DETEKTOR
RADIASI
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kimia Inti
Dosen
Pengampu: Muzakki
Oleh:
Hendra
Budi Gunawan (11670018)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Radiasi adalah suatu
berkas zarah atau foton yang dipancarkan dari suatu sumber yang mengalami
proses perubahan inti atom dari keadaan tidak stabil menjadi stabil. Hal yang
paling mendasar untuk mengendalikan bahaya radiasi adalah mengetahui besarnya
radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber radiasi baik melalui pengukuran
maupun perhitungan. Besarnya radiasi dapat diukur dengan menggunakan alat ukur
radiasi berupa detektor. Detektor nuklir mempunyai jenis serta bentuk yang
cukup banyak. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai penemuan dan
pengembangan telah dilakukan terhadap sistem pencacah radiasi untuk
meningkatkan aplikasi dan kemudahan penggunaannya. Terdapat beberapa jenis
detektor sebagai alat ukur radiasi, yaitu detektor isian gas, detektor
sintilasi dan detektor semikonduktor. Oleh karena itu, untuk memahami jenis dan
kegunaan detektor tersebut, pemakalah akan membahasanya dalam makalah yang
berjudul “Detektor Radiasi”.
B.
Tujuan
Makalah
yang berjudul “Siapa yang Menangkap Radiasi?” bertujuan untuk:
1.
Mengetahui
jenis-jenis detektor radiasi.
2.
Mengetahui
mekanisme kerja detektor radiasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Partikel
alfa, beta, gamma, neutron atau proton yang dilepas dari bahan radioaktif
ataupun radiasi oleh alam, dapat diukur nilai parameter fisisnya hanya bila
terdapat instrumen yang dapat mendeteksi atau mengukur parameter radiasi itu.
Instrumen itu disebut detektor radiasi. Bentuk, bahan dan kepekaan dari setiap
detektor disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Telah dikenal beberapa jenis
detektor, yaitu detektor isian gas, detektor sintilasi, dan detektor
semikonduktor (Jati dan Priyambodo, 2010: 307).
A.
Detektor Isian Gas
Detektor isian gas adalah detektor yang paling banyak digunakan
untuk mengukur radiasi (Safitri, dkk, 2011). Detektor isian gas merupakan
tabung tertutup yang berisi gas dan terdiri dari 2 buah elektrode. Dinding
tabung sebagai elektrode negatif (katode) dan kawat yang terbentang di dalam
tabung pada poros sebagai elektrode positif (anode). Skema detektor isian gas
disajikan pada gambar berikut (Surakhman dan Sayono, 2009).
Gambar 1. Detektor isian gas
Radiasi yang memasuki detektor akan
mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion positif dan ion-ion negatif
(elektron). Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut sebanding dengan energi
radiasi dan berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas. Daya ionisasi
gas berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor
tersebut akan memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun arus
listrik. Adapun skema dari proses ionisasi disajikan pada gambar berikut
Gambar 2. Proses ionisasi
Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi
akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan
pulsa atau arus listrik. Pergerakan ion tersebut di atas dapat berlangsung bila
di antara dua elektroda terdapat cukup medan listrik. Bila medan listriknya
semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion tersebut akan semakin besar sehingga
mampu untuk mengadakan ionisasi lain. Ion-ion yang dihasilkan oleh ion primer disebut
sebagai ion sekunder. Bila medan listrik di antara dua elektroda semakin tinggi
maka jumlah ion yang dihasilkan oleh sebuah radiasi akan sangat banyak dan
disebut proses avalanche.
Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang
bekerja pada daerah yang berbeda yaitu detektor kamar ionisasi, detektor
proporsional, dan detektor Geiger Mueller (GM).
1.
Detektor Kamar Ionisasi
Detektor kamar ionisasi beroperasi pada tegangan paling
rendah. Jumlah elektron yang terkumpul di anoda sama dengan jumlah yang
dihasilkan oleh ionisasi primer. Dalam kamar ionisasi ini tidak terjadi
pelipat-gandaan (multiplikasi) jumlah ion oleh ionisasi sekunder. Dalam daerah
ini dimungkinkan untuk membedakan antara radiasi yang berbeda ionisasi
spesifikasinya, misalnya antara partikel alfa, beta dan gamma. Namun, arus yang
timbul sangat kecil, kira-kira 10-12 A sehingga memerlukan penguat
arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi (Hidayanto, 2009).
