Kamis, 31 Juli 2014

Detektor Radiasi

DETEKTOR RADIASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kimia Inti
Dosen Pengampu: Muzakki


logo-uin-suka.jpg









Oleh:
Hendra Budi Gunawan                   (11670018)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Radiasi adalah suatu berkas zarah atau foton yang dipancarkan dari suatu sumber yang mengalami proses perubahan inti atom dari keadaan tidak stabil menjadi stabil. Hal yang paling mendasar untuk mengendalikan bahaya radiasi adalah mengetahui besarnya radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber radiasi baik melalui pengukuran maupun perhitungan. Besarnya radiasi dapat diukur dengan menggunakan alat ukur radiasi berupa detektor. Detektor nuklir mempunyai jenis serta bentuk yang cukup banyak. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai penemuan dan pengembangan telah dilakukan terhadap sistem pencacah radiasi untuk meningkatkan aplikasi dan kemudahan penggunaannya. Terdapat beberapa jenis detektor sebagai alat ukur radiasi, yaitu detektor isian gas, detektor sintilasi dan detektor semikonduktor. Oleh karena itu, untuk memahami jenis dan kegunaan detektor tersebut, pemakalah akan membahasanya dalam makalah yang berjudul “Detektor Radiasi”.

B.     Tujuan
Makalah yang berjudul “Siapa yang Menangkap Radiasi?” bertujuan untuk:
1.      Mengetahui jenis-jenis detektor radiasi.
2.      Mengetahui mekanisme kerja detektor radiasi.













BAB II
PEMBAHASAN

Partikel alfa, beta, gamma, neutron atau proton yang dilepas dari bahan radioaktif ataupun radiasi oleh alam, dapat diukur nilai parameter fisisnya hanya bila terdapat instrumen yang dapat mendeteksi atau mengukur parameter radiasi itu. Instrumen itu disebut detektor radiasi. Bentuk, bahan dan kepekaan dari setiap detektor disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Telah dikenal beberapa jenis detektor, yaitu detektor isian gas, detektor sintilasi, dan detektor semikonduktor (Jati dan Priyambodo, 2010: 307).
A.    Detektor Isian Gas
Detektor isian gas adalah detektor yang paling banyak digunakan untuk mengukur radiasi (Safitri, dkk, 2011). Detektor isian gas merupakan tabung tertutup yang berisi gas dan terdiri dari 2 buah elektrode. Dinding tabung sebagai elektrode negatif (katode) dan kawat yang terbentang di dalam tabung pada poros sebagai elektrode positif (anode). Skema detektor isian gas disajikan pada gambar berikut (Surakhman dan Sayono, 2009).
http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/images/IsianGas.jpg





Gambar 1. Detektor isian gas
Radiasi yang memasuki detektor akan mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion positif dan ion-ion negatif (elektron). Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut sebanding dengan energi radiasi dan  berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas. Daya ionisasi gas berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor tersebut akan memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun arus listrik. Adapun skema dari proses ionisasi disajikan pada gambar berikut




