Rabu, 30 Juli 2014

Integrasi-Interkoneksi Ilmu

INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU
Makalah Ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Mukalam, M.Hum.



Oleh :
1.      Mir’atul Azizah                         (11670022)
2.      Adnin Arief R                          (11670032)
3.      Syavi Fauziah R.Z.S.                (11670034)
4.      Dian Lukmana                          (11670035)
5.      Yuni Astuti                               (12670011)
6.      Gita Melinda                             (13670032)




PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVESITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013/2014



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik.
Penulis menulis makalah ini dengan tujuan untuk memenuhi tugas Filsafat Ilmu dan menambah ilmu pengetahuan seputar metode memperoleh ilmu.
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, tidak lepas dari bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.                  Bapak Mukalam, selaku dosen matakuliah Filsafat Ilmu.
2.                  Teman-teman yang telah membantu pembuatan makalah ini.
3.                  Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Penulis  memohon maaf  apabila makalah ini masih dirasa kurang sempurna. Maka dari  itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk menjadikan makalah ini semakin sempurna, dan semoga makalah ini bermanfaat.







Yogyakarta, 22 Mei 2014


Penulis
               








BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Ilmu merupakan hal terpenting bagi semua orang. Orang yang mempunyai ilmu pastilah mempunyai kedudukan yang lebih dari pada yang tidak memilikinya. Ilmu sudah menjadi suatu kebutuhan untuk dapat hidup di zaman sekarang ini. Orang akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan manakala dia mempunyai ilmu yang lebih dibanding dengan lainnya.
Islam mengembangkan ilmu yang bersifat universal dan tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama, ilmu sosial-humaniora dan ilmu alam. Suatu ilmu secara epistimologis dikatakan sebagai ilmu keislaman ketika ilmu tersebut sesuai dengan nilai dan etika islam. Ilmu yang berangkat dari nilai dan etika islam pada dasarnya bersifat objektif. Dengan demikian dalam islam terjadi proses objektifitas, tidak membedakan golongan, etnis maupun suku bangsa.
Keberadaan beragam disiplin ilmu, baik ilmu agama, ilmu-ilmu alam maupun humaniora, hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami kompleksitas dimensi-dimensi hidup manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia. Dari asumsi tersebut, maka sikap mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja dapat dikatakan sikap yang tidak bijaksana.
Apakah hanya satu ilmu yang kita pelajari dikehidupan? “tentu saja tidak”, pada dasarnya semua ilmu seharusnya kita intergrasikan agar kita lebih tahu keangungan Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini. Dengan mengintergrasikan antar ilmu maka pengetahuan kita akan semakin luas. Bagaimanakah mengintegrasikan antar ilmu. Dengan latar belakang tersebut maka makalah ini akan menjelaskan lebih dalam tentang integrasi-interkoneksi ilmu. Diantara landasan integrasi-interkoneksi ilmu, kerangka dasar, ranah integrasi-interkoneksi ilmu, aksiologi sains dan ilmu, serta sumber nilai sains dan agama.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat diketahui bahwa rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana landasan integrasi-interkoneksi ilmu?
2.      Bagaimana kerangka dasar integrasi-interkoneksi ilmu?
3.      Bagaimana ranah integrasi-interkoneksi ilmu?
4.      Bagaimana aksiologi sains dan ilmu?
5.      Bagaimana sumber nilai sains dan agama?
C.      Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui landasan integrasi-interkoneksi ilmu.
2.      Untuk mengetahui kerangka dasar integrasi-interkoneksi ilmu.
3.      Untuk mengetahui ranah integrasi-interkoneksi ilmu.
4.      Untuk mengetahui aksiologi sains dan ilmu.
5.      Untuk mengetahui sumber nilai sains dan agama.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      LANDASAN INTEGRASI-INTERKONEKSI  ILMU

