Rabu, 25 September 2013

TOKOH-TOKOH FIQIH DAN GAGASANNYA

BAB I
PENDAHULUAN

Istilah-istilah fiqh sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi semua umat Islam, yang mana merupakan suatu kata yang amat penting dan berpengaruh terhadap umat Islam dimanapun berada. Dikatakan penting karena fiqih merupakan hukum atau landasan yang digunakan oleh orang muslim dalam menjalankan ibadah. Istilah fiqih tersebut dapat dikenal oleh banyak orang karena pada masa pembentukannya terdapat tokoh-tokoh mujtahid yang bersungguh-sungguh dalam menetapkan hukum dalam peribadatan manusia yang dalam pelaksanaanya tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak aturan. Para mujtahid dalam menentukan hukum tentu tidak dilakukan sesuai dengan pikiran mereka sendiri saja, tetapi juga berlandaskan Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum pertama bagi umat islam.
Setelah ditetapkannya fiqih sebagai suatu ilmu dan cara mencari hukum terhadap suatu masalah, tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan tasyri’ karena fiqih sudah cukup mempelajari apa-apa yang ditetapkan dalam aturan yang global, kemudian dengan fiqih tersebut akan menjadi lebih dipahami, karena lebih spesifik. Dalam makalah ini akan dibahas tentang beberapa tokoh-tokoh dan gagasannya dalam bidang fiqih.









BAB II
PEMBAHASAN

1.      A. BIOGRAFI AMIEN RAIS
            Amien Rais dilahirkan di Solo 26 April 1944, putra pasangan Suhut Rais dan Suhaimiyah. Sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah dan kultur pendidikan. Ayahnya adalah aktivis Muhammadiyah sekaligus Kepala Pendidikan Agama Wilayah Surakarta. Begitu juga dengan ibunya, ia mengajar di Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGKP) Muhammadiyah. Jadi, kehidupan Amin betul-betul terbentuk dalam kultur pendidikan.
            Sebagai putra aktivis Muhammadiyah, Amien memperoleh warisan budaya dari orangtuanya. Sejak pendidikan TK sampai SMA, ia sekolah di lingkungan Muhammadiyah. Semula, orangtuanya bercita-cita supaya Amin menjadi kiai atau ustad. Karena itu, sejak kecil ibunya selalu membangunkan sebelum waktu subuh untuk membaca al-Qur'an setiap hari dan melarang meninggalkan shalat.
            Warisan dari orangtuanya itu ternyata terjiwai dengan sepenuh hati. Dengan penuh kesadaran, Amin gemar melakukan ibadah. Sikap kesadaran itu menumbuhkannya pada sikap kritis terhadap segala persoalan, yang semuanya itu termasuk bagian dari ibadah.
            Setamat SMA Muhammadiyah di Solo, Amien kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol), UGM, Yogyakarta pada 1962. Masuk Jurusan Ilmu Politik, diakui Amien memang bukanlah cita-cita yang diniatkan semula. Sebab sebagaimana yang sudah disinggung semula, sejak kecil ibunya sudah menanamkan doktrin agar supaya saat kuliah ke Al- Azhar. Tetapi, seperti sudah diakui Amien sendiri, bahwa masuk ke UGM merupakan takdir. Di samping di UGM, Amien merangkap di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan memperoleh gelar Sarjana Muda tahun 1967. Sedangkan pada 1968 Amien menamatkan di Universitas bergengsi itu. Sejak itu pula ia kemudian mendaftarkan diri sebcagai tenaga edukatif pada almamaternya.[1]

