok ini menguji variabel bebas dan variabel terikat yang dilakukan terhadap sampel kelompok kontrol. Sampel dari kedua kelompok tersebut diambil secara acak. Sampel acak bisa diambil jika subjek-subjek tersebut memiliki ciri yang sama atau dibuat sama atau disamakan, sehingga harus dilakukan pengujian. Jika tidak bisa diuji, maka karakteristik kesamaan itu harus dibangun berdasarkan asumsi yang kuat dari peneliti. Disain eksperimen murni mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kelompok kontrol, subjek ditarik secara random dan ditandai untuk masing-masing kelompok, serta sebuah tes awal diberikan untuk mengetahui perbedaan antar kelompok. Desain ini terdiri dari: the posttest-only group control design, the pretest-posttest control group design, dan the solomon four-group design.

3.      Eksperimen Kuasi (quasi experimental)
Eksperimen ini disebut juga eksperimen semu. Tujuannya adalah untuk memprediksi keadaan yang dapat dicapai melalui eksperimen yang sebenarnya, tetapi tidak ada pengontrolan dan/atau manipulasi terhadap seluruh variabel yang relevan.
Eksperimen kuasi banyak digunakan dalam penelitian pendidikan dengan desain pre-test post-test, karena variabel-variabelnya banyak yang tidak bisa diamati, seperti kematangan, efek pengujian, regresi statistik, dan adaptasi. Begitu juga penelitian mengenai masalah-masalah sosial, seperti kenakalan, keresahan, merokok, jumlah penderita penyakit jantung, yang mana kontrol dan manipulasi tidak selalu dapat dilaksanakan. Desain ini terdiri dari: the nonequivalent control group design, the time series design, conterbalanced design, dan factorial design.

4.      Eksperimen Subjek-Tunggal (single-subject experimental)
Eksperimen subjek-tunggal adalah suatu eksperimen di mana subjek atau pertisipasinya bersifat tunggal, bisa satu orang, dua orang, atau lebih. Hasil eksperimen disajikan dan dianalisis berdasarkan subjek secara individual. Prinsip dasar eksperimen subjek tunggal adalah meneliti individu dalam dua kondisi, yaitu tanpa perlakuan dan dengan perlakuan. Pengaruh terhadap variabel akibat diukur dalam kedua kondisi tersebut. Penelitian ini sangat berguna bagi guru yang sedang melaksanakan penelitian terhadap individual peserta didik. Misalnya, dalam melakukan penelitian bimbingan dan konseling atau dalam melakukan rehabilitasi dan terapi fisik yang perlakuannya hanya diberikan pada satu individu. Desain single-subject umumnya menggunakan pengukuran yang berulang dan hanya mengimplementasikan variabel bebas tunggal yang diharapkan dapat mengubah hanya satu variabel terikat. Pengukuran variabel dilakukan pada kondisi normal yang disebut baseline.

H.    VARIABEL
1.      Pengertian Variabel
Menurut effendi dalam Ghony dan Almansur (2009), variabel dalam penelitian ilmiah adalah faktor yang selalu berubah-ubah, atau suatu konsep yang mempunyai variasi nilai, sedangkan menurut Ary dalam Ghony dan Almansur (2009), variabel dikenal sebagai suatu atribut yang dianggap mencerminkan atau mengungkapkan konsep atau konstruksi dalam penelitian. Seperti halnya konsep badan bukan variabel, karena badan tidak mengandung pengertian dan nilai yang bervariasi. Variabel itu mengandung nilai- nilai yang berbeda, sedangkan tinggi badan dan berat badan termasuk dalam kategori variabel, karena mempunyai sebuah nilai.

2.      Jenis Variabel Penelitian
Menurut Ghony dan Almansur (2009), variabel dapat dibedakan menjadi 7, yaitu :
a.      Independent Variabel dan Dependent Variabel
Variabel ini penting diketahui peneliti bila mengetahui analisis sosiologik yang berkaitan dengan hubungan asimetrik. Dalam hubungan ini variabel independen dianggap memberi landasan untuk variabel dependen. Hubungan antara variabel independen dan dependen tidak perlu merupakan sesuatu hubungan sebab (causation). Sebagai pedoman praktis dalam menentukan variabel independen yakni dengan menentukan sifat mudah tidaknya variabel tersebut berubah atau diubah. Misalnya variabel sex, ras urutan kelahiran dapat dipandang tetap dan tergolong variabel independen. Sebab dalam keadaan tertentu variabel seperti nasionalitas, agama, kelas sosial, dan dapat juga dikelompokkan pada variabel independen. Selanjutnya bila dibuat dalam suatu fungsi: Y-F(X), di mana variabel X disebut variabel independen, dan Y adalah variabel dependen. Ada kemungkinan bahwa hanya ada satu nilai Y tertentu berkaitan dengan tiap nilai X, sedangkan variabel Y adalah merupakan suatu fungsi dari X yang bernilai tunggal. Bilamana memiliki nilai lebih dari satu nilai Y yang berkaitan dengan nilai X, sedangkan variabel Y adalah suatu fungsi yang bernilai multiple dari X, di mana suatu fungsi dapat meliputi lebih dari dua variabel, seperti misalnya Z = F (X, Y).

b.      Extraneous Variabel
Variabel ini merupakan variabel tambahan yang kadang-kadang perlu ditinjau ulang untuk menjelaskan dan memahami sesuatu hubungan antara variabel yang sudah ada. Kadang-kadang variabel extraneous ini ditambahkan oleh peneliti sebagai “tes faktor” untuk membantu suatu analisis antara dua faktor lain. Sebagi conoh dalam analisis hubungan jumlah nelayan dengan jumlah ikan yang ditangkap. Maka kebenaran hubungan ini dapat diuji terhadap variabel extraneous seperti iklim, modernisasi, alat penangkap yang digunakan nelayan, dan sebagainya.