1.    Landasan Teologis
Dapat dikatakan pendidikan Islam selama ini terseret dalam alam pemikiran modern yang sekuler, sehingga secara tidak sadar memisah-misah antara pendidikan keimanan (ilmu-ilmu agama) dengan pendidikan umum (ilmu pengetahuan) dan pendidikan akhlak (etika). Dampaknya adalah terjadi kmunduran umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan di level apapun ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Pendidikan modern memang mengembangkan disiplin ilmu dengan spesialisasi secara ketat, sehingga keterpaduan antar disiplin keilmuan mejadi hilang dan berimplikasi pada terbentukya perbedaan sikap dikalangan umat islam secara tajam terhadap kedua kelompok ilmu. Ilmu-ilmu agama disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu Allah yang bersifat sacral dan wajib untuk dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu umum, baik ilmu kealaman maupun social dianggap ilmu manusia yang dianggap tidak wajib untuk dipelajari. Situasi seperti ini, membawa akibat ilmu-ilmu agama menjadi tidak menarik karena terlepas dari kehidupan nyata, sementara ilmu-ilmu umum berkembang tanpa sentuhan etika dan spiritualitas agama
( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

2.    Landasan Filosofis
Keberadaan beragam disiplin ilmu, baik ilmu agama, ilmu-ilmu alam maupun humaniora, hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami kompleksitas dimensi-dimensi hidup manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia. Dari asumsi tersebut, maka sikap mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja dapat dikatakan sikap yang tidak bijaksana ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Maka untuk mengkonstruk satu paradigma keilmuan baru yang tidak merasa puas hanya dengan mendalami salah satu disiplin keilmuan namun juga mengkaji berbagai disiplin keilmuan. Bahkan paradigma baru ini bermaksud merumuskan keterpaduan dan keterkaitan antar disiplin ilmu sebagai jembatan untuk memahami kompleksitas hidup manusia demi meningkatkan kualitas hidup baik dalam aspek material, moral maupun spiritual ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
3.    Landasan Kultural
Ilmu pengetahuan baik ilmu alam maupun social bersifat universal walaupun berkembang dalam konteks budaya barat. Pendidikan Islam di Indonesia berhadapan dengan persoalan kesenjangan budaya, yakni kesenjangan antara budaya local Indonesia dan budaya global agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak mungkin mengabaikan budaya local sebagai basis cultural, baik dalam menerjemahkan Islam maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

4.        Landasan Sosiologis
Secara sosiologis masyarakat Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, budaya dan agama. Keragaman ini sering kali melahirkan berbagai konflik yang mengancam integrasi bangsa. Secara teologis-normatif tidak ada agama maupun budaya manapun yang membenarkan perilaku agresif terhadap orang lain, bahkan menekankan hidup rukun dan damai. Akan tetapi kerukunan dan kedamaian yang didambakan terancam oleh pandangan yang selalu merasa paling benar( truth claim) yang pada gilirannya memunculkan prasangka-prasangka social terhadap kelompok lain ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Lahirnya truth claim mengganggu hubungan antar pemeluk agama dan kelompok masyarakat yang sering kali berawal dari penafsiran keagamaan yang skripturalistik, lepas dari konteks kekinian sehingga tidak jarang lulusan PTAI yang oleh sebagian masyarakat dipandang tidak mampu menyelesaikan konflik di masyarakat. Hal ini bias terjadi karena PTAI cenderung mengembangkan rumpun mata kuliah ke-Islaman yang tampaknya terpisah dari konteks keragaman masyarakat Indonesia dan konteks global serta perkembangan Iptek
( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

5.        Landasan Psikologis
Paradigma integrasi-interkoneksi ilmu dimaksudkan untuk memahami dan membaca kehidupan manusia yang kompleks secara padu dan holistic. Pembacaan holistic tersebut dirangkum dalam tiga level atau dalam bahasa teologis dapat dikatakan secara simplistic sebagai iman, ilmu da amal. Secara psikologis, paradigma ini memiliki urgensi yang sangat besar. Iman berkait dengan keyakinan, ilmu berkait dengan kognisi dan pengetahuan, dan amal berkait dengan praksis dan realitas keseharian. Paradigma integrasi interkoneksi ini bermaksud membaca secara utuh dan padu ketiga aspek tersebut ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