2. Detektor Proporsional
Salah satu kelemahan dalam mengoperasikan detektor pada
daerah kamar ionisasi adalah out put yang dihasilkan sangat lemah
sehingga memerlukan penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang
tinggi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, tetapi masih tetap dapat
memanfaatkan kemampuan detektor dalam membedakan berbagai jenis radiasi, maka
detektor dapat dioperasikan pada daerah proporsional (Hidayanto, 2009).
Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih
tinggi daripada kamar ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya
multiplikasi gas yang besarnya bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan
tegangan yang digunakan. Karena terjadi multiplikasi maka ukuran pulsa yang
dihasilkan sangat besar (Hidayanto, 2009).
Multiplikasi terjadi karena elektron-elektron yang dihasilkan
oleh ionisasi primer dipercepat oleh tegangan yang digunakan sehingga elektron
tersebut memiliki energi yang cukup untuk melakukan ionisasi berikutnya
(ionisasi sekunder). Meskipun terjadi multiplikasi, namun jumlah elektron yang
dihasilkan tetap sebanding (proporsional) dengan ionisasi mula-mula. Karena itu
dinamakan alat pantau proporsional (Hidayanto, 2009).
Keuntungan dari alat pantau proporsional adalah bahwa alat
ini mampu mendeteksi radiasi dengan intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan
sumber tegangan yang super stabil, karena pengaruh tegangan pada daerah ini
sangat besar terhadap tingkat multiplikasi gas dan juga terhadap tinggi pulsa out
put (Hidayanto, 2009).
3.
Detektor
Geiger Mueller
Sejak ditemukan detektor radiasi
pengion oleh Hans Geiger pada tahun 1908, kemudian tahun 1928 disempurnakan
oleh Walther Mueller menjadi tabung detektor Geiger-Mueller yang konstruksinya
sederhana dibandingkan dengan jenis detektor yang lain. Detektor Geiger-Mueller
terdiri dari suatu tabung logam atau gelas dilapisi logam yang biasanya diisi
gas seperti argon, neon, helium atau lainnya (gas mulia dan gas poliatomik) dengan
perbandingan tertentu (Safitri, dkk, 2011).
Detektor Geiger (Geiger Counter) merupakan alat ukur cacah
radiasi yang berdasarkan pada prinsip ionisasi atom-atom gas. Detektor ini
berisi gas pada tekanan rendah, kawat halus yang berfungsi sebagai anode, dan
selubung silinder sebagai katode. Jika terdapat partikel dari radiasi bahan
radioaktif yang masuk melalui jendela (window) detektor, maka partikel
itu dipercepat oleh anode, sehingga dapat mengionisasi gas disekitar anode, dan
akibatnya diperoleh pulsa listrik. Cacah pulsa listrik itu sebanding dengan
jumlah partikel dari bahan radioaktif yang masuk detektor (Jati dan Priyambodo,
2010: 308).
B.
Detektor Sintilasi
Detektor
jenis ini merupakan alat ukur cacah radiasi oleh bahan radioaktif, atau radiasi
oleh alam pada berbagai nilai tenaga dari partikel atau foton yang dideteksi.
Jika sinar jatuh pada kristal scintilator (NaI) maka kristal berpendar. Hal ini
disebabkan oleh elektron atau atom dari kristal yang tereksitasi, dan kemudian
kembali ke arah bawah dengan mengemisi foton. Radiasi foton itu mengenai
katode, dan selanjutnya katode melepas elektron yang disebut radiasi
fotokatode. Selanjutnya, kelajuan elektron diperbesar dengan melewatkannya pada
beda potensial bertingkat sehingga potensialnya naik secara bertahap, serta
diperkuat oleh tabung fotomultiplier. Detektor ini juga mampu memberi informasi
tenaga dari partikel atau foton yang ditangkap oleh detektor itu (Jati dan
Priyambodo, 2010: 308).
Detektor sintilasi terdiri
dari dua bagian, yaitu bahan sintilator dan photomultiplier. Bahan
sintilator merupakan suatu bahan padat, cair maupun gas, yang akan
menghasilkan percikan cahaya bila dikenai radiasi pengion. Photomultiplier
digunakan untuk mengubah percikan cahaya yang dihasilkan bahan sintilator
menjadi pulsa listrik.
a.
Sintilator Cair (Liquid Scintillation)
Detektor ini sangat
spesial dibandingkan dengan jenis detektor yang lain karena berwujud cair.