B.     GAGASAN AMIEN RAIS DALAM BIDANG FIQIH

-          Syari’ah sebagai Sistem Hukum
            Dalam pengertian yang longgar, syari’at bisa merujuk kepada Islam sebagai agama
Tuhan. Sebagai hukum Tuhan syari’at menempati posisi paling penting dalam masyarakat
Islam. Sebab syari’ah mencakup moral, prilaku, tata aturan mulai dari peribadatan hingga
urusan kenegaraan, yang secara keseluruhan sangat bergantung pada kesadaran manusia.
Sebagai sistem hukum, syari’ah menurut Amien merupakan hukum yang lengkap dan
terpadu.[2]
Dengan menetapkan tauhid sebagai sentrum kehidupan, umat Islam dapat menarik
atau mendeduksi nilai-nilai etik, moral, dan norma-norma pokok dalam ajaran Islam sebagia
patokan dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Amien, ajaran pokok
yang dideduksi atau paradigma bagi aturan-aturan yang lebih rendah derajatnya yang dibuat
berdasarkan akal manusia. Dalam konteks ini, hubungan antara tauhid dengan aturan-aturan
sosial, seperti hubungan antara ushul (pokok) dengan furu’ (cabang). Karenanya aturan-aturan atau sistem sosial sebagia “cabang” tidak boleh bertentangan dengan ajaran pokok tauhid sebagai “pokok” pemikiran yang berpusat pada tauhid kemudian melahirkan teori-teori yang kesemuanya bertumpu pada syariah. Syari’ah merupakan prinsip-prinsip atau aturan universal yang mendeduksi tauhid ke dalam sistem ajaran yang menjadi jalan hidup (way of life) bagi umat Islam. Suatu masyarakat Islam, dengan demikian tidak mungkin mengambil sitem kehidupan selain syari’ah. Syari’ah yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits telah
memberikan sekema kehidupan (scheme of life) yang sangat jelas.
            Dalam pemahaman Amien, Syari’ah bukan hanya menunjukkan apa yang termasuk
ma’rufat dan apa yang tergolong dalam munkara, melainkan juga menentukan skema
kehidupan untuk menumbuhkan ma’rufat dan mencegah agar munkarat tidak merancukan
kehidupan manusia. Akibat logisnya, syari’ah mengatur kehidupan individual dan kolektif
manusia, baik yang berhubungan dengan ibadat ritual maupun masalah-masalah sosial.
Dalam pandangan Amien Rais, syari’ah yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan
masyarakat dan sebagai hasil pewahyuan Al-Qur’an dan Sunnah, merupakan sekema atau
kode kehidupan yang bersifat fleksibel dan dinamis yang diberikan Islam kepada manusia
untuk mengatur kehidupannya.Syari’ah, ungkapnya adalah kehendak Allah yang harus
dijadikan sumber hukum dalam masyarakat Islam, dan bukan kehendak manusia. Karena itu,
mereka sudah semestinya tidak mengambil sistem kehidupan selain syari’ah. Jika mereka
mengambil sistem kehidupan selain syari’ah seperti sistem kapitalisme atau sosialisme – Marxis.[3] Sudah pasti mereka bukan masyarakat Islam lagi. Hal demikian karena syari’ah
adalah suatu kesatuan organis yang harus diteirma secara utuh. Jika diambil sebagian dan
dilepas yang lainnya, maka syari’ah akan kehilangan fungsinya. Bagi Amien Rais, syari’ah merupakan sistem hukum yang lengkap dan terpadu, yang telah meletakkan dasar-dasar (fundamental), tidak hanya bagi hukum konstitusional, tetapi juga hukum administratif, pidana, perdata, bahkan hukum internasional. Sekalipun demikian, syari’ah hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja, mengingat masyarakat manusia tumbuh secara dinamis dan selalu menghendaki keluwesan,kreativitas, dan dinamika hukum. Karenanya, yang harus diingat bahwa dalam syari’ah, disamping terdapat bagian-bagian yang
tidak dapat diubah ada pula bagian yang bersifat fleksibel, agar dapat memenuhi tentunya
perubahan zaman yang dinamis.
            Menurut Amien ada dua kategori hukum; 1) kategori hukum Islam yang tidak berubah
dan tidak dapat diubah, disebabkan oleh sifatnya yang sangat menentukan nasib dan
kehidupan manusia. Kategori hukum ini bersifat permanen dan tidak menerima amandemen
dan modifikasi, sekedar contoh : larangan riba dan judi, serta peraturan hukum waris. 2)
Elemen-elemen hukum yang dapat dimodifikasi sesuai dengan dinamika zaman dan
perkembangan masyarakat. Bagian yang dimaksud berkenaan dengan persoalan-persoalan
yang tidak dijelaskan secara explisit oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Mengamati pemikiran-pemikiran Amien di atas, secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa pandangan keagamaannya terhadap persoalan-persoalan hukum yang ketentuannya
sudah ditetapkan secara eksplisit dan qath’i dalam al-Qur’an dan Hadits, tampaknya bersifat
legalistik-formalistik (hukum waris).