B.       KERANGKA DASAR INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU
Pada dasarnya, Islam mengembangkan ilmu yang bersifat universal dan tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama, ilmu sosial-humaniora dan ilmu alam. Suatu ilmu secara epistimologis dikatakan sebagai ilmu keislaman ketika ilmu tersebut sesuai dengan nilai dan etika islam. Ilmu yang berangkat dari nilai dan etika islam pada dasarnya bersifat objektif. Dengan demikian dalam islam terjadi proses objektifitas, tidak membedakan golongan, etnis maupun suku bangsa.
Ilmu yang terintegrasi-interkoneksi mempelajari ilmu agama, ilmu sosial-humaniora dan ilmu sains secara parsial. Dengan demikian seluruh bidang keilmuan itu dapat dikatakan sebagai ilmu keislaman secara ontologis, epistimologis dan aksiologis. Hal inilah yang membedakan ilmu keislaman dengan ilmu sekuler (Hamami, 2006).
Ilmu sekuler mengaku diri sebagi objektif, value free, bebas dari epentingan lainnya. Tetapi ternyata bahwa ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasda atas manusia. Ilmu menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan (Kuntowijoyo, 2006).
sentralkeilmuan.png
Dalam kajian ilmu keislaman, Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai kajian utama. Ilmu pada lapisan ke dua dan seterusnya, satu sama lain saling berinteraksi, saling memperbincangkan, dan saling menghargai atau mempertimbangkan secara sensitif terhadap kehadiran ilmu lainnya. Dari gambar tampak jelas bahwa sudah tidak dikenal lagi istilah dikotomi.
Meskipun al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sentralnya, namun cara memperoleh kebenaran tidak hanya dari al-Quran dan al-Sunah, tetapi dibutuhakn ilmu pengetahuan lain (ilmu sosial-humaniora dan ilmu sains). Berdasarkan gamabar, struktur keilmuannya bersifat teoantroposentrik, integratif-inerkonektif. Harapannya dalah ilmu-ilmu tersebut tidak terisolasi, tidak bersifat myopik, tetapi bersifat luas dan komprehensif.
Budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks (hadlarah al-nash) tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari budaya ilmu (sosial, humaniora, sains dan teknologi) dan budaya falsafah (etnik-emansipatoris), dan begitu juga sebaliknya. Budaya ilmu yaitu ilmu empiris yang menghasilkan ilmu alam dan teknologi, tidak akan punya “karakter”, dan etos yang memihak padakehidupan manusia dan lingkungan hidup, juka tidak dipadu oleh falsafah (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu, budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks dikombinasikan dengan budaya ilmu tanpa mengenal humanitis dan isu-isu kontemporer sedikit pun juga berbahaya, karena jika tidak berhati-hati akan musah terbawa arus ke arah gerakan redikalisme-fundamentalisme negatif. Untuk itu diperlukan budaya falsafah (etnik yang bersifat transformatif-emansipatoris). Begitu juga budaya falsafah akan terasa kering dan hampa jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulakan dan dihadapi sains (budaya ilmu empiris-teknis).
  Dalam mempelajari ilmu harus menghindari jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa “pasti” dalam wilayahnya sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya. Jika diskemakan, rancangan bangunan keilmuan yang baik adalah:

 

Bangunan keilmuan tidaklah terisolasi (terpisah) dengan yang lainnya.
 







Bangunan keilmuan juga tidak boleh hanya budaya teks tanpa dikombinasi dengan sains dan budaya falsafah (Hamami, 2006).
Oval: BUDAYA TEKS
 