Sampel radioaktif yang akan diukur dilarutkan dahulu ke dalam sintilator cair
ini sehingga sampel dan detektor menjadi satu kesatuan larutan yang homogen.
Secara geometri pengukuran ini dapat mencapai efisiensi 100 % karena semua
radiasi yang dipancarkan sumber akan “ditangkap” oleh detektor. Metode ini
sangat diperlukan untuk mengukur sampel yang memancarkan
radiasi b berenergi rendah seperti tritium dan C14.
Gambar 3. Sintilator Cair
Masalah yang harus
diperhatikan pada metode ini adalah quenching yaitu
berkurangnya sifat transparan dari larutan (sintilator cair) karena mendapat
campuran sampel. Semakin pekat konsentrasi sampel maka akan semakin buruk
tingkat transparansinya sehingga percikan cahaya yang dihasilkan tidak dapat
mencapai photomultiplier.
Proses sintilasi pada
bahan ini dapat dijelaskan dengan gambar di bawah. Di dalam kristal bahan
sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai pita valensi
dan pita konduksi yang dipisahkan dengan tingkat energi tertentu. Pada keadaan
dasar, ground state, seluruh elektron berada di pita valensi sedangkan di pita
konduksi kosong. Ketika terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat
kemungkinan bahwa energinya akan terserap oleh beberapa elektron di pita
valensi, sehingga dapat meloncat ke pita konduksi. Beberapa saat kemudian
elektron-elektron tersebut akan kembali ke pita valensi melalui pita energi
bahan aktivator sambil memancarkan percikan cahaya.
Gambar 4. Proses Sintilasi
Jumlah percikan cahaya
sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh jenis bahan
sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya.
Percikan-percikan cahaya ini kemudian ‘ditangkap’ oleh photomultiplier.
Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering
digunakan sebagai detektor radiasi.
1)
Kristal NaI(Tl)
2)
Kristal ZnS(Ag)
3)
Kristal LiI(Eu)
4)
Sintilator Organik
b.
Tabung Photomultiplier
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri
atas dua bagian yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila
bahan sintilator berfungsi untuk mengubah energi radiasi menjadi percikan
cahaya maka tabung photomultiplier ini berfungsi untuk mengubah percikan
cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga dapat diolah lebih lanjut
sebagai pulsa / arus listrik.
Tabung photomultiplier
terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan photokatoda yang berfungsi
sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat beberapa dinode untuk
menggandakan elektron seperti terdapat pada gambar 4. Photokatoda yang
ditempelkan pada bahan sintilator, akan memancarkan elektron bila dikenai
cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan
diarahkan, dengan perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut
akan memancarkan beberapa elektron sekunder bila dikenai oleh elektron.
Gambar 5. Tabung Photomultiplier
Elektron-elektron
sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua dan
dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yang
terkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor
kumpulan elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.
C.
Detektor Semikonduktor
Detektor
ini menggunakan bahan utama semikonduktor yang merupakan gandengan positif (P)
dan negatif (N). Jika detektor tidak teradiasi, maka tidak mengalirkan arus
listrik, sedangkan apabila ada radiasi dapat memberikan lubang (hole) pada
bahan gabungan, sehingga muncul arus listrik. Alat ini cukup sederhana, hanya
saja volume aktif bahan yang dimiliki sangat kecil (Jati dan Priyambodo, 2010:
309).
Bahan semikonduktor, yang diketemukan
relatif lebih baru daripada dua jenis detektor di atas, terbuat dari unsur
golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon atau germanium. Detektor ini
mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan detektor
isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta mempunyai resolusi yang lebih
baik daripada detektor sintilasi.
Gambar
6. Bahan semikonduktor
Pada dasarnya, bahan isolator dan bahan semikonduktor
tidak dapat meneruskan arus listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya
berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Perbedaan tingkat
energi antara pita valensi dan pita konduksi di bahan isolator sangat besar
sehingga tidak memungkinkan elektron untuk berpindah ke pita konduksi ( > 5
eV ) seperti terlihat di atas. Sebaliknya, perbedaan tersebut relatif kecil
pada bahan semikonduktor ( < 3 eV ) sehingga memungkinkan elektron untuk
meloncat ke pita konduksi bila mendapat tambahan energi.
Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan
diserap oleh bahan sehingga beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita
valensi ke pita konduksi. Bila di antara kedua ujung bahan semikonduktor
tersebut terdapat beda potensial maka akan terjadi aliran arus listrik. Jadi
pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik.
