---{PUASA DAN KECEPATAN CAHAYA }---
Oleh: Ahmad Mukhlas
Orang berpuasa pada hakikatnya menuntun menuju
cahaya. Manusia diciptakan dari sari pati. Sehingga manusia tidak mampu menuju
dimensi lain dengan tubuh manusia itu sendiri. Karena tubuh manusia ini merupakan
instrumen bagi ruh untuk hidup di dunia. Dapat dianalogikan seperti orang
menyelam ke laut dan dia menggunakan pakaian khusus untuk menyelam. Orang itu
merupakan ruhnya. Pakaian selamnya merupakan instrumen atau wadah bagi ruh
untuk menyelam di dunia yang fana ini. Sementara tabung oksigen yang dibawa
penyelam dianalogikan batas waktu umur kita dalam menyelam di samudra
kehidupan. Kehidupan dunia penuh keindahan yang menyilaukan seperti keindahan
bawah laut yang menggiurkan. Banyak ikan-ikan kecil indah dengan beranekaragam
warna dan bentuk, pesona bawah laut dengan terumbu karang yang cantik sangat
menggiurkan bagi para penyelam.
Dalam menyelam di dasar laut kita mempunyai
tugas mencari mutiara yang menjadi tujuan kita menyelam, sebelum tabung oksigen
yang kita gunakan habis di pertengahan jalan. Begitu juga manusia ketika
berenang dalam kehidupan dunia, mereka harus menemukan hakikat pencarian
hidupnya yaitu hanya untuk Allah Tuhan yang paling berkuasa. Sebelum habis
jatah usia yang diberikan pada manusia.
Selain berbagai macam bentuk ibadah, salah
satu cara yang dianjurkan untuk dekat pada Allah adalah dengan berpuasa.
Berpuasa menjadikan lebih dekat, hati terasa nyambung pada-Nya. Semua perasaan
angkuh, sombong dan semua penyakit hati lain menjadi lunak dengan sendirinya.
Jika puasa dalam Al Qur’an, Hadits dan
kitab-kitab lain dijelaskan waktunya, tata caranya, keutamaannya. Maka hakikat
puasa sebenarnya adalah jalan atau cara untuk melihat Allah sebelum di surga.
Karena besok di surga kita diberi kenikmatan luar biasa, mampu melihat Allah
secara langsung. Akan tetapi, puasa merupakan jalan pintas atau jalan tol
penghubung menuju Allah. Kenapa bisa seperti itu? Dalam fisika puasa dijabarkan
sebagai bentuk manifestasi dari teori relativitas cahaya E=mc2. Teori
temuan Einsten, yang mana manusia belum mampu menemukan suatu alat yang
bergerak secepat kecepatan cahaya, tiga kali sepuluh pangkat delapan meter
perdetik. Jadi berpuasa menjadikan manusia telah menuju waktu yang belum pernah
dia sentuh sebelumnya dengan instrumen berupa raga ini.
Dengan berpuasa semua massa tantang hal-hal
duniawi seperti keinginan nafsu menjadi berkurang sedikit demi sedikit dan
akhirnya hilang. Sehingga kita dapat bergerak menuju kecepatan cahaya. Inilah
yang dimaksud dengan hubungan antara massa dan energi. Sementara kerapatan
massa dan energi sama dengan kelengkungan ruang dan waktu. Jika massa mampu
ditekan, energi menuju kecepatan cahaya semakin tinggi, maka ruang dan waktu
menjadi melengkung dan mampu dilampaui. Karena waktu bersifat relatif. Seperti
halnya jika kita berpuasa kita menunggu waktu berbuka puasa dengan cara diam
saja dan dengan cara melakukan aktivitas maka akan berbeda. Jika kita hanya
diam diri dan menunggu waktu, maka waktu akan terasa lama. Tapi berbeda jika
kita menunggu waktu berbuka puasa dengan cara melakukan aktivitas lainnya, maka
waktu akan terasa cepat. Begitu juga ketika kita tidur, maka waktu akan terasa
cepat. Oleh karena itu, waktu dikatakan relatif. Karena pada hakikatnya orang
tidur bergerak menuju kecapatan cahaya. Begitu juga orang yang sehari duduk dan
akalnya terus bergerak berfikir pada satu tujuan maka waktu akan terasa cepat
karena dia bebas dari waktu. Ini menjelaskan kenapa orang zaman dahulu suka
tirakat, tahajudya kenceng di malam hari yang sunyi, meditasi atau bertapa di
tempat-tempat sepi. Itu hakikatnya karena mereka ingin menuju kecepatan cahaya
agar mereka mampu bersama Tuhan-Nya, lebih dekat dengan Allah. Maka dari itu,
dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa cahaya Allah itu tak mampu dilihat
secara langsung dengan mata manusia kecuali Nabi Musa yang mampu melihat secara
langsung dengan mata kepalanya yang tentunya dengan seizin-Nya. Itu karena mata