Menurut al-Qur’an pun ilmu tidak hanya dua macam, tetapi ada tiga yaituilmu nafsiyah (humaniora), ilmu kauniyah (ilmu alam) san ilmu kauliyah (hukum tuhan) (Kuntowijoyo, 2006).
Pendekatan integratif adalah terpadunya kebenaran wahyu dalam bentuk pembilangan ilmu yang terkait dengan sumber kebenaran dengan bukti-bukti yang ditemukan di alam semesta. Walaupun dilakukan pembidangan, tetapi masing-masing bidang ilmu saling terintegrasi. Dikatakan terintegrasi bukan berarti mengalami peleburan menjadi satu bentuk ilmu yang identik, melainkan terpadunya karakter, corak, dan hakikat ilmu tersebut dalam semua kesatan dimensinya (Hamami, 2006).
Menurut Kuntowijoyo, dalam bukunya Islam sebagai Ilmu, ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatuakan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusiadiharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.
Pendekatan interkonektif adalah terkaitnya suatu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain melalui satu hubungan yang saling mempertimbangkan. Bidang ilmu yang yang berkarakteristik integratif sudah tentu memiliki interkoneksi antarbagian keilmuannya. Sebaliknya, karena tidak sema bidang ilmu dapat diintegrasikan, maka paling tidak masing-masing ilmu memiliki kepekaan akan perlunya interkoneksi untuk menutup kekurangan yang melekat dalam dirinya sendiri jika berdiri sendiri.
Proyek besar reintegrasi epistimologi keilmuan umum dan agama mengandung arti pentingnya dialog dan kerjasama antar disiplin ilmu. Pendekatan integratif dan interkonektif antar disiplin ilmu keislaman, sosial, humaniora, kealaman dan disiplin ilmu lain perlu mendapat skala pengembangan terus menerus (Hamami, 2006).

C.      RANAH INTERGRASI-INTERKONEKSI ILMU

1.    Ranah Filosofis
Abad pertengahan dan abad modern / Renaissance memiliki perbedaan dengan era sekarang. Dunia pengetahuan pada abad pertengahan diwarnai dengan dominasi agama atas rasio. Penalaran rasional dikembangkan dalam batas-batas dogma keagamaan. Implikasi dari dominasi semacam ini dapat dilihat di Eropa, seperti hegemoni kebenaran Gereja dalam segala aspek kehidupan termasuk dunia ilmu. Sementara di masa modern, dunia ilmu bergeser dari dominasi agama atas rasio kepada dominasi rasio atas agama (Tim Pokja, 2006).
Belajar dari 2 periode historis sejarah tersebut, dunia pengetahuan haruslah dibersihkan dari dominasi, apakah itu agama atas ilmu atau sebaliknya. Pada era kontemporer kecenderungan untuk menghargai setiap bangunan keilmuan masih sangat kuat dan bahkan meyakini adanya interkoneksi antar ilmu pengetahuan. Merajut paradigma interkoneksi antara agama dan ilmu, bahkan antar agama, ilmu, filsafat, tradisi, dan system episteme lainnya merupakan suatu kebutuhan pokok manusia sekarang. Paradigma keilmuan yang seperti ini lebih sehat karena memiliki implikasi saling mengapresiasi dan saling memberdayakan antar masyarakat, budaya, bangsa, etnis, dan tradisi keagamaan (Tim penyusun Pokja, 2006).
Integrasi dan interkoneksi pada ranah filosofis dalam pengajaran dimaksudkan bahwa setiap mata kuliah harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lainnya dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistiknya. Dengan demikian, integrasi-interkoneksi dalam ranah filosofis berupa penyadaran eksistensi bahwa suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya (Tim penyusun Pokja, 2006).

2.    Ranah Materi
Integrasi-interkoneksi pada ranah materi merupakan suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam pengajaran mata kuliah umum seperti filsafat, antropologi, sosiologi, hukum, politik, psikologi dan lain sebagainya dan sebaliknya ilmu-ilmu umum ke dalam kajian-kajian keagamaan dan keislaman. Selain itu juga termasuk mengkaitkan suatu disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya dalam keterpaduan epistimologis dan aksiologis (Tim penyusun Pokja, 2006).
Menurut Tim penusun pokja (2006) implementasi integrasi-interkoneksi pada ranah materi ada 3 model, yaitu:
a.       Model pengintegrasian ke dalam paket kurikulum.
Misalnya dalam waktu 8 semester mahasiswa harus menyelesaikan bobot studi sebanyak 142 SKS dengan komposisi 50% ilmu-ilmu keislaman dan keagamaan dan 50% sisanya adalah ilmu umum. Jadi hanya sekedar menyandingkan mata kuliah-mata kuliah yang mewakili ilmu-ilmu keislaman atau keagamaan dan yang mewakili ilmu-ilmu umum. Proses interkoneksi keilmuannya akan terpusat pada kreativitas mahasiswa memahami dan menghubungkan antara keduanya.
b.      Model penamaan mata kuliah yang menunjukkan hubungan antara 2 disiplin ilmu umum dan keislaman.
Model ini menuntut setiap mata kuliah mencantumkan kata islam, seperti ekonomi islam, politik islam, sosiologi islam, antropologi islam, sastra islam, pendidikan islam, filsafat islam, dll sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan.
c.       Model pengintegrasian ke dalam tema-tema mata kuliah.
Model ini menuntut setiap pengajaran mata kuliah keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksi antara keduanya, dan sebaliknya dalam setiap pengajaran mata kuliah ilmu-ilmu umum harus diberikan wacana-wacana teoritik keislaman dan keagamaan sebagaimana  terkandung dalam ilmu-ilmu keislaman sebagai wujud interkoneksi antar keduanya, tanpa embel-embel nama Islam pada mata kuliah yang bersangkutan.