c.       Variabel komponen
Variabel komponen adalah variabel yang merupakan sub bagian atau komponen dari variabel yang dimaksud dalam penelitian. Biasanya uraian penjelasan variabel komponen tersebut menyangkut variabel independen. Misalnya, banyak sedikitnya perceraian dikalangan petani didaerah tertentu pada setiap musim panen, bukan disebabkan karena faktor “panen” yang merupakan konsep umum, tetapi berkaitan dengan komponen konsep “panen” itu seperti: panen jenis, hasil bumi tertentu, atau ketetapan waktu panen, dan seterusnya.

d.      Intervening Variabel
Variabel ini merupakan variabel yang perlu memperoleh perhatian, sebab dalam variabel ini ada unsu-unsur yang ikut campur tangan dalam hubungan dengan variabel yang sedang diteliti. Adanya variabel “intervening” akan dapat diduga bila dalam hubungan antara variabel yang sedang diteliti tidak memperhatikan pola yang sama pada kesempatan atau lokasi yang berlainan. Misalnya kerajianan murid dengan prestasi hasil belajar siswa, sedang variabel interveningnya antara lain: kesehatan, keadaan rumah tangga siswa, beban keluarga siswa dan sebagainya.

e.       Tresendent Variabel
Di mana variabel intervening yang telah diungkapkan diatas  dan variabel antisendent ini memiliki peranan yang serupa, hanya pertama tempatnya diantara variabel-variabel independen dan dependen. Sedangkan variabel anticendent mendahului variabel independen dan dependen.

f.       Supresor Variabel
Dalam hal ini kadang-kadang hubungan antara variabel yang sedang diteliti ternyata tidak ada, atau hubungan lemah bukan karena memang demikian adanya tetapi disebakan karena sesuatu variabel yang melemahkan hubungan tersebut. Variabel yang demikian itu dalam peneltian disebur supresor. Variabel ini penting dalam suatu tindakan analisis untuk menguji suatu hipotesis, sehingga hipotesis itu bisa ditolak atas dasar hubungan variabel yang lemah, sedangkan variabel supresor itu ditemukan maka hubungan yang dicari tersebut ternyata cukup kuat. Misalnya, dalam penelitian pembuktian bahwasannya IQ seseorang tidak bergantung pada ketentuan keturunan atau ras. Berbagai peneliti membuktikan ternyata hasilnya terjadi sebaliknya, yang menekan hubungan yang tidak ada sehingga menjadi ada hubungan tak lain adalah faktor ekonomi dari pihak responden berbagai ras keturunan yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, serta ethnosentrisitas berbagai tes IQ yang diadakan.

g.      Variabel yang Menyebabkan Distorsi
Di mana adanya variabel ini menyebabkan seseorang peneliti membuat kesimpulan yang berupa sebaliknya dari apa yang seharusnya atau yang sebenarnya terjadi. Misalnya, di dalam lembaga permasyarakatan Cipinang Jakarta Timur kebanyakan narapidana adalah penduduk dari luar daerah DKI. Kesimpulan yang dapat antara asal narapidana dan tingkat atau jenis kriminalitas adalah bahwa penduduk diluar DKI memiliki kecenderungan berbuat tindakan kriminal yang lebih dibandingkan dengan penduduk di wilayah DKI sendiri.
Bila variabel distorsi yang dalam kenyataanya menyatakan bahwa kegiatan tindakan pidana kriminal itu dilakukan oleh adanya variabel pengangguran dari responden pendatang, maka tindak pidana kriminal itu dilakukan oleh adanya variabel penganguran dari responden pendatang, maka tindak pidana kriminal di DKI yang tergolong penganguran dan pendatang baru juga tidak kalah tingginya.

I.       DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Setelah variabel-variabel itu diidentifikasi dan diklasifikasi, pekerjaan peneliti berikutnya adalah mendefinisikan variabel-variabel itu yang lebih operasional. Artinya, batasan yang memiliki sifat memudahkan peneliti untuk melakukan pengamatan terhadap data yang dikumpulkan berdasarkan jenis variabel tersebut (Setyosari, 2010).
Menurut Arifin (2012), definisi operasional adalah definisi khusus yang didasarkan atas sifat-sifat yang didefinisikan, dapat diamati dan dilaksanakan oleh peneliti lain. Definisi operasional merupakan cara yang paling efektif bagi peneliti untuk melakukan pengumpulan data penelitiannya. Ada beberapa cara mendefinisikan variabel, yaitu ada yang menitikberatkan pada segi kegiatan-kegiatan (operasi) apa yang harus dilakukan, dan ada yang menekankan sifat-sifat statis (konseptual) tentang hal yang didefinisikan. Biasanya dalam merumuskan batasan operasional variabel itu disertai atau ditunjukkan pula cara atau alat (instrumen) pengumpul data yang digunakan (Setyosari, 2010).

J.      POPULASI
Populasi adalah target seluruh orang atau objek yang akan menjadi sasaran kesimpulan penelitian. Dalam penelitian, populasi ini dibedakan antara populasi secara umum dsan populasi target. Populasi target adalah populasi yang menjadi sasaran keberlakuan kesimpulan penelitian kita. Populasi umum penelitian mungkin seluruh guru SMA Negri di Jawa Barat, tetapi populasi targetnya adalah seluruh guru IPA SMA negri di Jawa Barat. Hasil Penelitian kita tidak berlaku untuk guru- guru selain guru negri dan harus guru IPA (Ghony dan Almansur, 2009).