http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/images/IonisasiGas.jpg




Gambar 2. Proses ionisasi
Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik. Pergerakan ion tersebut di atas dapat berlangsung bila di antara dua elektroda terdapat cukup medan listrik. Bila medan listriknya semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion tersebut akan semakin besar sehingga mampu untuk mengadakan ionisasi lain. Ion-ion yang dihasilkan oleh ion primer disebut sebagai ion sekunder. Bila medan listrik di antara dua elektroda semakin tinggi maka jumlah ion yang dihasilkan oleh sebuah radiasi akan sangat banyak dan disebut proses avalanche.
Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang berbeda yaitu detektor kamar ionisasi, detektor proporsional, dan detektor Geiger Mueller (GM).
1.      Detektor Kamar Ionisasi
Detektor kamar ionisasi beroperasi pada tegangan paling rendah. Jumlah elektron yang terkumpul di anoda sama dengan jumlah yang dihasilkan oleh ionisasi primer. Dalam kamar ionisasi ini tidak terjadi pelipat-gandaan (multiplikasi) jumlah ion oleh ionisasi sekunder. Dalam daerah ini dimungkinkan untuk membedakan antara radiasi yang berbeda ionisasi spesifikasinya, misalnya antara partikel alfa, beta dan gamma. Namun, arus yang timbul sangat kecil, kira-kira 10-12 A sehingga memerlukan penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi (Hidayanto, 2009).
2.      Detektor Proporsional
Salah satu kelemahan dalam mengoperasikan detektor pada daerah kamar ionisasi adalah out put yang dihasilkan sangat lemah sehingga memerlukan penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, tetapi masih tetap dapat memanfaatkan kemampuan detektor dalam membedakan berbagai jenis radiasi, maka detektor dapat dioperasikan pada daerah proporsional (Hidayanto, 2009).
Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih tinggi daripada kamar ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya multiplikasi gas yang besarnya bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan tegangan yang digunakan. Karena terjadi multiplikasi maka ukuran pulsa yang dihasilkan sangat besar (Hidayanto, 2009).
Multiplikasi terjadi karena elektron-elektron yang dihasilkan oleh ionisasi primer dipercepat oleh tegangan yang digunakan sehingga elektron tersebut memiliki energi yang cukup untuk melakukan ionisasi berikutnya (ionisasi sekunder). Meskipun terjadi multiplikasi, namun jumlah elektron yang dihasilkan tetap sebanding (proporsional) dengan ionisasi mula-mula. Karena itu dinamakan alat pantau proporsional (Hidayanto, 2009).
Keuntungan dari alat pantau proporsional adalah bahwa alat ini mampu mendeteksi radiasi dengan intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan sumber tegangan yang super stabil, karena pengaruh tegangan pada daerah ini sangat besar terhadap tingkat multiplikasi gas dan juga terhadap tinggi pulsa out put (Hidayanto, 2009).
3.      Detektor Geiger Mueller
Sejak ditemukan detektor radiasi pengion oleh Hans Geiger pada tahun 1908, kemudian tahun 1928 disempurnakan oleh Walther Mueller menjadi tabung detektor Geiger-Mueller yang konstruksinya sederhana dibandingkan dengan jenis detektor yang lain. Detektor Geiger-Mueller terdiri dari suatu tabung logam atau gelas dilapisi logam yang biasanya diisi gas seperti argon, neon, helium atau lainnya (gas mulia dan gas poliatomik) dengan perbandingan tertentu (Safitri, dkk, 2011).
Detektor Geiger (Geiger Counter) merupakan alat ukur cacah radiasi yang berdasarkan pada prinsip ionisasi atom-atom gas. Detektor ini berisi gas pada tekanan rendah, kawat halus yang berfungsi sebagai anode, dan selubung silinder sebagai katode. Jika terdapat partikel dari radiasi bahan radioaktif yang masuk melalui jendela (window) detektor, maka partikel itu dipercepat oleh anode, sehingga dapat mengionisasi gas disekitar anode, dan akibatnya diperoleh pulsa listrik. Cacah pulsa listrik itu sebanding dengan jumlah partikel dari bahan radioaktif yang masuk detektor (Jati dan Priyambodo, 2010: 308).



B.     Detektor Sintilasi
Detektor jenis ini merupakan alat ukur cacah radiasi oleh bahan radioaktif, atau radiasi oleh alam pada berbagai nilai tenaga dari partikel atau foton yang dideteksi. Jika sinar jatuh pada kristal scintilator (NaI) maka kristal berpendar. Hal ini disebabkan oleh elektron atau atom dari kristal yang tereksitasi, dan kemudian kembali ke arah bawah dengan mengemisi foton. Radiasi foton itu mengenai katode, dan selanjutnya katode melepas elektron yang disebut radiasi fotokatode. Selanjutnya, kelajuan elektron diperbesar dengan melewatkannya pada beda potensial bertingkat sehingga potensialnya naik secara bertahap, serta diperkuat oleh tabung fotomultiplier. Detektor ini juga mampu memberi informasi tenaga dari partikel atau foton yang ditangkap oleh detektor itu (Jati dan Priyambodo, 2010: 308).
Detektor sintilasi terdiri dari dua bagian, yaitu bahan sintilator dan photomultiplier. Bahan sintilator merupakan suatu bahan  padat, cair maupun gas, yang akan menghasilkan percikan cahaya bila dikenai radiasi pengion. Photomultiplier digunakan untuk mengubah percikan cahaya yang dihasilkan bahan sintilator menjadi pulsa listrik.
a.       Sintilator Cair (Liquid Scintillation)
http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04%20Materi_files/image006.jpgDetektor ini sangat spesial dibandingkan dengan jenis detektor yang lain karena berwujud cair. Sampel radioaktif yang akan diukur dilarutkan dahulu ke dalam sintilator cair ini sehingga sampel dan detektor menjadi satu kesatuan larutan yang homogen. Secara geometri pengukuran ini dapat mencapai efisiensi 100 % karena semua radiasi yang dipancarkan sumber akan “ditangkap” oleh detektor. Metode ini sangat diperlukan untuk mengukur sampel yang memancar­kan radiasi b berenergi rendah seperti tritium dan C14.