3.    Ranah Metodologi
            Menurut Kuntowijoyo (2007: 49), ada dua metodologi yang digunakan dalam proses pengilmuan islam, yaitu integralisasi  dan objektifikasi. Pertama integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu. Kedua, objektifikasi adalah, menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk semua orang. Ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu integralistik tidak akan mengucilkan wahyu Tuhan atau mengucilkan manusia. Diharapkan inntegralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme eksrim dan agama-agama radikal dalam banyak sector.
            Metodologi yang dimaksud dalam integrasi dan interkoneksi ialah metodologi yang digunakan dalam pengembangan ilmu yang bersangkutan. Setiap ilmu memiliki metodologi penelitian yang khas disamping metodologi penelitian umum yang biasa digunakan, misalnya ilmu psikologi mempunyai metodologi khas yang digunakan seperti introspeksi, ekstrospeksi dan retrospeksi dan metode umum yang digunakan seperti kuisioner, wawancara dan observasi. Tidak sebatas metodologi yang digunakan, di sini yang dimaksud dengan metodologi juga bisa dalam pengertian yang lebih luas yang berupa pendekatan. Misalnya dalam psikologi dikenal beberapa pendekatan seperti fenomenologis, kontemplatif, dan normatif (Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
            Ranah metodologis ini tentu saja dibahas dalam konteks struktur keilmuan integrative-interkonektif. Ketika sebuah ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, misalnya psikologi dengan nilai islam, maka secara metodologi ilmu interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman dengan ilmu  tersebut. Contohnya pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami pengalaman dianggap lebih aman dibandingkan dengan pendekatan lain yang mengandung bias anti agama seperti psiko-analisis (Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

4.    Ranah Strategi
            Ranah strategi yang dimaksud di sini ialah ranah persiapan atau praksis dari proses pembelajaran keilmuan integrative-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta keterampilan mengajar dosen menjadi kunci keberhasilan perkuliahan berbasis paradigm interkonektif. Pembelajaran dengan model active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi keharusan (Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
            Misalnya pada hal ini, dosen menunjukkan kasus-kasus hokum tertentu dalam mata kuliah Fiqh, kemudian menunjukkan referensi tentang teori-teori social dalam ilmu sosiologi terkait dengan pemutusan hokum kasus dimaksud secara sosiologis, kemudian mahasiswa dituntut untuk aktif dalam melakukan kajian sebelum proses pembahasan dengan dosen. Jika dalam hal ini dosen fiqh masih awam tentang sosiologi tentu menjadi hambatan besar untuk merealisasikan paradigm interkonektif ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
            Intinya, seorang dosen atau guru yang akan mengintegrasi dan menginterkoneksikan dua ilmu harus menguasai ilmu yang bersangkutan terlebih dahulu. Kelemahan seorang dosen yang masih awam mengenai ilmu yang akan diintegrasikan dapat disiasati dengan menerapkan model pembelajaran team teaching. Semakin banyak mata kuliah atau ilmu yang diintegrasi dan dinterkoneksikan maka akan semakin membutuhkan strategi pembelajaran yang melibatkan banyak dosen terkait ilmu yang dikaji ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).

