PENELITIAN
EKSPERIMEN
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan
Dosen
Pengampu: Shidiq Premono, M.Pd
Oleh Kelompok 4:
1.
Hendra Budi Gunawan (11670018)
2.
Rahma Mei Widarti (11670037)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Dalam melakukan penelitan banyak sekali pilihan metode
yang dapat digunakan. Namun tidak semua metode cocok digunakan, metode yang
dipilih harus sesuai dengan tujuan penelitian. Salah satu metode yang dapat
digunakan dalam penelitia adalah metode eksperimen. Terutama dalam penelitian
pendidikan, salah satu metode yang banyak digunakan adalah metode penelitian eksperimen.
Untuk dapat melaksanakan suatu eksperimen yang baik,
perlu dipahami terlebih dahulu segala sesuatu yang berkait dengan
komponen-komponen eksperimen. Baik yang berkaitan dengan variabel, hakekat,
karakteristik, tujuan, syarat-syarat, langkah-langkah penelitian, serta
validitas dalam penelitian eksperimen.
Selanjutnya, untuk lebih memahami mengenai penelitian
eksperimen, dalam makalah ini yang berjudul “Penelitian Eksperimen” akan dibahas mengenai metode
penelitian eksperimen beserta hal-hal yang terkait di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MASALAH
1.
Pengertian Masalah
Pada dasarnya penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
data yang antara lain dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Oleh karena
itu, setiap penelitian yang akan dilakukan harus selalu berangkat dari masalah
(Sugiyono, 2013). Menurut Emory dalam Sugiyono (2013) mengatakan bahwa
penelitian murni dan terapan pada dasarnya berangkat dari masalah, hanya saja
untuk penelitian terapan hasilnya langsung dapat digunakan untuk membuat
keputusan.
Tuckman
dalam Sugiyono (2013) berpendapat bahwa setiap penelitian yang akan dilakukan
harus selalu berangkat dari masalah, walaupun dapat diakui bahwa memilih
masalah penelitian merupakan hal yang paling sulit dalam proses penelitian.
Apabila dalam penelitian telah dapat menemukan masalah yang benar-benar
masalah, maka sebenarnya pekerjaan penelitian itu 50% telah selesai. Oleh
karena itu, menemukan masalah dalam penelitian merupakan pekerjaan yang tidak
mudah, tetapi setelah masalah dapat ditemukan, maka pekerjaan penelitian akan
segera dapat dilakukan (Sugiyono, 2013).
Jadi,
masalah atau problem adalah suatu pertanyaan yang mengawali suatu penelitian.
Proses mencari jawaban dari permasalahan yang hanya bisa dilakukan melalui
proses penelitian. Dengan demikian, suatu permasalahan muncul sebelum kegiatan
proses penelitian dilakukan, dan masalah atau problem dalam penelitian tidak
lepas kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, serta merupakan sesuatu yang
lumrah (Ghony dan Almansur, 2009).
2.
Karakteristik Masalah
Permasalahan yang ada harus dapat
diklasifikasikan, selanjutnya dapat diangkat sebagai masalah yang dapat
diteliti. Menurut Syukardi dalam Djunaidi dan Fauzan (2009) masalah biasanya
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.
Permasalahn
tersebut biasanya dirasakan oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu bidang
yang sama.
b.
Permasalahan
tersebut sering muncul dan secara signifikasi ditemui oleh orang-orang yang
terlibat.
c.
Permasalahan
tersebut dapat diukur dengan alat ukur penelitian, seperti skala nominal, ordinal,
interval, dan rasio.
d.
Permasalahan
tersebut dapat diteliti, lantaran dapat diungkapkan kejelasannya melalui
tindakan koleksi data dan kemudian dianalisis.
e.
Permasalahan
tersebut dapat dikontribusi signifikan, lantaran memiliki nilai guna dan
memanfaatkan baik pada tataran teoritis yang berkaitan erat dengan perkembangan
ilmu pengetahuan maupun pada tataran praktis dalam kehidupan sehari-hari.
f.