K.    SAMPEL
1.      Pengertian Sampel
Sampel adalah kelompok kecil yang secara nyata kita teliti dan tarik kesimpulan. Dalam penentuan sampel langkah awal yang harus ditempuh adalah pembatasan jenis populasi, atau menentukan populasi target. Selain berdasarkan jenisnya populasi, sampel juga dapat dibatasi dalam area atau dalam wilayah, entah itu perkotaan, pedesaan dst. (Sukmadinata, 2012).
Semakin banyak jumlah sampel penelitian diambil akan semakin representatif, artinya akan semakian mendekati populasi yang diperoleh peneliti. Namun, apabila populasi penelitiannya homogen sempurna maka besar kecilnya sampel tidak ada dampaknya. Untuk pengambilan sampel penelitian yang representatif perlu dipahami dan diperhatikan juga daerah generalisasinya, dimana peneliti terlebih dahulu menetapkan luas populasi penelitiannya sebagai daerah generalisasi baru kemudian menentukan sampelnya sebagai daerah penelitian. Disamping itu peneliti harus menentukan terlebih dahulu luas dan sifat- sifat populasi, memberikan batas-batas yang tegas, baru kemudian menetapkan sampel penelitiannya. Begitu pula harus dipertimbangkan secara cermat terutama dalam mengguanakan sumber-sumber informasi dari segi validitas dari apa yang dimuat didalamnya. Pentimg untuk diketahui oleh peneliti waktu dibuatnya dokumen tersebut, bagaimana data yang dikumpulkan dan bagaimana pula data itu diklasifikasikan dan dianalisis. Suatu hal yang sangat penting untuk memperoleh perhatian dari peneliti dalam menentukan besar kecilnya sampel penelitian adalah homogenitas populasi. Jika keadaan populasi homogen, jumlah sampel penelitian hampir tidak menjadi persoalan. Akan tetapi jika keadaan populasi homogen, maka peneliti dalam menetapkan sampel penelitiannya harus memiliki kategori- kategori heterogenitas, dan besarnya populasi dalam tiap-tiap kategori tersebut (Ghony dan Almansur, 2009).

2.      Teknik Sampel
Menurut Ghony dan Almansur (2009), terdapat dua macam teknik sampel, yaitu:
a.       Teknik Random Sampling
Teknik random sampling adalah pengambilan sampel secara sembarang atau acak. Teknik ini bukanlah suatu cara sembarangan sebagaimana pendapat peneliti yang belum memahami dasar-dasar penelitian yang utuh. Sebab pengambilan sempel secara random bertitik tolak pada prinsip-prinsip matematik yang kokoh karena telah diuji dalam praktik. Hingga sekarang, teknik ini dianggap paling representatif dalam penelitian pendidikan. Dalam teknik random sampling semua individu dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel penelitian. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menganggap teknik random sampling sebagai sempel penelitian yang menyimpang. Adapun cara atau prosedur yang digunakan untuk random sampling, yaitu:
1)      Cara Undian
Cara ini dilakukan seperti halnya melakukan undian. Semua anggota populasi diberi nomor, nama, alamat, ditulis dalam kertas gulung kecil dan dimasukkan dalam kotak. Kertas yang digulung dalam kotak. Kertas yang digulung dalam kotak tersebut dikokcok-kocok lalu diambil satu persatu sesuai dengan kebutuhan sampel yang telah ditetapkan besarannya. Setelah jumlah sampel tersebut terpenuhi, maka pengambilan gulungan kertas dalam kotak tersebut dihentikan. Siapa-siapapun yang tercantum namanya dalam gulungan kertas yang diambil dari kotak itu adalah sebagai sempelnya.
2)      Cara Oridinal
Cara ini diselenggarakan dengan mengambil subyek dari atas kebawah setelah subyek populasi tersebut disusun secara alfabetis. Ini dilakukan dengan cara alfabetis, yaitu dengan cara mengambil mereka-mereka yang telah disusun tersebut yang memiliki nomor urut ganjil atau genap, atau yang memiliki nomor kelipatan ganjil, ataupun genap dari suatu daftar subyek yang telah disusun tersebut.
3)       Cara Randomisasi dan Tabel Bilangan Random
Diantara kegiatan prosedur itu, cara ketiga ini yang banyak digunakan oleh para peneliti, sebab selain prosedurnya yang sederhana, juga kemungkinan penyimpangan juga dapat diperkecil dan dihindari semaksimal mungkin. Tabel bilangan random umumnya terdapat pada buku-buku statistik.