Gambar 3. Sintilator Cair
Masalah yang harus diperhatikan pada metode ini adalah quenching yaitu berkurangnya sifat transparan dari larutan (sintilator cair) karena mendapat campuran sampel. Semakin pekat konsentrasi sampel maka akan semakin buruk tingkat transparansinya sehingga percikan cahaya yang dihasilkan tidak dapat mencapai photomultiplier
Proses sintilasi pada bahan ini dapat dijelaskan dengan gambar di bawah. Di dalam kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai pita valensi dan pita konduksi yang dipisahkan dengan tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar, ground state, seluruh elektron berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Ketika terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan bahwa energinya akan terserap oleh beberapa elektron di pita valensi, sehingga dapat meloncat ke pita konduksi. Beberapa saat kemudian elektron-elektron tersebut akan kembali ke pita valensi melalui pita energi bahan aktivator sambil memancarkan percikan cahaya.





Gambar 4. Proses Sintilasi
Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya. Percikan-percikan cahaya ini kemudian ‘ditangkap’ oleh photomultiplier.
 Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering digunakan sebagai detektor radiasi.
1)      Kristal NaI(Tl)
2)      Kristal ZnS(Ag)
3)      Kristal LiI(Eu)
4)      Sintilator Organik

b.      Tabung Photomultiplier
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri atas dua bagian yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila bahan sintilator berfungsi untuk mengubah energi radiasi menjadi percikan cahaya maka tabung photomultiplier ini berfungsi untuk mengubah percikan cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga dapat diolah lebih lanjut sebagai pulsa / arus listrik.
http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04%20Materi_files/image008.gifTabung photomultiplier terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan photokatoda yang berfungsi sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat beberapa dinode untuk menggandakan elektron seperti terdapat pada gambar 4. Photokatoda yang ditempelkan pada bahan sintilator, akan memancarkan elektron bila dikenai cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan diarahkan, dengan perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan memancarkan beberapa elektron sekunder bila dikenai oleh elektron.




Gambar 5. Tabung Photomultiplier
Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yang terkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor kumpulan elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.

C.    Detektor Semikonduktor
Detektor ini menggunakan bahan utama semikonduktor yang merupakan gandengan positif (P) dan negatif (N). Jika detektor tidak teradiasi, maka tidak mengalirkan arus listrik, sedangkan apabila ada radiasi dapat memberikan lubang (hole) pada bahan gabungan, sehingga muncul arus listrik. Alat ini cukup sederhana, hanya saja volume aktif bahan yang dimiliki sangat kecil (Jati dan Priyambodo, 2010: 309).
Bahan semikonduktor, yang diketemukan relatif lebih baru daripada dua jenis detektor di atas, terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon atau germanium. Detektor ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta mempunyai resolusi yang lebih baik daripada detektor sintilasi.
http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04%20Materi_files/image010.gif




Gambar 6. Bahan semikonduktor
Pada dasarnya, bahan isolator dan bahan semikonduktor tidak dapat meneruskan arus listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya  berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Perbedaan tingkat energi antara pita valensi dan pita konduksi di bahan isolator sangat besar sehingga tidak memungkinkan elektron untuk berpindah ke pita konduksi ( > 5 eV ) seperti terlihat di atas. Sebaliknya, perbedaan tersebut relatif kecil pada bahan semikonduktor ( < 3 eV ) sehingga memungkinkan elektron untuk meloncat ke pita konduksi bila mendapat tambahan energi.
http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/images/Semikonduktor.gifEnergi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan sehingga beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Bila di antara kedua ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial maka akan terjadi aliran arus listrik. Jadi pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik.