Permasalah
tersebut didukung oleh data empiris yakni dapat diukur baik secara kuantitatif
ataupun secara empiris yang memberikan
hubungan erat antara fakta konstruk
suatu fenomena, disamping mendukung pada suatu yang harus didasarkan hukum positif,
empiris dan terukur. Apabila tidak demikian, maka akan jatuh pada kategori common
sense yang sulit ditindak lanjuti dalam proses pengumpulan data.
g.
Sesuai
dengan kemampuan dan keinginan peneliti, hal ini penting karena memberikan
motivasi dan kepercayaan diri pada peneliti bahwa apa yang hendak diteliti di
lapangan akan berhasil, karena data yang ada di lapangan kemudian peneliti
memiliki kemampuan untuk dikumpulkan
sehingga dapat dianalisis sampai hasil penelitian dapat diperoleh.
3.
Sumber Masalah
Masalah
dapat diartikan sebagai penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa yang
benar-benar terjadi, antara teori dengan praktek, antara aturan dengan
pelaksanaan, antara rencana dengan pelaksanaan (Sugiyono, 2013). Stonner dalam
Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa masalah-masalah dapat diketahui atau dicari
apabila terdapat penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan, antara apa
yang direncanakan dengan kenyataan, adanya pengaduan, dan kompetisi.
Menurut Borg dalam Ghony dan Almansur
(2009), masalah atau permasalahan yang ada dilingkungan kita sehari-hari cukup
banyak, untuk itu diharapkan bagi peneliti mampu mengidentifikasi, memilih,
merumuskan, dan kemudian menentukan tipologi penelitiannya secara tepat.
Menurut Surya brata dalam Ghony dan Almansur (2009), terdapat beberapa sumber
masalah atau permasalahan yang dapat diperoleh dari:
a.
Literatur,
yang meliputi : buku, buku teks, monography, laporan statistik, dan yang berupa
non buku seperti: jurnal, tesis, disertasi, dsb.
b.
Sebagai
pertemuan ilmiah, seperti: seminar, diskusi, loka karya, sarasehan, dsb.
c.
Pengalaman
pribadi dan pengalaman yang bersifat longitudinal.
d.
Pertanyaan
dari pemegang otoritas.
e.
Perasaan
insituitif.
Disamping permasalahan diatas, masih
ada beberapa macam sumber masalah yang
dapat membantu peneliti dalam memperoleh permasalahan yang layak dijadikan
bahan untuk diteliti (Ghony dan Almansur, 2009), diantaranya :
a.
Pengalaman
seseorang atau kelompok, dimana pengalaman adalah guru terbaik dalam karier
maupun profesi seseorang seperti guru, dokter, pengacara, dimana mereka diberi
gelar dan tanda jasa untuk menghormati pengalaman dibidangnya. Mereka telah
lama menekuni bidangnya sehingga dapat digunakan sebagai sumber untuk membantu
mencari permasalah yang signifikan untuk diteliti.
b.
Lapangan
tempat peneliti bekerja merupakan tempat dimana seseorang maupun peneliti
bekerja merupakan salah satu sumber permasalahan yang baik dan layak untuk
digali sebagai sumber masalah yang akan diteliti.
c.
Laporan
hasil penelitian, disamping ada hasil temuan yang baru juga ada kemungkinan
penelitian yang direkomendasikan karena berkaitan dengan hasil penelitian yang
telah ada, sehingga dari sumber tersebut diperoleh dari suatu gambaran
permasalahan yang baik unuk diteliti.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian Rumusan Masalah
Rumusan
masalah berbeda dengan masalah. Jika masalah merupakan kesenjangan antara yang
diharapkan dengan yang terjadi, maka rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan
yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Akan tetapi, antara
masalah dengan rumusan masalah sangat berkaitan erat, karena setiap rumusan
masalah penelitian harus didasarkan pada masalah (Sugiyono, 2013).
2.
Bentuk-bentuk Rumusan Masalah Penelitian
Rumusan
masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui
pengumpulan data. Dimana bentuk-bentuk rumusan masalah penelitian ini
dikembangkan berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi (level of
explanation). Adapun bentuk-bentuk rumusan masalah tersebut (Sugiyono,
2013) antara lain:
a.