            Sementara itu, berkenaan dengan hukum-hukum yang ketentuannya tidak dijelaskan oleh al-Qur’an maupun Hadits, menurut Amien persoalan tersebut memungkinkan sekali untuk dilakukan penafsiran dan pemaknaan ulang, sepanjang hal itu berdasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang menjadi pesan inti agama (seperti ketentuan zakat sebanyak 2,5 %). Ketentuan zakat sebanyak 2,5% sebagaimana diketahui selama ini, bukan merupakan harga mati, dalam arti batas ukuran maksimal, karena ketentuan itu menurut Amien bukan penjelasan eksplisit al-Qur’an dan Hadits, melainkan hanya merupakan hasil ijtihad ulama terdahulu. Untuk itu, ketentuan zakat bisa berubah lebih besar dari ketentuan awal (2,5%) dalam kasus-kasus tertentu dan sesuai dengan kondisinya.
            Sebagai seorang tokoh muslim, Amien cenderung apresiatif terhadap masalah-masalah politik. Meskipun demikian, ia tidak lupa dengan komitmennya dengan ajaran agama yang puritan. Bahkan hampir tidak ada celah-celah kehidupan ini yang tidak dikaitkan dengan nilai agama. Karena agama merupakan landasan yang amat fundamental, menyeluruh dan bukan sepotong-potong. Dalam sebuah pernyataannya ia pernah melontarkan sebuah keyakinan bahwa "jangan dilupakan bahwa tauhid juga menuntut ditegakkannya keadilan sosial, kerena dilihat dari kacamata tauhid, setiap segala eksploitasi manusia atas manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan Allah. Secara demikian jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin yang selalu disertai kehidupan eksploitatif merupakan fenomena yang tidak tauhid, bahkan anti-tauhid". Pernyataan Amien ini dilontarkan, ketika ia mengkritik keras kasus busang di Kalimantan Timur. Menurut keyakinannya, bahwa skandal busang merupakan bentuk eksploitatif yang tersistematis.
            Dalam bidang pemikiran Islam, visi Amien merupakan counter terhadap gagasan modernisasi, sekulerisasi, dan liberalisasi. Bagi Amien, sikap yang demikian merupakan suatu "ancaman" yang harus diwaspadai oleh kaum muslim. Soalnya, sekulerisasi menurut Amien sesuatu yangtidak bisa dikompromikan dengan agama.
            Sikap Amien yang kritis terhadap sesuatu yang ‘berbau' Barat mungkin bisa dipahami, mengingat pandangan-pandangan keislamannya yang serba alternatif. Kritik-kritik terhadap pahan leiberalisme dan sosialisme-marxisme dengan pisau analisis Islam, menempatkan posisi pada kelompok pembaruan Islamisasi. Titik berat pesan Amien dalam pembaruan adalah, bagaimana realitas dan pembaruan sosial ditundukkan oleh agama. Dan puncak segala sesuatu itu, bergantung pada semangat tauhid sebagai inti ajaran. Dalam usaha menundukkan realitas lewat syari'at inilah Amien menganjurkan untuk bersikap kritis terhadap khurafat dan bid'ah tradisi dan nilai modern yang ‘jahili'. Lalu ia menawarkan tajdidi yang memang khas Muhammadiyah yaitu mengembalikan persoalan kepada al-Qur'an dan Sunnah.[4]
            Hal lain yang menjadi penekanan Amien ialah terhadap masalah keadilan sosial, Ijtihad Amien yang tergolong cukup berani ialah saat menawarkan zakat profesi sebesar 20 persen. Gagasan ini, tentu saja dilatarbelakangi oleh komitmen Amien untuk selalu bersikap kritis terhadap masalah ketimpangan yang menggejala dikalangan umat Islam. Visi ini amat mempengaruhi pemikiran Amien untuk selalu bersikap kritis terhadap Muhammadiyah yang dewasa ini dipandang mandek.