b.      Teknik Non Random Sampling
Semua sampling yang dilakukan bukan dengan teknik random sampling disebut non random sampling. Dalam sampling ini tidak semua individu dalam populasi diberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel. Indisental sampling misalnya, hanya individu-individu atau kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saat yang diteliti. Jenis penelitian dari non random dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Proposional Sampel, dalam hal ini sampel yang terdiri dari sub sampel yang perimbangannya mengikuti perimbangan sub populasi yang sedang diteliti. Proposional sampling mungkin menggunakan randomisasi, mungkin tidak. Jika proposional sampling menggunakan randomisasi, maka sampling ini disebut proportional random sampling. Dalam propotional random sampling ini besar kecilnya sub sampel mengikuti perbandingan (proporsi) besar kecilnya sub populasi, dan individu yang ditugaskan dalam tiap-tiap sub populasi diambil secara random dan sub populasi.
2)      Stratified Sampel, di mana sampel jenis ini bisa digunakan jika populasi terdiri dari kelompok yang memiliki susunan bertingkat. Dalam banyak penelitian, peneliti tidak menghadapi suatu populasi yang menunjukan adanya strata (lapisan). Di lembaga sekolah sekolah misalnya, terdapat beberapa tingkat kelas, begitu juga dalam masyarakat terdapat bertingkat-bertingkat penghasilan. Sampling yang memperhatikan stratum dalam populasi disebut dengan stratified sampling. Jika stratified sampling itu memperhatikan pertimbangan atau proporsi dari pada individu dalam tiap-tiap stratum maka disebut proportional stratified sampling. Selanjutnya propotional stratified sampling yang menggunakan randomisasi dinamakan proportional stratified random sampling.
3)      Porposive Sampel, dalam sampel ini pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang memiliki sangkut paut yang erat ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
4)      Quota Sampel, berbeda dengan sampel sebelumnya seperti purposive sampling yang paling sering digunakan untuk menyelidiki pendapat masyarakat atas dasar quota. Meskipun tidak semua purposive sampling adalah quota sampling. Apabila dasar quota digunakan yang paling penting adalah jumlah subyek yang akan diteliti haruslah ditetapkan terlebih dahulu besarannya sebagai sampel penelitian.
5)      Double Sampel, biasa juga disebut dengan sampel kembar. Sampel ini sangat baik dan tetap digunakan manakala untuk penelitian yang menggunakan angket sebagai alat pengempulan data dengan pengiriman lewat pos sekaligus sebagai usaha penampungan bagi mereka yang tidak mengembalikan daftar angket yang telah dikirimkan pada mereka sasaran penelitian. Mereka yang telah mengembalikan daftar angket dimasukkan dalam sampel pertama, dan mereka yang tidak mengembalikan daftar angket dimasukkan kedalam sampel kedua ini, karena tidak dapat diperoleh dengan jalan angket, kemudian dapat dicapai dengan jalan interview. Sampling kembar ini juga kerapkali digunakan untuk keperluan pengecekan (cross validation).
6)      Areaprobability Sampel, di mana sampel penelitian jenis ini membagi-bagi daerah populasi kedalam sub-sub daerah tersebut dibagi-bagi lagi kedalam daerah- daerah yang lebih kecil, dan jika diperlukan daerah-daerah kecil lagi.
7)      Cluster Sampel, di mana dalam proporsi yang lebih kecil lagi dari kelompok sampling, mempunyai kesamaan hakikat dengan aeroprobality sampling tersebut di atas. Dalam cluster sampling satuan-satuan sampel tidak lagi terdiri atas kelompok-kelompok individu atau biasa disebut cluster. Dalam peneitian ekonomis karena observasi yang dilakukan dalam rangka pengumpulan data terhadap sampel tersebut adalah lebih mudah dan lebih murah daripada observasi- observasi terhadap sejumlah individu yang sama, tetapi tempatnya terpencar-pencar.
8)      Petala Sampel, di mana peneliti menetapkan sampel jenis ini bila keadaan populasi penelitian heterogen, dan biasanya akan lebih baik dibuat menjadi beberapa satrum atau petala atau lapisan. Pembuatan petala atau lapisan ditentukan berdasarkan karakteristik tertentu sedemikian sehingga petala atau lapisan menjadi homogen. Dari petala atau lapisan lalu diambil sampelnya secara random terhadap anggota yang diperlukan, atau dapat juga dengan cara lain yaitu dilakukan secara randomisasi di dalam setiap petala atau lapisan. Apabila pengambilan anggota sampel dari tiap petala atau lapisan tidak secara random, tetapi dilakuakan dengan cara lain, maka terjadilah sampling kuota. Disamping itu, sampling petala biasanya diperbaiki lagi dengan menggunakan cara proposional. Dengan cara ini dimaksudkan bahwa banyak anggota dari setiap petala atau lapisan secara sebanding dengan ukuran tiap petala atau lapisan.
9)      Sampling Sistematik, di mana dalam sampling sistematik ini anggota sampel diambil dari populasi pada jarak interval waktu, ruang, ataupun urutan yang uniform. Jika populasi penelitiannya berukuran N dan sampelnya beranggotakan n, maka jarak interval besarnya (N:n). Dengan demikian, diperoleh n buah interval dan dari tiap interval diambil sebuah anggota. Pengambilan anggota pertama yang ada di dalam interal pertama dilakukan secara random, sedangkan angota-anggota selanjutnya diambil pada jarak setiap (N:n).
10)  Sampling Multipel, merupakan perluasan dari sampling ganda. Pengambilan  anggota sampelnya dilakukan lebih dari dua kali dan tiap kali digabungkan menjadi sebuah sampel. Pada tiap gabungan, analisis dilakukan lalu kesimpulan diadakakan dan sampling berhenti dan apabila hasilnya telah memenuhi kriteria yang telah direncanakan. Untuk menggunakan  sampling multipel, maka peneliti harus merencanakan sampling penelitian yang baik. Ini semua termasuk cara-cara sampling yang lainnya dalam penelitian terutama dalam statistik yang disebut teknik sampling.
11)  Sampling Sekwensial, di mana sampling ini sebenarnya juga merupakan sampling multipel. Perbedaannya ialah dalam sampling  sekwensial tiap anggota sampel diambil satu demi satu dan pada tiap kali selesai mengambil anggota sampel, analisis dilakukan lalu berdasarkan  ini kesimpulan diadakan apakah sampling berhenti ataukah dilanjutkan. Tentu saja setiap anggota yang diambil disatukan dengan anggota-anggota yang diambil terlebih dahulu sebelum kesimpulan diadakan pada tingkatan ini.

L.     TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Menurut Sukmadinata (2012), ada beberapa teknik dalam pengumpulan data, yaitu:
1.      Wawancara (interview)
Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif maupun deskriptif kuantitatif. Wawancara dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual. Namun, wawancara juga dapat dilakukan secara berkelompok, apabila penelitian tersebut bertujuan untuk menghimpun data dari kelompok, seperti wawancara dengan satu keluarga, pengurus yayasan, dan sebagainya.
2.      Angket (Kuesioner)
Angket merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung, atau dengan kata lain peneliti tidak secara langsung melakukan tanya jawab dengan responden. Instrumen atau alat pengumpulan datanya berupa angket yang berisi sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh responden.
3.      Pengamatan (Observasi)
Pengamatan merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan cara mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Kegiatan tersebut dapat berupa cara guru mengajar, siswa belajar, dan sebagainya. Observasi dapat dilakukan secara partisipatif ataupun nonpartisipatif. Dalam observasi parsitipatif, pengamat ikut serta dalam kegiatan yang sedang berlangsung, sedangkan dalam observasi non parsitipatif, pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan, akan tetapi pengamat hanya mengamati kegiatan yang sedang berlangsung.
4.      Studi Dokumenter
Studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik secara tertulis, gambar, maupun elektronik. Dokumen-dokumen yang dihimpun, dipilih sesuai dengan tujuan dan fokus masalah. Selain itu, dokumen-dokumen tersebut diurutkan sesuai dengan sejarah kelahiran, kekuatan, dan kesesuaian isinya dengan tujuan pengkajian. Isinya dianalisis, dibandingkan, dan dipadukan membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu, dan utuh.