Rumusan
Masalah Deskriptif
Rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang
berkenaan dengan pertanyaan terhadap keberadaan variabel mandiri, baik hanya
pada satu variabel atau lebih (variabel yang berdiri sendiri). Jadi, dalam
penelitian ini peneliti tidak membuat perbandingan variabel itu pada sampel
yang lain, dan mencari hubungan variabel itu dengan variabel yang lain.
Contoh:
1)
Seberapa
baik kinerja Departemen Pendidikan Nasional?
2)
Bagaimanakah
sikap masyarakat terhadap perguruan tinggi negeri berbadan hukum?
3)
Seberapa
tinggi efektivitas kebijakan manajemen berbasis sekolah di Indonesia?
b.
Rumusan
Masalah Komparatif
Rumusan masalah komparatif adalah rumusan masalah penelitian yang
membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel
yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda.
Contoh:
1)
Adakah
perbedaan prestasi belajar antara murid dari sekolah negeri dan swasta?
2)
Adakah
perbedaan disiplin kerja guru antara sekolah di Kota dan di Desa?
3)
Adakah
perbedaan produktivitas karya ilmiah antara perguruan tinggi negeri dan swasta?
c.
Rumusan
Masalah Asosiatif
Rumusan masalah asosiatif adalah rumusan masalah penelitian yang
bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Terdapat tiga
bentuk hubungan, yaitu:
1)
Hubungan
Simetris
Hubungan
simetris adalah suatu hubungan antara dua variabel atau lebih yang kebetulan
munculnya bersama. Jadi, bukan hubungan kausal maupun interaktif. Contoh
rumusan masalah:
a)
Adakah
hubungan antara jumlah es yang terjual dengan jumlah kejahatan terhadap
murid sekolah?
b)
Adakah
hubungan antara warna rambut dengan kemampuan memimpin sekolah?
c)
Adakah
hubungan antara jumlah payung yang terjual dengan jumlah murid
sekolah?
Contoh judul
penelitian:
a)
Hubungan
antara jumlah es yang terjual dengan jumlah kejahatan terhadap
murid sekolah?
b)
Hubungan
antara warna rambut dengan kemampuan memimpin sekolah?
c)
Hubungan
antara jumlah payung yang terjual dengan jumlah murid sekolah?
2)
Hubungan
Kausal
Hubungan
kausal adalah hubungan yang bersifat sebab akibat. Jadi, di sini ada variabel
independen (variabel yang mempengaruhi) dan variabel dependen (dipengaruhi).
Contoh:
a)
Adakah
pengaruh pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar anak?
b)
Seberapa
besar pengaruh kepemimpinan kepala SMK terhadap kecepatan lulusan
memperoleh pekerjaan?
c)
Seberapa
besar pengaruh tata ruang kelas terhadap efisiensi pembelajaran
di SMA?
Contoh judul
penelitian:
a)
Pengaruh
pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar anak di SD
Kabupaten Alengkapura?
b)
Pengaruh
kepemimpinan kepala SMK terhadap kecepatan lulusan memperoleh
pekerjaan pada SMK di Provinsi Indrakila?
c)
Pengaruh
tata ruang kelas terhadap efisiensi pembelajaran di SMA Negeri 1
Losari?
3)
Hubungan
Interaktif
Hubungan
interaktif adalah hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini tidak diketahui
mana variabel independen dan dependen.
Contoh:
a)
Hubungan
antara motivasi dan prestasi belajar anak SD di Kecamatan A.
b)
Hubungan
antara kecerdasan dengan kekayaan.
3.
Langkah-langkah dalam Merumuskan Masalah
Dalam
memilih masalah atau permasalahan penelitian akan lebih mudah jika peneliti
memahai dan mengikuti secara organisatoris langkah-langkah penting (Ghony dan
Almansur, 2009), yaitu:
a.
Peneliti
sebagai mengidentifikasi cakupan luas dari permasalah tersebut, kemudian
dispesifikasikan untuk mencari apakah permasalahan tersebut sering kali muncul
dan dapat dinilai secara kasar kemanfaatannya baik terhadap perkembangan ilmu,
perekembangan ilmu pengetahuan maupun terhadap stakeholder hasil penelitian.
b.