2.      A. BIOGRAFI QURAISH SHIHAB
            Nama lengkapnya Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab, guru besar tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Muhammad Quraish Shihab. Lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sidrap Sulawesi Selatan wilayah sebelah barat Kota Daeng Makassar dan tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat, meskipun memiliki sikap dan pandangan hidup yang sederhana sebagai keturunan Arab yang terpelajar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an, dan setelah itu ia kembali meneruskan untuk mendapatkan gelar doktornya. Sekembalinya ke Indonesia, ia menjadi sosok sarjana muslim kontemporer yang menjalani karir akademik, sosial kemasyarakatan dan pemerintahan.[5] Ia juga aktif menulis karya-karya ilmiah dan telah melahirkan lebih dari 60 buah buku dan ratusan artikel di surat kabar dan majalah meliputi berbagai bidang kajian yang digeluti, baik sebagai guru besar di perguruan tinggi maupun dalam kapasitasnya sebagai editor surat kabar. Secara detil sebagian karya-karya beliau yang dipublikasikan adalah; Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987). Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992). Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996). Hidangan Ilahi; Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 1997). Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, (Jakarta: Republika, 2003). Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), dan lain sebagainya.


B.     GAGASAN QURAISH SHIHAB DALAM BIDANG FIQIH
            Menurut Quraish, fatwâ muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwâ mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Dengan demikian, fatwâ tidak sama dengan tanya jawab keagamaan seperti dalam pengajian-pengajian. Bukan juga sekedar ceramah-ceramah seputar suatu ajaran agama. Fatwâ senantisa sangat sosiologis. Ia mengandaikan adanya perkembangan baru, persoalan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan hukumnya, atau belum jelas duduk masalahnya.[6]
Berdasarkan penjelasan di atas, Quraish membuat rumusan baru tentang agenda fatwâ dimasa yang akan datang. Perlu segera ditegaskan disini bahwa loncatan umat Islam dari melinium silam ke melinium baru ini jelas-jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwâ. Oleh karena itu, Quraish menganggap ada beberapa agenda fatwâ yang dimasa depan mungkin harus diwujudkan. Pertama, Quraish berkeyakinan bahwa sekalipun fatwâ dan penetapan hukum senantiasa dibatasi, namun bukan saatnya lagi berbagai (lembaga) pemberi fatwa hanya bersikap reaktif terhadap persoalan yang disodorkan umat. Fatwâ sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, bahkan, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dsb. Dengan dmeikian, lembaga pemberi fatwâ dituntut lebih jeli dan produktif dalam memahami kebutuhan riel masyarakat muslim.
Kedua, untuk dapat proaktif dan produktif, agenda terbesar umat Islam saat ini adalah bagaimana merumuskan suatu metodologi baru, atau paling tidak penegasan kembali suatu mekanisme pemberian fatwa yang relatif dapat diperpegangi bersama (mu’tamad).