D.      AKSIOLOGI  SAINS  DAN  ILMU
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang meliputi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan simbolik atau kawasan fisik material. Lebih dari itu, nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu condition sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu (Maksudin, 2003).
Menurut Max Scheler dalam Maksudin (2003)., nilai merupakan sesuatu kenyataan yang pada umumnya tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan yang lain. Atau dapat dikatakan sebaliknya bahwa kenyataan lain merupakan pembawa nilai seperti halnya suatu benda dapat menjadi pembawa warna merah atau warna lainnya.
Scheler menegaskan nilai-nilai moral tidak tersembunyi di balik tindakan-tindakan yang pada dirinya bersifat baik, tetapi di balik tindakan-tindakan yang menyimpan atau mewujudkan nilai-nilai lain secara benar. Ditegaskan pula bahwa nilai-nilai itu sungguh merupakan kenyataan yang benar-benar ada, bukan hanya yang dianggap ada. Karena nilai itu benar-benar ada, walaupun tersembunyi di balik kenyataan lain, tidak berarti sama sekali tidak tergantung pada kenyataan-kenyataan lain karena meskipun kenyataan-kenyataan lain yang membawa nilai-nilai itu berubah dari waktu ke waktu, nilai-nilai itu sendiri bersifat mutlak dan tidak berubah. Di balik dunia yang tampak ini, menurut Max Scheler, tersembunyi dunia nilai-nilai yang amat kaya. Oleh karena itu ia menolak kecenderungan beberapa pemikir yang mengembalikan semua nilai pada beberapa atau bahkan hanya kepada satu nilai saja.
Karena dunia nilai itu begitu kaya, nilai tidak bisa disimpulkan dalam satu atau beberapa nilai saja. Semua itu berasal dari Allah sebagai nilai yang tertinggi. Setiap nilai merupakan salah satu wujud nilai Ilahi yang secara sebagian saja dapat memantulkan keagungan-Nya. Selanjutnya, Max Scheler menegaskan walaupun nilai-nilai harus dicari di balik kenyataan-kenyataan lain yang selalu berubah, nilai-nilai itu tetap bukan ciptaan manusia. Oleh karena alasan itu, relativisme nilai seperti tampak pada beberapa pemikir lain harus ditolak karea Allah sendirilah sumber nilai satu-satunya. Dengan demikian, manusia hanya mampu memahami, menemukan, atau mewujudkan nilai (Maksudin, 2003)..
Max Scheler berpendapat bahwa manusia memahami nilai dengan hatinya dan bukan dengan akalnya. Manusia berhubungan dengan dunia lain dengan keterbukaan dan kepekaan hatinya. Dalam memahami suatu nilai, manusia tidak melalui kegiatan berfikir mengenai nilai itu, tetapi dengan mengalami dan mewujudkan nilai itu, seperti halnya seorang pelukis yang baru memahami paa yang dilukisnya, sementara ia masih sibuk melukisnya. Seseorang hanya memahami nilai cinta bila ia sedang mencinta. Seseorang hanya memahami sahabatnya, bila ia memasuki kehidupan sahabatnya itu dengan segenap hati.
Menurut Maksudin (2003).Sains dan agama nondikotomik sarat muatan nilai yang merupakan bagian nilai tak terpisahkan di dalam kajian aksiologi sains dan agama itu sendiri. Keberadaan nilai-nilai tersembunyi di balik fenomena empirik. Pendapat Max Scheler esensi nilai dalam perspektif fenomenologis mencakup (1) nilai sebagai pusat moralitas (2) nilai mendahului pengalaman (3) nilai bersifat mutlak dan apriori (4) nilai ditemukan bukan diciptakan (5) nilai dirasakan bukan dipikirkan (6) nilai berhierarki.
Keenam esensi nilai tersebut tampak relevansinya dengan pandangan nilai dalam Islam. Pertama, Scheler menempatkan nilai sebagai pusat moralitas. Prinsip Islam sangat jelas dalam menempatkan nilai moral (akhlak) sebagai pilar Islam. Pilar Islam adalah akidah, syari’ah, dan akhlak. Hal ini diperkuat hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Kedua, keberadaan nilai mendahului pengalaman, artinya nilai sudah ditentukan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah sebelum dilakukan manusia. Pengalaman dalam Islam merupakan bagian substansial yang berkaitan dengan perilaku lahir dan batin bagi manusia. Ketiga, nilai bersifat mutlak dan apriori, artinya keberadaan dan kebenaran nilai tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya pelaku dan tidak terbatas ruang dan waktu. Dapat dikatakan bahwa Islam merupakan sistem nilai. Oleh karena itu, keberlakuan nilai-nilai (akidah, syari’ah, dan akhlak) dalam Islam bersifat sepanjang zaman (waktu) dan tempat. Keempat, nilai ditemuakan bukan diciptakan. Hal ini berarti bahwa keberadaan nilai itu tinggal dicari, ditemukan, dan diwujudkan. Nilai dalam Islam secara garis besar dikategorikan ke dalam dua dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan (Maksudin, 2003).
Kelima, nilai dirasakan bukan dipikirkan. Hal ini dpat diartikan bahwa nilai itu tidak perlu dipikrkan, tetapi melalui hati nurani dan rasa atau perasaan dan keasadaran, nilai cukup disadari (dipahami), diamalkan dan dirasakan. Nilai dalam Islam mutlak untuk diwujudkan dan dirasakan dengan kesadaran dan kesabaran. Dengan kata lain, nilai dalam Islam diwujudkan dengan tazkiyah. Keenam, nilai itu berhierarki, artinya nilai memiliki hierarki. Nilai dalam Islam sangat jelas hierarkinya, misalnya nilai halal-haram, wajib-sunat, sah-batal, benar-salah, terpuji-tercela, dan lain sebagainya (Maksudin, 2003).