Gambar 7. Proses perubahan energi
radiasi menjadi energi listrik
Sambungan semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N dengan tipe P (PN junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke tipe N sedangkan kutub negatifnya ke tipe P seperti terlihat pada Gambar 7. Hal ini menyebabkan pembawa muatan positif akan tertarik ke atas (kutub negatif) sedangkan pembawa muatan negatif akan tertarik ke bawah (kutub positif), sehingga terbentuk (depletion layer)  lapisan kosong muatan pada sambungan PN. Dengan adanya lapisan kosong muatan ini maka tidak akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang memasuki lapisan kosong muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole, yang akan bergerak ke kutub-kutub positif dan negatif. Tambahan elektron dan hole inilah yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa atau arus listrik.
Oleh karena daya atau energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan ion-ion ini lebih rendah dibandingkan dengan proses ionisasi di gas, maka jumlah ion yang dihasilkan oleh energi yang sama akan lebih banyak. Hal inilah yang menyebabkan detektor semikonduktor sangat teliti dalam membedakan energi radiasi yang mengenainya atau disebut mempunyai resolusi tinggi. Sebagai gambaran, detektor sintilasi untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi sebesar 50 keV, artinya, detektor ini dapat membedakan energi dari dua buah radiasi yang memasukinya bila kedua radiasi tersebut mempunyai perbedaan energi lebih besar daripada 50 keV. Sedang detektor semikonduktor untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi 2 keV. Jadi terlihat bahwa detektor semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi radiasi.
Sebenarnya, kemampuan untuk membedakan energi tidak terlalu diperlukan dalam pemakaian di lapangan, misalnya untuk melakukan survai radiasi. Akan tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk menentukan jenis radionuklida atau untuk menentukan jenis dan kadar bahan, kemampuan ini mutlak diperlukan.
Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah harganya lebih mahal, pemakaiannya harus sangat hati-hati karena mudah rusak dan beberapa jenis detektor semikonduktor harus didinginkan pada temperatur Nitrogen cair sehingga memerlukan dewar yang berukuran cukup besar.





BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan makalah yang berjudul “Detektor Radiasi”, dapat disimpulkan:
1.      Terdapat tiga jenis detektor radiasi, yaitu detektor isian gas, detektor sintilasi, dan detektor semikonduktor.
2.      Setiap detektor radiasi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda, seperti:
a.       Detektor isian gas, yaitu dengan cara mengionisasi gas sehingga dihasilkan ion-ion positif dan ion-ion negatif (elektron). Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik.
b.      Detektor sintilasi, yaitu dengan cara memendarkan sinar yang jatuh pada kristal scintilator (NaI) yang disebabkan oleh elektron atau atom dari kristal yang tereksitasi, dan kemudian kembali ke arah bawah dengan mengemisi foton. Radiasi foton tersebut mengenai katode, sehingga katode melepaskan elektron.
c.       Detektor semikonduktor, yaitu dengan cara menyerap radiasi yang memasuki bahan semikonduktor oleh bahan semikonduktor, sehingga beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Apabila diantara kedua ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial, maka akan terjadi aliran arus listrik.














DAFTAR PUSTAKA
Hidayanto, Eko. 2009. Detektor Radiasi. Diakses pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 16.15 wib.
Http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04.htm.Diakses pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 17.00 wib.
Jati B. Murdaka Eka dan Priyambodo T. Kuntoro. 2010. Fisika Dasar untuk Mahasiswa Ilmu-ilmu Eksakta dan Teknik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Safitri Irma, dkk. 2011. Jurnal Perbandingan Karakteristik Detektor Geiger-Mueller Self Quenching dengan External Quenching. Diakses pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 16.00 wib.

Surakhman dan Sayono. 2009. Jurnal Pembuatan Detektor Geiger-Mueller Tipe Jendela Samping dengan Gas Isian Argon –Etanol. Diakses pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 16.30 wib.

0 komentar:

Posting Komentar