Sebab berbagai perkembangan isu dalam kehidupan kaum muslim dan pertumbuhan kelompok-kelompok baru dalam tubuh umat tidak tidak dapat membatasi para intelektual muslim dari sekedar membaca buku-buku produksi Timur Tengah, cetakan-cetakan terjemahan, maupun literatur dari Barat sebagai panduan. Bukan saja ada perbedaan latar belakang kemunculan karya-karya tersebut dengan situasi masyarakat kita, tapi kadang-kadang semua itu hanya menyajikan pandanag-pandangan, global, teoritis, dan kadang-kadang sangat politis tentang apa itu Islam dan kehidupan Islami. Sebaliknya, kurang menyajikan suatu keputusan hukum yang sifatnya peraktis dalam kehidupan umat sebagaimana yang menjadi ciri fatwâ-fatwâ yang berkembang di Indonesia sejak melinium silam.
Ketiga, perlunya merumuskan pengertian al-maşlaĥah atau al-darûriyyat al-ķams dalam konteks ekonomi-politik global kontemporer, maupun dalam lingkup sosio-kultural umat Islam di Indonesia. Maksudnya, sudah saatnya fatwâ-fatwâ kita memiliki perhatian lebih besar kepada masalah-masalah hukum yang bersifat publik (fiqih/teologi sosial), ketimbang mengurus aspek-aspek teknis ibadah yang bersifat personal. Menyangkut agenda sosial ini, implikasi dan jangkauan politik suatu fatwâ menjadi sangat besar. Tidak mengherankan jika pemerintah biasanya sangat berkepetingan terhadap fatwa jenis ini. Fatwâ-fatwâ seputar mendiang SDSB, UMR, program KB, bunga bank, dan sebagainya senatiasa melibatkan campur tangan pemerintah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, merupakan tugas terbesar dan terberat para pemberi fatwa saat ini untuk membangun kemandiriannya diantara tarik-menarik kekuatan pemerintah, partai-partai politik, organisasi keagamaan, dan kepentingan umat yang lebih luas. Dengan membangun prinsip dan agenda sosial yang lebih serius, diharapkan produk fatwâ yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan pembumian ajaran-ajaran Islam, tanpa mengurangi bobot kebenaran yang dikandungnya.[7]
Berdasarkan gerak fikir Muhammad Quraish Shihab tentang fatwâ di atas, ada hal penting yang perlu digaris bawahi, di mana Quraish mencoba untuk menyamakan antara fatwâ dan ijtihâd dalam pengaplikasiannya. Padahal pada sisi penggunaannya, fatwâ hanya timbul ketika ada yang menanyakan, sedang ijtihâd harus terus digali dan dicarikan jawabannya meskipun tidak ada yang menanyakannya, baik munculnya saat ini ataupun yang akan datang, dan tentunya sudah diprediksi kemunculan masalah tersebut. Sedangkan Quraish menginginkan adanya sikap proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, karena bagi Quraish syarat fatwâ selain adanya orang yang meminta juga karena adanya kondisi yang memerlukan pandangan atau keputusan hukum. Inilah pemikiran yang menurut penulis relevan untuk diterapkan di Indonesia yang sangat plural. Apalagi secara geografis, Indonesia berbeda dan jauh dari pusat Islam yakni al-Haramain (Mekah dan Madinah), dan tetunya begitu banyak permasalahan di dalamnya, seperti adanya yang mencoba untuk membenturkan antara agama dengan keadaan sosial, budaya, politik, dll.