manusia ini masih ada massa yang menghalangi untuk menuju kecapatan cahaya. Dan
dari semua kecepatan cahaya tersebut, ada cahaya Allah yang berada diluar
kemampuan pemahaman dan pengukuran manusia. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat
Al-An’am [6] ayat 103, bahwasanya: “Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah
Yang Maha Luas Lagi Maha Mengetahui.” Cahaya Allah sendiri
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nur [24] ayat 35: “Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Gagasan tentang kecepatan cahaya diperikan
oleh Al-Qur’an melalui ayat-ayat mengenai kilat. Kilat ini memekakkan telinga
pendengarnya pada saat berkilau terang, tetapi suaranya beru terdengar
setelahnya. Ada dimensi mikroskopik pada elemen waktu:
“Tidaklah kejadian kiamat itu, melainkan
seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu. (Q.S. An-Nahl [16]: 77).
“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan
seperti sekejap mata.” (Q.S. Al-Qomar [54]: 50).
“dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya dari urat lehernya.” (Q.S. Qaf [50]: 16).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu.
Tetapi kamu tidak melihat. (Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 85).
Selain hal-hal yang disebutkan dalam ayat-ayat
tersebut, dijelaskan pula dalam konteks yang berbeda dan dalam ayat yang
berbeda juga. Dalam Al-Qur’an surat An-Naml [27] ayat 38-40:
“Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar,
siapakah diantara sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum
mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”
Berkata Ifrit dari golongan jin: “Aku akan
datangkan kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri
dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi
dapat dipercaya.”
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari
Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip...”
Ini mengisyaratkan, salah satunya adalah bahwa
ada kecepatan yang mampu membawa singgasana dalam sekejap mata. Kecepatan ini
yang tak mampu dilihat mata indrawi, sehingga butuh pendalaman lebih untuk
mampu mengurai kecepatan yang dimaksudkan seberapa cepat.
Nah dalam konteks sekarang, kecepatan yang
masih belum dapat dikalahkan kecepatannya menurut pengamatan manusia, adalah
kecepatan cahaya. Kemungkinan kecepatan yang digunakan oleh seorang yang
disebutkan dalam ayat tersebut adalah kecepatan cahaya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
kecepatan cahaya merupakan salah satu pengejawantahan dari rahasia puasa.
Bahkan jarak yang begitu jauh dapat dilampaui orang yang berpuasa. Jika lamanya
waktu diruang angkasa dikatakan dengan satuan "tahun cahaya". Seperti
dalam Al-Qur’an Surat As-Sajdah [32] ayat 5:
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi,
kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya)
adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Q.S. As-Sajdah [32]: 5).
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap)
kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (Q.S. Al-Ma’arij [70]: 4).
“Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah
seperti seribu tahun menurut perhitunganmu,” (Q.S. Al-Hajj [22]: 47).
Maka dengan puasa, jarak yang jauh tersebut
dapat dijangkau, bahkan jaraknya yang sangat jauh sampai ribuan tahun cahaya
sekalipun.
Selain itu, persepsi tentang waktu juga
berbeda-beda. Allah
bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab:
“Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada
orang-orang yang menghitung.” Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi)
melainkan sebentar saja kalau kamu sesungguhnya mengetahui.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 112-114).
Sudah tentu bahwa persepsi tentang waktu yang
diterangkan dalam ayat Al-Qur’an tersebut sangat berbeda dengan waktu yang
terdapat di dunia. Waktu itu relatif dan berhubungan degan kecepatan, serta
puasa sangat berperan di dalamnya.
---{***}---
0 komentar:
Posting Komentar