M.   INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
Menurut Sukmadinata (2012), instrumen pengumpulan data secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tes dan skala.
1.      Tes
Pada umumnya tes bersifat mengukur, walaupun beberapa bentuk tes psikologis terutama tes kepribadian banyak yang bersifat deskriptif, akan tetapi deskripsinya mengarah kepada karakteristik atau kualifikasi tertentu, sehingga mirip dengan interpretasi dari hasil pengukuran. Tes yang sering digunakan dalam pendidikan anatara lain: tes hasil belajar dan tes psikologis.
a.       Tes hasil belajar
Tes hasil belajar merupakan tes yang mengukur hasil belajar yang dicapai peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Menurut waktunya, dibedakan menjadi rentang satu pertemuan (tes akhir pertemuan), satu pokok bahasan (tes akhir pokok bahasan), satu minggu (tes mingguan), setengah semester, satu semester, dan satu jenjang pendidikan (ujian akhir).
Menurut materi yang diukur, tes hasil belajar dibedakan berdasarkan nama mata pelajaran yang dipelajari, yaitu matematika, kimia, biologi, dan sebagainya. Sedangkan menurut tujuan atau fungsinya, tes hasil belajar dibedakan menjadi, tes diagostik, penempatan, formatif, dan sumatif.
b.      Tes psikologis
Tes psikologis digunakan untuk mengukur atau mengetahui kecakapan potensial dan karakteristik pribadi dari peserta didik. Kecakapan potensial dan kecakapan hasil belajar peserta didik dapat diukur dengan menggunakan tes, akan tetapi tes yang digunakan berbeda. Di mana untuk mengukur kecakapan potensial digunakan tes standar, sedangkan untuk mengukur hasil belajar digunakan tes buatan atau tes yang tidak distandarisasikan.
Aspek-aspek kepribadian ada yang bersifat mengukur dan ada juga yang bersifat mendeskripsikan. Instrumen penilaian kepribadian yang bersifat mengukur biasanya disusun dalam bentuk skala, skala sikap, minat, motivasi, dan sebagainya, sedangkan yang tidak bersifat mengukur dikategorikan sebagai inventori.

2.      Skala
Skala merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat mengukur, karena diperoleh hasil ukur yang berbentuk angka. Skala berbeda dengan tes, jika tes terdiri dari jawaban salah atau benar, skala tidak ada jawaban salah atau benar, tetapi jawaban atau respon dari responden terletak dalam suatu rentang (skala) tertentu. Titik pada rentang yang dipilih menunjukkan posisi responden.
Menurut Sukmadinata (2012), Ada lima macam skala, yaitu:
a.       Skala deskriptif
Skala deskriptif merupakan skala yang mengikuti bentuk skala sikap dari Likert, yaitu berupa pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berbentuk skala persetujuan atau penolakan terhadap pertanyaan atau pernyataan tersebut. Penerimaan atau penolakan dinyatak dalam persetujuan yang dimulai dari sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
b.      Skala garis
Skala garis merupakan skala yang hampir sama denga skala deskriptif, di mana respon dari responden tidak dalam bentuk persetujuan, akan tetapi respon tersebut dapat bervariasi sesuai dengan rumusan pertanyaan atau pernyataan. Respon atau jawaban dari responden tidak selalu seragam, akan tetapi berbeda-beda sesuai dengan rumusan pertanyaan atau pernyataan. Meskipun rumusan responnya berbeda-beda, tetapi jarak rentangnya sama.
c.       Skala pilihan wajib
Skala ini biasanya digunakan untuk mengukur minat. Skala ini berbentuk pernyataan yang diikuti oleh sejumlah alternatif jawaban atau respon yang berkenaan dengan minat, minat bekerja, belajar, dan sebagainya. Alternatif jawaban harus ganjil, biasanya tiga atau lima pilihan. Dalam skala ini, responden wajib memilih satu jawaban yang paling disukai dan satu jawaban yang paling tidak disukai.
d.      Skala pembandingan pasangan
Skala ini biasanya digunakan untuk mengukur persepsi, penilaian atau minat terhadap sesuatu objek yang berbentuk kegiatan, institusi, organisasi, dan sebagainya. Pengukuran minat dilakukan dengan membandingkan dua atau lebih dari dua objek, di mana objek yang dibandingkan tersebut hendaknya seimbang.
e.       Daftar cek
Daftar cek merupakan bentuk skala yang berisi sejumlah pernyataan singkat yang harus direspon dengan memberi tanda cek. Penggunaan daftar cek sangat luas, yaitu untuk mengukur pendapat, persepsi, kegiatan, kebiasaan, pengalaman, dan pengidentifikasian sesuatu.