E.       SUMBER  NILAI  SAINS  DAN  AGAMA
Disebutkan dalam salah satu hadits Nabi: yang artinya: “telah aku (Muhammad) tinggalkan dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Sunnah Rasol-Nya (HR. Malik bin Anas). Pesan Hadits di atas jelas dan tegas bahwa bia berpegang pada Al-Qur’an dan hadits akan terhindar dari kesesatan (Maksudin, 2003).
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut, yang eksistensinya tidak mengalami perubahan walaupun interpretasinya dimungkinkan mengalami perubahan sesuai dengan konteks zaman, keadaan, dan tempat. Sumber nilai absolut dalam Al-Qur’an adalah nilai Ilahi dan tugas manusia untuk menginterpretasikan nilai-nilai itu. Dengan interpretasi tersebut, manusia akan mampu menghadapi ajaran agama yang dianut. Lebih lanjut ia mengatakan konseptualisasi pendidikan Islami bertolak dari “bahwa telah Aku (Allah) sempurnakan agamamu” maka nash adalah sumber kebenaran, kebajikan dan rahmat bagi umat manusia (Maksudin, 2003).
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, Al-Qur’an itu memang diperuntukkan bagi umat manusia dan eksistensi pandangan Al-Qur’an senantiasa mengacu kepada dunia ini yang porsinya sama dengan kehidupan akhirat. Secara garis besar tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an adalah, (1) sebagai petunjuk akidah (2) petunjuk syari’ah (3) petunjuk akhlak. Bahkan Al-Qur’an mengilhami tiga pokok aspek ilmu pengetahuan, yaitu (1) aspek etik termasuk aspek-aspek perseptual dalam ilmu pengetahuan (2) aspek historik dan psikologis (3) aspek observatif dan eksperimental.
Kemudian masing-masing aspek tersebut berkaitan dengan hal yang lain, seperti aspek etik berkaitan dengan prinsip dasar keyakinan, perbuatan, moralitas, baik perorangan maupun kemasyarakatan serta pandangan menuju kehidupan terbaik di dunia dan di akhirat. Aspek-aspek psikologik dan historik berkaitan dengan berbagai sikap dan cara berpikir manusia dan bangsa terkait atau menyimpang dari warna agama, sedangkan aspek observatif dan eksperimental sebagai sumber utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang benda-benda yang berhubungan dengan penciptanya. Titik temu dari ketiga aspek ilmu pengetahuan yang diilhami oleh Al-Qur’an terfokus pada prinsip tauhid yang merupakan faktor yang berperan dalam kehidupan intelektual dan emosional manusia. Tauhid merupakan landasan spiritual Islam tertinggi dan termasuk di dalamnya pendidikan Agama Islam (Maksudin, 2003).