Peneliti
mempersempit permasalahan sehingga menjadi permasalahan yang dapat diteliti,
sesuai dengan kemampuan peneliti untuk melaksanakannya, disamping menghindari
adanya kesulitan nantinya dalam mengukur data.
c.
Masalah
penelitian yang telah diidentifikasi dan dibatasi agar memperoleh masalah yang
layak untuk diteliti masih harus dirumuskan agar dapat memberikan arah bagi
penelitian secara jelas.
d.
Masalah
yang telah dirumuskan secara tepat dan benar harus mencakup dan menunjukkan
semua variabel maupun hubungan variabel yang satu dengan yang lainnya yang
hendak diteliti.
C.
KAJIAN TEORI
Fungsi teori dalam penelitian (Ghony dan Almansur, 2009)
diantaranya:
a.
Teori
berfungsi sebagai klasifikasi
Dalam
hal ini teori memberi pedoman dan strategi, melalui konsep-konsepnya, untuk
memgumpulkan data yang relevan, untuk melakuakn klasifikasi atau pengelompokan/
penggolongan data, menetapkan kategori-kategori yang dipandang memiliki maksud
dan tujuan. Dengan bekal kerangka teori peneliti dalam mengumpulkan data tidak
lagi merupakan himpunan yang tidak teratur dan tidak menentu, sebab teori
memberi arah dan petunjuk bagi peneliti terutama data apa yang perlu
dikumpulkan, bagaimana menyusun klasifikasinya berdasarkan atas tujuan
penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya.
Misalnya,
teori peningkatan mutu, kualitas pendidikan yang menghubungkan kerajinan guru
dengan anak putus sekolah (droup out). Peneliti dengan bekal teori yang mantap
mampu melakukan dan menghimpun pengelompokan data anak yang putus sekolah (droup out) menurut tingkat pendidikan.
Hal ini erat kaitannya dengan teori yang menyatakan adanya perbedaan tingkat
anak putus sekolah diantara tingkat pendidikan yang ada mulai dari tingkat
sekolah dasar, tingkat menengah pertama, tingkat menengah atas, maupun tingkat
perguruan tinggi.
b.
Teori
berfungsi sebagai eksplanatur
Maksudnya bahwasanya teori memiliki banyak informasi dibalik
rangkaian fenomena. Informasi disini diharapkan teori mampu memberikan jawaban
mengenai sebab terjadinya suatu fenomena. Sebenarnya kegiatan penciptaan teori
yang paling penting adalah proses kegiatan untuk mememukan sejumlah ulasan yang
memberikan bukti penyebab dari suatu kegiatan atau kejadian tertentu. Alasan
yang merupakan inti atau bukti tentu saja dapat diperoleh melalui pengujian
secara empiris dengan menggunakan prosedur dan metodologi yang memadai.
Teori selalu bersifat menemukan kesimpulan dengan jalan mengadakan
abstraksi dari sejumlah fakta yang
konkret. Kerangka abstraksi menghubungkan antara fakta itu selalu menjadi
rangkaian yang berhubungan satu sama lain dalam kaitan yang memiliki makna.
Inilah salah satu jasa yang diberikan teori dalam penjelasan sebuah fakta, dan
dengan berkat teori maka hubungan antara fakta menjadi jelas dan masuk akal.
c.
Fungsi
teori sebagai prediktif
Dalam kaitan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari teori yang
berfungsi sebagai eksplanasi yakni
menjelaskan sebab akibat kejadian tertentu. Sebab dengan mengetahui suatu
kejadian akan tahu pula penyebab terjadianya kejadian yang lain, sehingga apabila
kejadian yang semacam itu terjadi berulangkali dan polanya sama, maka peneliti
menjadi yakin akan ketepatan hubungan sebab akibat dari kejadian tersebut, yang
selanjutnya peneliti diharapkan mampu untuk meramalkan apa yang akan terjadi.
Apabila terjadi dalam situasi yang berbeda, peneliti menjumpai timbulnya faktor
penyebab yang sama, maka dapat dipastikan adanya akibat tertentu akan terjadi.