N.    CIRI-CIRI INSTRUMEN YANG BAIK
Menurut Uliana dalam artikel pendidikan disebutkan bahwa, sebuah instrumen evaluasi hasil belajar hendaknya memenuhi syarat sebelum di gunakan untuk mengevaluasi atau mengadakan penilaian agar terhindar dari kesalahan dan hasil yang tidak valid (tidak sesuai kenyataan sebenarnya). Alat evaluasi yang kurang baik dapat mengakibatkan hasil penilaian menjadi bias atau tidak sesuainya hasil penilaian dengan kenyataan yang sebenarnya, seperti contoh anak yang pintar dinilai tidak mampu atau sebaliknya (http://stahdnj.ac.id/?p=67).
Jika terjadi demikian perlu ditanyakan apakah persyaratan instrumen yang digunakan menilai sudah sesuai dengan kaidah-kaidah penyusunan instrumen.
Instrumen Evaluasi yang baik memiliki ciri-ciri dan harus memenuhi beberapa kaidah antara lain :
  • Validitas
  • Reliabilitas
  • Objectivitas
  • Pratikabilitas
  • Ekomonis
  • Taraf  Kesukaran
  • Daya Pembeda
1.      Validitas
Sebuah Instrumen Evaluasi dikatakan baik manakala memiliki validitas yang tinggi. Yang dimaksud Validitas disini adalah kemampuan instrumen tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Ada tiga Aspek yang hendak dievaluasi dalam evaluasi hasil belajar yaitu Aspek Kognitif, Psikomotor dan Afektif.Tinggi Rendah nya validitas instrumen dapat di hitung dengan uji validitas dan di nyatakan dengan koefisien validitas.
2.      Reliabilitas
Instrumen dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi manakala instrumen tersebut dapta menghasilkan hasil pengukuran yang ajeg. Keajegan/ketetapn disini tidak diartikan selalu sama tetapi mengikuti perubahan secara ajeg. Jika keadaan seseorang si upik berada lebih rendah dibandingkan orang lain misalnya si Badu, maka jika dilakukan pengukuran ulang hasilnya si upik juga berada lebih rendah terhadap si badu. Tinggi rendahnya reliabilitas ini dapat di hitung dengan uji reliabilitias dan dinyatakan dengan koefisien reliabilitas.
3.      Objectivitas
Instrumen evaluasi hendaknya terhindar dari pengaruh-pengaruh subyektifitas pribadi dari si evaluator dalam menetapkan hasilnya. Dalam menekan pengaruh subyektifitas yang tidak bisa dihindari hendaknya evaluasi dilakukan mengacu kepada pedoman tertama menyangkut masalah kontinuitas dan komprehensif.
Evaluasi harus dilakukan secara kontinu (terus-menerus). Dengan evaluasi yang berkali-kali dilakukan maka evaluator akan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang  keadaan Audience yang dinilai. Evaluasi yang diadakan secara on the spot dan hanya satu atau dua kali, tidak akan dapat memberikan hasil yang obyektif tentang keadaan audience yang di evaluasi. Faktor kebetulan akan sangat mengganggu hasilnya.
4.      Praktikabilitas
Sebuah intrumen evaluasi dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila bersifat praktis mudah pengadministrasiannya dan memiliki ciri : Mudah dilaksanakan, tidak menuntut peralatan  yang banyak dan memberi kebebasan kepada audience mengerjakan yang dianggap mudah terlebih dahulu. Mudah pemeriksaannya artinya dilengkapi pedoman skoring, kunci jawaban. Dilengkapi petunjuk yang jelas sehingga dapat di laksanakan oleh orang lain.
5.      Ekonomis
Pelaksanaan evaluasi menggunakan instrumen tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal tenaga yang banyak dan waktu yang lama.
6.      Taraf Kesukaran
Instrumen yang baik terdiri dari butir-butir instrumen yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Butir soal yang terlalu mudah tidak mampu merangsang audience mempertinggi usaha memecahkannya sebaliknya kalau terlalu sukar membuat audiece putus asa dan tidak memiliki semangat untuk mencoba lagi karena diluar jangkauannya. Di dalam isitlah evaluasi index kesukaran ini diberi simbul p yang dinyatakan dengan “Proporsi”.
7.      Daya Pembeda
Daya pembeda sebuah instrumen adalah kemampuan instrumen tersebut membedakan antara audience yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan audience yang tidak pandai (berkemampuan rendah). Indek daya pembeda ini disingkat dengan D dan dinyatakan dengan Index Diskriminasi.

O.    VALIDITAS INSTRUMEN
1.      Pengertian Validitas
Menurut Sudaryono (2012), validitas  atau keshahihan berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Dengan kata lain, validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur.

2.      Jenis Validitas
Menurut Arifin (2012), dalam penelitian eksperimen terdapat dua jenis validitas jika dilihat dari sumbernya, yaitu validitas internal dan validitas eksternal.
a.       Validitas Internal
Validitas internal berkaitan dengan ketepatan mengidentifikasi variabel eksperimen. Tujuan validitas ini adalah untuk menentukan apakah faktor-faktor yang telah dimodifikasi benar-benar memberikan pengaruh pada latar eksperimen, dan apakah variabel yang diobservasi benar-benar tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar (faktor-faktor yang tidak dikontrol). Apabila tujuan tersebut tercapai, berarti validitas internal dalam penelitian eksperimental sudah terpenuhi. Dengan kata lain, suatu eksperimen memiliki validitas internal apabila faktor-faktor yang dimanipulasi (variabel bebas) berpengaruh terhadap variabel terikat.
b.      Validitas Eksternal
Tujuan kedua dari metode eksperimental adalah validitas eksternal. Validitas ini menanyakan apakah hasil temuan penelitian sudah dapat dianggap representatif dan dapat dipercaya? Dan apakah hasil temuan tersebut dapat digeneralisasikan terhadap subjek atau kondisi yang sama dengan populasi yang lebih besar? Jika suatu perlakuan dapat diterapkan pada kelas lain yang memiliki subjek dan kondisi yang sama dengan hasil yang sama, berarti validitas eksternalnya tinggi. Oleh karena itu, peneliti harus memahami teknik sampling dan populasi yang baik. Kesalahan dalam menentukan populasi dan sampling akan menyebabkan kesalahan di dalam penarikan kesimpulan.