-          Hasil Fatwa Hukum Islam Muhammad Quraish Shihab
            Tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran M. Quraish Shihab tidak terfokus pada pendekatan hukum Islam, melainkan dengan pendekatan kajian tafsir atas naś-naś al-Qur’an. Namun, melalui tafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut, ia kemudian juga memasuki ranah hukum Islam dengan pendekatannya sendiri melalui fatwa-fatwanya yang ia tulis dan dikumpulkan berdasarkan pertanyaan umat Islam kepadanya. Sebagai contoh adalah tentang interpretasinya tentang poligami yang dituangkan dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, di mana Allâh swt berfirman :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ  تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ  تَعُولُوْا {النساء : 3}
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’ : 3)[8]
Menurut Quraish, pada hakikatnya ayat ini hanya memberikan wadah bagi yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti terputusnya kehendak biologis laki-laki karena wanita telah mengalami menopouse, wanita yang tidak dapat memberikan keturunan, penyakit akut yang ada pada diri seorang wanita, peperangan yang berkepanjangan, dan lain sebagainya. Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.[9]
            Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat difahami bahwa pendapat Quraish tersebut menunjukkan bahwa poligami dapat dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan (dalam hal cinta) hampir mustahil dapat terpenuhi, maka kebolehan tersebut tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara tentang poligami ini bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim. Ayat ini turun ketika ada wali yang mengawini anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak memberikan hak-hak anak-anak yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras larangannya. Karena sebelum menyatakan, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat, dinyatakan-Nya, dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah, dan seterusnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa penetapan syarat-syarat poligami sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (bukan melaranganya sama sekali) bertentangan dengan syari’at Islam. Namun demikian, ia dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa persyaratan yang sangat berat (seperti harus seizin istri pertama, yang hampir mustahil ada yang mengizinkannya) dapat mengantar kepada tertutupnya sama sekali pintu poligami yang telah dibukan oleh syari’at Islam. Atau mengantar kepada maraknya perkawinan sirri (yang dirahasiakan), hadirnya wanita-wanita simpanan, atau bahkan mengantar kepada berkembangnya prostitusi. Bukan saja disebabkan oleh jumlah wanita yang lebih banyak, tetapi lebih-lebih oleh era “keterbukaan” aurat dewasa ini. Paling tidak, walau tanpa harus merevisi Undang-undang Perkawinan, para hakim dengan kebijaksanaan dan ijtihadnya dapat berperan mengurangi kekhawatiran masyarakat. Dalam hal poligami ini, pemikiran Muhammad Quraish Shihab terlihat sekali perbedaannya dengan pemerintah, di mana secara tersirat sesungguhnya ia mengingkan adanya revisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akan tetapi revisi yang ia canangkan berbeda dengan kelompok feminisme yang sangat mengedepankan kesetaraan gender. Jika kelompok feminis memiliki pemikiran untuk menutup akses poligami karena merupakan kekerasana terhadap wanita dari segi psikis, Muhammad Qurasih Shihab justru mendukung dibukanya akses poligami ini agar tidak terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun janda.
            Adapun pemikiran yang pro-poligami namun tetap mengedepankan nilai-nilai feminisme[18] adalah sebagaimana yang dituangkan oleh Muĥammad Śaĥrûr di dalam kitabnya “al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah” yakni, ayat ini sesungguhnya telah memberikan petunjuk tentang adanya batas minimal perempuan yang boleh dinikahi yakni satu orang istri, sedangkan batas maksimalnya adalah empat orang istri. Dan ia menyebutnya dengan sebutan al-ĥudûd.