Gambar 7. Proses perubahan energi
radiasi menjadi energi listrik
Sambungan semikonduktor dibuat dengan
menyambungkan semikonduktor tipe N dengan tipe P (PN junction). Kutub positif
dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke tipe N sedangkan kutub
negatifnya ke tipe P seperti terlihat pada Gambar 7. Hal ini menyebabkan
pembawa muatan positif akan tertarik ke atas (kutub negatif) sedangkan pembawa
muatan negatif akan tertarik ke bawah (kutub positif), sehingga terbentuk (depletion
layer) lapisan kosong muatan pada sambungan PN. Dengan adanya lapisan kosong muatan ini maka
tidak akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang memasuki lapisan
kosong muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole, yang
akan bergerak ke kutub-kutub positif dan negatif. Tambahan elektron dan hole
inilah yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa atau arus listrik.
Oleh karena daya atau energi yang dibutuhkan
untuk menghasilkan ion-ion ini lebih rendah dibandingkan dengan proses ionisasi
di gas, maka jumlah ion yang dihasilkan oleh energi yang sama akan lebih
banyak. Hal inilah yang menyebabkan detektor semikonduktor sangat teliti dalam
membedakan energi radiasi yang mengenainya atau disebut mempunyai resolusi
tinggi. Sebagai gambaran, detektor sintilasi untuk radiasi gamma biasanya
mempunyai resolusi sebesar 50 keV, artinya, detektor ini dapat membedakan
energi dari dua buah radiasi yang memasukinya bila kedua radiasi tersebut
mempunyai perbedaan energi lebih besar daripada 50 keV. Sedang detektor
semikonduktor untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi 2 keV. Jadi
terlihat bahwa detektor semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi
radiasi.
Sebenarnya, kemampuan untuk membedakan energi
tidak terlalu diperlukan dalam pemakaian di lapangan, misalnya untuk melakukan
survai radiasi. Akan tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk menentukan
jenis radionuklida atau untuk menentukan jenis dan kadar bahan, kemampuan ini
mutlak diperlukan.
Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah
harganya lebih mahal, pemakaiannya harus sangat hati-hati karena mudah rusak dan
beberapa jenis detektor semikonduktor harus didinginkan pada temperatur
Nitrogen cair sehingga memerlukan dewar yang berukuran cukup besar.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
makalah yang berjudul “Detektor Radiasi”, dapat disimpulkan:
1.
Terdapat
tiga jenis detektor radiasi, yaitu detektor isian gas, detektor sintilasi, dan
detektor semikonduktor.
2.
Setiap
detektor radiasi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda, seperti:
a. Detektor isian gas, yaitu dengan cara mengionisasi gas sehingga dihasilkan
ion-ion positif dan ion-ion negatif (elektron). Ion-ion primer yang dihasilkan
oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan
pulsa atau arus listrik.
b. Detektor sintilasi, yaitu dengan cara memendarkan sinar yang jatuh
pada kristal scintilator (NaI) yang disebabkan oleh elektron atau atom
dari kristal yang tereksitasi, dan kemudian kembali ke arah bawah dengan mengemisi
foton. Radiasi foton tersebut mengenai katode, sehingga katode melepaskan
elektron.
c.
Detektor semikonduktor, yaitu dengan cara
menyerap radiasi yang memasuki bahan semikonduktor oleh bahan semikonduktor, sehingga
beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Apabila diantara kedua ujung bahan
semikonduktor tersebut terdapat beda potensial, maka akan terjadi aliran arus
listrik.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayanto, Eko. 2009. Detektor Radiasi. Diakses pada tanggal
16 Maret 2014 pukul 16.15 wib.
Http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Dasar_04.htm.Diakses pada tanggal 16 Maret 2014 pukul
17.00 wib.
Jati B. Murdaka Eka dan Priyambodo T. Kuntoro. 2010. Fisika
Dasar untuk Mahasiswa Ilmu-ilmu Eksakta dan Teknik. Yogyakarta: Andi
Yogyakarta.
Safitri Irma,
dkk. 2011. Jurnal Perbandingan Karakteristik Detektor
Geiger-Mueller Self Quenching dengan External Quenching. Diakses
pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 16.00 wib.
Surakhman dan Sayono. 2009. Jurnal Pembuatan Detektor
Geiger-Mueller Tipe Jendela Samping dengan Gas Isian Argon –Etanol. Diakses
pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 16.30 wib.
0 komentar:
Posting Komentar