3.      Jenis pengujian validitas tes hasil belajar
Menurut Sudaryono (2012), Analisis terhadap tes hasil belajar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis dengan menggunakan jalan berpikir secara rasional atau dengan menggunakan logika, dan analaisis yang dilakukan dengan mendasarkan diri kepada kenyataan empiris.
Tes hasil belajar yang telah diuji secara rasional dan memiliki daya ketepatan mengukur disebut tes hasil belajar yang telah memiliki validitas logika (logical validity). Validitas rasional merupakan validitas yang diperoleh atas dasar hasil pemikiran, yaitu validitas yang diperoleh dengan pemikiran yang logis. Validitas suatu tes dapat ditentukan melalui dua segi, yaitu dari segi isi (content) dan dari segi susunan atau konstruksinya (construct).
1)      Validitas Isi (Content Validity)
Validitas isi adalah derajat di mana sebuah tes evaluasi mengukur cakupan substansi yang ingin diukur. Dua aspek penting yang sangatt penting untuk memeperoleh validitas isi yaitu, valid isi dan valid teknik sampling. Valid isi mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan item-item evaluasi menggambarkan pengukuran dalam cakupan yang diukur, sedangkan validitas teknik sampling berkaitan dengan kemampuan suatu sampel item tes mempresentasikan total cakupan isi (Sukardi, 2008).
2)      Validitas konstruk (Construct Validity)
Suatu tes evaluasi dapat dinyatakan sebagai tes yang telah memiliki validitas konstruksi, apabila tes evaluasi tersebut ditinjau dari segi susunan, kerangka atau rekaanya telah dapat dengan secara tepat mencerminkan suatu konstruksi dalam teori psikologis. Konstruksi dalam teori psikologis ini menjelaskan bahwa jiwa seorang peserta didik dapat dirinci ke dalam beberapa aspek. Benjamin S Bloom misalnya, merincinya dalam tiga aspek kejiwaan, yaitu aspek kognitif (cognitive domain), aspek afektif (affective domain), dan aspek psikomotorik (psychomotoric domain) (Sudaryono, 2012).

b.      Pengujian Validitas Tes Secara Empirik
Menurut Mulyono dalam Sudaryono (2012), validitas empiris atau validitas karena suatu tes atau instrumen ditentukan berdasarkan data hasil ukur instrumen yang bersangkutan, baik melaalui uji coba maupun melalui tes atas pengukuran yang sesungguhnya. Validitas empiris diartikan sebagai validitas yang ditentukan berdasarkan kriteria, baik kriteria internal maupun kriteria eksternal. Kriteria internal adalah tes itu sendiri yang menjadi kriteria, sedangkan kriteria eksternal adalah hasil ukur tes lain di luar tes itu sendiri. Dengan kata lain, validitas empiris adalah validitas yang bersumber pada atau diperoleh atas dasar pengamatan di lapangan.
Validitas empiris menurut Sukardi (2008), dapat dilakukan melalui dua segi, yaitu segi daya ketepatan meramalnya (predictive validity) dan daya ketepatan bandingannya (concurrent validity).
1)      Validitas  Prediksi
Suatu tes dikatakan memiliki predictive validity jika hasil korelasi tes itu dapat meramalkan dengan tepat keberhasilan seseorang pada masa mendatang di dalam lapangan tertentu. Tepat tidaknya ramalan tersebut dapat dilihat dari korelasi koefesien antara hasil tes itu dengan hasil alat ukur lain pada masa mendatang (Purwanto, 1984).
2)      Validitas Bandingan
Jika hasil suatu tes mempunyai korelasi yang tinggi dengan hasil suatu alat ukur lain terhadap bidang yang sama pada waktu yang sama pula, maka dikatakan tes itu memiliki concurrent validity. Sementara itu, Sukardi menjelaskan bahwa tes dengan validitas konkuren biasanya diadministrasi dalam waktu yang sama atau denga kriteria valid yang sudah ada (Purwanto, 1984).


c.       DAYA BEDA BUTIR SOAL
Menurut Arikunto (2009: 211) dalam artikel Muhammad Khotib daya beda soal adalah kemampuan sesuatu soal yang dapat membedakan antara peserta didik yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan peserta didik yang bodoh (berkemampuan rendah). Sedangkan menurut Surapranata (2004: 23) indeks daya beda adalah kemampuan soal untuk membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa soal yang baik adalah soal yang dapat membedakan peserta didik yang pintar dan peserta didik yang tidak pintar. Soal digunakan oleh seorang evaluator untuk menguji kelompok yang diuji. Soal akan berfungsi dengan baik jika dapat membedakan kemampuan orang-orang dalam kelompok tersebut (http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/).
Rentang indeks daya beda  adalah  sampai . Semakin tinggi nilai indeks daya beda semakin baik. Kelompok peserta didik yang memperoleh nilai tinggi biasa disebut Kelompok Atas (KA) dan kelompok peserta didik memperoleh nilai rendah disebut Kelompok Bawah (KB). Jika soal dijawab oleh sebagian besar kelompok atas maka soal tersebut dikatakan baik, sebaliknya jika soal banyak dijawab dengan benar oleh kelompok bawah maka soal tersebut dikatakan jelek. Artinya soal harus dapat membedakan atau menguji dengan baik kelompok atas dan kelompok bawah .


Sebuah butir soal dikatakan baik adalah butir soal yang mempunyai daya beda 0,40 sampai 1,00. Menurut Arikunto (2009: 213) dalam arikel Muhammdak Khotib perhitungan indeks daya beda butir soal dapat menggunakan formula sebagai berikut (http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/):

http://simpelpas.files.wordpress.com/2011/04/dayabeda.png?w=730
Keterangan
D   =   indeks diskriminasi butir,
BA =   jumlah kelompok atas yang menjawab benar,
BB =   jumlah kelompok bawah yang menjawab benar,
JA =   jumlah kelompok atas,
JB =   jumlah kelompok bawah ,
     T  =   jumlah responden seluruhnya.
Indeks daya beda soal digunakan dalam mengklasifikasi kualitas soal. Menurut  Crocker dan Algina dalam Depdiknas (2010: 13) dalam artikel Muhammad Khotib membedakan soal dalam empat katagori soal, yaitu: soal diterima, soal diterima tapi perlu diperbaiki, soal diperbaiki, dan soal ditolak. Klasifikasi ini diperlukan untuk memilih soal mana pada tahap selanjutnya untuk dijadikan soal yang akan digunakan kembali dan dimasukkan dalam bank soal. Dan soal mana yang memerlukan perbaikan jika tetap ingin dimasukkan dalam bank soal (http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/)
.
Sedangkan menurut Ebel and Frisbie (1991: 232) dalam artikel Muhammad Khotib soal dapat diklasifikan dalam empat katagori yaitu: sangat baik, baik, cukup dan kurang/ jelek.  Klasifikasi soal berdasarkan indeks daya beda soal selanjutnya ditampilkan dalam tabel di bawah ini(http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/).
Tabel  Klasifikasi Indeks Daya Beda Soal
Indeks Diskriminasi
Kategori Soal
Kurang dari 0,19
Jelek – Soal tidak dipakai/dibuang
0,20 – 0,29
Kurang – soal diperbaiki
0,30 – 0,39
Baik – soal diterima tetapi perlu diperbaiki
Lebih dari 0,40
Sangat Baik – soal diterima