kedudukan dan sumber sains
Dari gambaran tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut (Maksudin, 2003):
a)      Sumber utama ilmu pengetahuan adalah Allah SWT, ilmu pengetahuan-Nya tersebut difirmankan pada ayat-ayat-Nya, baik yang bersifat kauniah maupun qur’aniah
b)      Ilmu pengetahuan dapat dicapai manusia setelah melalui interpretasi  (iqro’) terhadap ayat-ayat kauniah dan ayat-ayat qur’aniah.
1)      Interpretasi terhadap ayat-ayat kauniah menghasilkan ilmu-ilmu diantaranya sebagai berikut:
(a)    Dari alam, melahirkan ilmu fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geografi, geologi, dan sebagainya.
(b)   Dari manusia sebagai makhluk indvidu, melahirkan ilmu antropologi, kedokteran, psikologi, dan lain sebagainya.
(c)    Dari manusia sebagai makhluk sosial, melahirkan ilmu sejarah, kebudayaan, linguistik, ekonomi, politik, sosiologi, hukum, perdagangan, komunikasi, dan sebagainya.
2)      Interpretasi terhadap ayat-ayat qur’aniah menghasilkan ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, bahasa Al-Qur’an, metafisis alam, perbandingan agama, kultur Islam, dan sebagainya.
c)      Keasadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan menimbulkan sikap dan perilaku ilmuwan untuk:
1)      Tunduk, penyerahan (taslim) dan patuh (taat) kepada Allah SWT
2)      Menyadari bahwa ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai berasal (amanah) dari Allah SWT
3)      Motivasi penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
d)     Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu qur’ani (agama) dengan ilmu kauniah (umum), karena keduanya berasal dari sumber yang sama. Pertentangan yang dijumpai dalam praktik hanyalah semu sebagai akibat dari kesalahan interpretasi terhadap ayat kauniyah atau ayat qur’aniyah atau kedua-duanya.
e)      Adanya kesadaran bahwa ilmu pengetahuan bukan satu-satunya sumber kebenaran dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi persoalan problem kehidupan manusia.
f)       Pemahaman model di atas menghindarkan seorang muslim (ulama cendikiawan) dari pemahaman dikotomi dan juga menghindarkan dari cara berpikir yang hanya rasionalistis dan spiritualistis atau sekuralistis yang tanpa dibarengi dengan pemahaman berdasarkan petunjuk naqly (wahyu / firman Allah SWT). Di samping itu, pemahaman model tersebut dapat meningkatkan pemahaman ayat naqliyah dengan temuan-temuan yang diperoleh dari ayat kauniah. Sebaliknya, pemahaman model tersebut dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang difahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etis filosofis bagi interpretasi terhadap ayat kauniah.



BAB III
KESIMPULAN
      Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.         Landasan integrasi interkoneksi ilmu antara lain landasan teologis, landasan filosofis, landasan kultural, landasan sosiologis, dan landasan psikologis
2.         kerangka dasar integrasi interkoneksi ilmu dalam kajian ilmu keislaman, Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai kajian utama. Ilmu pada lapisan ke dua dan seterusnya, satu sama lain saling berinteraksi, saling memperbincangkan, dan saling menghargai atau mempertimbangkan secara sensitif terhadap kehadiran ilmu lainnya.
3.         Ranah Integrasi interkoneksi ilmu antara lain ranah filosofis, ranah materi, ranah metodologi, dan ranah strategi
4.         Aksiologi sains dan ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan simbolik atau kawasan fisik material.
5.         Sumber utama nilai sains dan agama adalah Al-Qur’an dan Hadits.





DAFTAR PUSTAKA

Hamami, Tasman. (2006). Kerangka Dasar Keilmuan & Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Departemen Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kuntowijoyo. (2007). Islam sebagai Ilmu: epitemologi, metodologi dan etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maksudin. (2013). Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik. Yogyakarta: Pusta pelajar.
Tim Penyusun Pokja. (2006). Kerangka Dasar Keilmuan & Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Pokja Akademik.


0 komentar:

Posting Komentar