Lebih jelas ia mengungkapkan,
أَنَّ آ يَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِمِنْ آ يَاتِ اْلحُدُوْدِفَاْلحَدُّ اْلأَدْنىَ هُـنَا هُوَ الْوَاحِدَةُ وَاْلحَدُّ اْلأَعْلىَ هُوَ اْلأَرْبَعَةُ.
Artinya : “Sesungguhnya ayat tentang poligami…merupakan (bagian) dari ayat-ayat tentang al-ĥudûd (ketentuan Allâh)…dan batasan minimal di sini adalah satu (istri) sedangkan batasan maksimal adalah empat (istri).
فَقَدْ رَجَحُوْا بِأَنَّ أَسَاسَ اْلعَدَدِ فِى الزِّوَاجِ هُوَ الْوَاحِدَةُ وَقَالُوْا إِنَّ تَعَدُّدَ الزَّوْجَاتِ هُوَ ظُرُوْفٌ اِضْطِرَارِيَّةٌ.[10]
Artinya : “Dan telah dijelaskan bahwa asas perkawinan adalah (hanya untuk) satu orang (istri), dan mereka berkata bahwa poligami boleh dilakukan karena kondisi yang mendesak.
Persyaratan mendesak yang paling ditekankan oleh beliau dan sangat berbeda dengan terjemahan al-Qur’an Departemen Agama adalah, (فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ) “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” maksud dari firman Allâh swt ini adalah ( أنه يتكلم عن أمهات اليتامى ) “sesungguhnya ia membicarakan tentang ibu-ibu dari anak-anak yatim”. Ayat selanjutnya menyebutkan ( فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ  تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً ) memliki penjelasan ( أي تعدلوا بين الأولاد يعنى أولاده وأولاد زوجاته الأرامل ) “bersikap adil kepada anak-anak, yakni kepada anak-anaknya dan anak-anak dari istri-istrinya yang janda”. Penafsiran seperti ini ia tuangkan karena ayat ini diawali dengan ungkapan Allâh swt ( وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى ) “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak-anak yatim”, maksudnya adalah            ( فإذا خاف ألا يعدل بين الأولاد فواحدة ) “maka jika kamu takut tidak dapat berlaku adil kepada anak-anaknya maka kawinilah satu istri saja”. Terjemahan Śaĥrur di atas sungguh berbeda dengan terjemahan al-Qur’an oleh Departemen Agama dan juga Quraish Shihab yang menerjemahkannya menjadi “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”. Dalam hal ini, Śaĥrûr menekankan hak anak-anak yatim sebagai syarat, sedangkan Quraish tidak.
Contoh lain adalah dari bukunya “Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab”, di mana ia banyak menjawab permasalahan dengan tidak ada kesimpulan akhir yang kongkrit darinya, seperti pada ungkapan beliau tentang hukum bersentuhan kulit antara pria dan wanita, apakah membatalkan wudû’. Quraish menjawab, menurut madzhab Śâfi’î, menyentuh lawan seks (jenis) membatalkan wudû’, sedang madzhab lain menganggap batal jika seuntuhannya menimbulkan birahi.[11] Bahkan ada pula jawaban yang pelu untuk dikaji kembali secara mendalam, yakni tentang dibolehkannya hubungan suami-istri yang sedang dalam perjalanan (musâfir) disiang hari bulan puasa asalkan dalam perjalanan yang dibenarkan oleh agama.
Contoh lain adalah, pada pemahamannya tentang hukum onani yang ia tuangkan dalam bukunya “M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui”. Dalam hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani dengan mendasarkan pada firman Allâh swt dalam surat al-Mu’minûn ; “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Namun dalam hal ini, Quraish mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan dengan keadan saat ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani pada dasarnya terlarang, tetapi ia dapat dibenarkan bila memenuhi tiga syarat.Pertama, yang bersangkutan tidak mampu kawin. Kedua, khawatir terjerumus dalam perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan. Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak sering dilakukan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan.[12] Dalam hal ini, ‘illah hukum yang ditekankan oleh Quraish adalah dalam hal “terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jika ‘illah itu kemudian ada pada diri seseorang, seperti terbengkalainya pekerjaan, terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani tersemat pada dirinya.



















BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN

Amien Rais dilahirkan di Solo 26 April 1944, putra pasangan Suhut Rais dan Suhaimiyah. Sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah dan kultur pendidikan. Menurut Amien ada dua kategori hukum; 1) kategori hukum Islam yang tidak berubah dan tidak dapat diubah, disebabkan oleh sifatnya yang sangat menentukan nasib dan kehidupan manusia. Kategori hukum ini bersifat permanen dan tidak menerima amandemen dan modifikasi, sekedar contoh : larangan riba dan judi, serta peraturan hukum waris.
            Elemen-elemen hukum yang dapat dimodifikasi sesuai dengan dinamika zaman dan
perkembangan masyarakat. Bagian yang dimaksud berkenaan dengan persoalan-persoalan
yang tidak dijelaskan secara explisit oleh al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bidang pemikiran Islam, visi Amien merupakan counter terhadap gagasan modernisasi, sekulerisasi, dan liberalisasi. Bagi Amien, sikap yang demikian merupakan suatu "ancaman" yang harus diwaspadai oleh kaum muslim. Soalnya, sekulerisasi menurut Amien sesuatu yangtidak bisa dikompromikan dengan agama.

Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab, guru besar tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Muhammad Quraish Shihab. Lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sidrap Sulawesi Selatan wilayah sebelah barat Kota Daeng Makassar dan tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat, meskipun memiliki sikap dan pandangan hidup yang sederhana sebagai keturunan Arab yang terpelajar. Menurut Quraish, fatwâ muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwâ mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Berdasarkan penjelasan di atas, Quraish membuat rumusan baru tentang agenda fatwâ dimasa yang akan datang. Pertama, Quraish berkeyakinan bahwa sekalipun fatwâ dan penetapan hukum senantiasa dibatasi, namun bukan saatnya lagi berbagai (lembaga) pemberi fatwa hanya bersikap reaktif terhadap persoalan yang disodorkan umat. Kedua, untuk dapat proaktif dan produktif, agenda terbesar umat Islam saat ini adalah bagaimana merumuskan suatu metodologi baru, atau paling tidak penegasan kembali suatu mekanisme pemberian fatwa yang relatif dapat diperpegangi bersama (mu’tamad). Ketiga, perlunya merumuskan pengertian al-maşlaĥah atau al-darûriyyat al-ķams dalam konteks ekonomi-politik global kontemporer, maupun dalam lingkup sosio-kultural umat Islam di Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA



Shihab , Muhammad Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-  Qur’an, Volume I. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab , Muhammad Qurasih. 2008. M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab , Muhammad Quraish. 2003. Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab. Jakarta:    Republika.

Shihab , Muhammad Quraish. 2002. Era Baru Fatwa Baru; Kata Pengantar, dalam MB   Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa           Iding Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju.

Departemen Agama RI. 2006.  al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Agung         Harapan.

Śaĥrûr , Muĥammad. 2000. al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah. Beirut: Syirkah al-            Maţbu’ât lî al-Taurî’ wa al-Naśr.

Rais, M. Amien. 1991. Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Cet. III.    Bandung:Mizan.

Masdar, Umaruddin. 1999. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang     Demokrasi, Cet.I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Malik, Dedy Djamaluddin, dan Idi Subandy Ibrahim. 1998. Zaman Baru Islam     Indonesia         Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,     Nurcholis Madjid,       Jalaluddin Rakhmat, Cet. I. Bandung:Zaman Wacana Mulia




[1] Zaman Baru Islam Indonesia : Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rahmat
[2] M. Amien Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung
[3] M. Amien Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung
[4] Zaman Baru Islam Indonesia : Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rahmat
[5] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007)

[6] Muhammad Quraish Shihab, Era Baru Fatwa Baru; Kata Pengantar, dalam MB Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002)
[7] Muhammad Quraish Shihab, Era Baru Fatwa Baru; Kata Pengantar, dalam MB Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002)
[8] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006)
[9] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Volume I.

[10] Muĥammad Śaĥrûr, al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah, (Beirut: Syirkah al-Maţbu’ât lî al-Taurî’ wa al-Naśr, 2000)
[11] Muhammad Quraish Shihab, Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, (Jakarta: Republika, 2003)

[12] Muhammad Qurasih Shihab, M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008)

0 komentar:

Posting Komentar