d.      RELIABILITAS INSTRUMEN
1.      Pengertian
Menurut Sudaryono (2012), reliabilitas berasal dari kata reliability berarti sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Salah satu syarat agar hasil ukur suatu tes dapat dipercaya ialah tes tersebut harus mempunyai realibilitas yang memadai.

2.      Karakteristik Reliabilitas
Menurut Kusaeri dan Suprananto (2012), reliabilitas mempunyai beberapa karakteristik  sebagai berikut :
a.       Reliabilitas merujuk pada hasil yang didapat melalui instrumen tes, bukan merujuk pada hasil instrumennya sendiri. Suatu instrumen tertentu mungkin memiliki reliabilitas berbeda, tergantung pada kelompok yang terlibat dan situasi dalam tes itu.
b.      Reliabilitas merupakan syarat perlu, tetapi belum cukup untuk syarat validitas, karena reliabilitas semata-mata memberikan  hasil yang konsisten sehingga memungkinkan terpenuhinya validitas.
c.       Reliabilitas utamanya berkaitan dengan statistik. Pada reliabilitas memiliki hasil yang konsen biasanya dinyatakan dalam bentuk koefisien reliabilitas dan kesalahan pengukuran.

3.      Metode  untuk Mengestimilasi Reliabilitas.
Metode yang sering digunakan untuk mengestimasi reliabilitas (Kusaeri dan Suprananto, 2012), antara lain:
a.       Metode Tes-Retes
Metode tes-retes merupakan cara yang paling mudah untuk mengestimilasi reliabilitas karena hanya mengujikan tes yang sama pada kelompok yang sama, namun berbeda waktu. Koefisien reliabilitas tes diperoleh dengan menghitung korelasi antara skor yang didapatkan dari dua tes tersebut. Tingkat skor tes dapat digeneralisasi dalam situasi atau waktu yang berbeda. Hal penting yang harus diperhatikan adalah waktu jeda antardua tes untuk mencari waktu yang optimal.
b.      Metode Bentuk Ekuivalen
Mengestimasi reliabilitas dengan metode ini menggunakan dua tes yang berbeda, namun bentuknya ekuivalen (biasanya disebut bentuk paralel atau alternate form). Kedua bentuk tes dikenakan pada sekelompok peserta didik yang sama dalam jeda waktu yang tidak lama dan hasilnya dikorelasikan. Koefisien korelasi ini akan memberikan suatu ukuran yang ekuivalen.  Kondisinya menunjukkan kedua bentuk tes mengukur aspek yang sama. Bentuk ekuivalen ini disusun berdasarkan kisi-kisi yang sama untuk menghasilkan rerata tingkat kesulitan yang dekat.
c.       Metode Tes-Retes dengan Bentuk Ekuivalen
Bentuk ekuivalen sering menggunakan jeda waktu dalam penyelenggaraan kedua tes. Hasil koefisien reliabilitas akan memberikan ukuran kemantapan dan ekuivalen. Metode ini paling baik digunakan karena menunjukkan kemantapan karakteristik anak yang diukur dan mampu mempresentasikan sampeldari materi yang diujikan , semua dapat dikontrol.
d.      Metode Belah Dua (Split Half)
Metode ini dilakukan dengan cara menguji seperangkat tes, tes dibagi atau dibelah menjadi dua ekuivalen dan masing-masing diskor secara terpisah. Hasil dari belahan pertama selanjutnya dikorelasikan dengan hasil belahan kedua, dihitung dengan menggunakan korelasi produk moment pearson.
e.       Metode Kuder Richardson atau Koefisien Alpha
Pendekatan ini untuk mengestimasi reliabilitas suatu tes yang diselenggarakan satu kali, estimasi reliabilitas yang dihasilkan dengan formula ini merupakan rerata dari semua kemungkinan koefisien split-half. Reliabilitas split-half, metode ini sensitive terhadap kesalahan pengukuran yang disebabkan oleh kesalahan sampel isi. Metode ini juga sensitive terhadap heterogenitas isi tes. Mengestimilasi relibilitas dengan metode ini memberikan informasi kepada kita seberapa jauh butir-butir tes itu mengukur karakteristik yang mirip.  
f.       Metode Inter-rater
Pada penskoran terhadap suatu instrumen atau non-objektif (melibatkan penyekor atau rater), perlu dihitung tingkat atau persentasi persetujuan (agreement) masing-masing rater. Metode ini menjadi proses penyekoran menjadi lebih adil. Pada metode tes ini dilaksanakan satu kali pada sejumlah peserta tes dengan menggunakan dua orang rater. Agar tidak saling mempengaruhi, maka masing-masing rater bekerja secara terpisah.








































BAB III
KESIMPULAN





























DAFTAR PUSTAKA
Arief Furchan. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Arifin, Zainal. 2012. Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Emzir. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ghony, Djunaidi dan Almansur, Fauzan. 2009. Metodologi Pendidikan Pendekata Kuantitatif. Malang: UIN-Malang.
Kusaeri dan Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Purwanto, Ngalim. 1984. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Setyosari, Punaji. 2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Malang: Prenada Media Group.
Sudaryono. 2012. Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sukmadinata, N. Syaodih. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.




0 komentar:

Posting Komentar