D.
PENELITIAN YANG RELEVAN
E.
KERANGKA BERFIKIR
Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa
kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah
yang penting.
Kerangka berfikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis
pertautan antar variabel yang akan diteliti. Jadi, secara teoritis perlu
dijelaskan hubungan antar variabel independen dan dependen. Apabila dalam
penelitian ada variabel moderator dan intervening, maka juga perlu dijelaskan,
mengapa variabel itu ikut dilibatkan dalam penelitian. Pertautan antar variabel
tersebut, selanjutnya dirumuskan ke dalam bentuk paradigma penelitian. Oleh
karena itu, pada setiap penyusunan paradigma penelitian harus didasarkan pada
kerangka berfikir.
Sapto Haryoko dalam Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa kerangka
berfikir dalam suatu penelitian perlu dikemukakan apabila dalam penelitian
tersebut berkenaan dua variabel atau lebih. Apabila penelitian hanya membahas
sebuah variabel atau lebih secara mandiri, maka yang dilakukan peneliti
disamping mengemukakan deskripsi teoritis untuk masing-masing variabel, juga
argumentasi terhadap variasi besaran variabel yang diteliti.
F.
HIPOTESIS
1.
Pengertian Hipotesis
Hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana
rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori
yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban
teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik dengan
data (Sugiyono, 2013).
Menurut
Emmy dalam Ghony dan Almansur (2009), hipotesis merupakan pertanyaan logis yang
menjadi dasar untuk menarik suatu kesimpulan sementara, atau proses berfikir
deduksi mengenai hubungan antar variabel yang diteliti dan dengan proses
berfikir deduksi dan induksi yang selalu saling melengkapi dalam prosedur
keilmuan.
Dari
penjelasan tersebut apa yang harus dilakukan oleh peneliti, maksud maupun dari
tujuannya tak lain untuk menentukan suatu konsep yang tepat dan benar
menuju ketaraf mencari hubungan antara
gejala dan fakta. Sebab hipotesis merupakan suatu kebenaran sementara yang
dapat diubah atau diganti dengan yang lebih tepat dan lebih representatif
(Ghony dan Almansur, 2009).
Penelitian
yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan
kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, tidak dirumuskan hipotesis, tetapi
justru diharapkan dapat ditemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis tersebut
akan diuji oleh peneliti dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
2.
Bentuk-bentuk Hipotesis
Bentuk-bentuk hipotesis penelitian
sangat terkait dengan rumusan masalah penelitian. Apabila dilihat dari tingkat
eksplanasinya, maka bentuk hipotesis penelitian sama dengan bentuk rumusan
masalah penelitian (Sugiyono, 2013), yaitu:
a.
Hipotesis
Deskriptif
Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah
deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri.
b.
Hipotesis
Komparatif
Hipotesis komparatif merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah komparatif. Pada rumusan ini variabelnya sama tetapi populasi atau
sampelnya yang berbeda, atau keadaan itu terjadi pada waktu yang berbeda.
c.
Hipotesis
Asosiatif
Hipotesis asosiatif adalah jawaban sementara terhadap rumusan
masalah asosiatif, yaitu yang menanyakan hubungan antara dua variabel atau
lebih.
Adapun jenis atau macam hipotesis
dalam penelitian menurut Ghony dan Almansur (2009), yaitu:
a.
Hipotesis
null atau nihil, adalah hipotesis yang mengandung pernyataan negatif yakni
menyatakan tidak adanya hubungan, tidak adanya pengaruh antara variabel yang
satu dengan yang lain.
b.
Hipotesis
kerja atau hipotesis alternatif, adalah hipotesis yang mengandung pernyataan
positif yakni menyatakan adanya hubungan, adanya pengaruh antara variabel yang
satu dengan yang lain.
3.
Karakteristik Hipotesis
Terdapat
tiga karakteristik hipotesis yang baik (Sugiyono, 2013), yaitu:
a.
Merupakan
dugaan terhadap keadaan variabel mandiri, perbandingan keadaan variabel pada
berbagai sampel, dan merupakan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau
lebih.
b.
Dinyatakan
dalam kalimat yang jelas, sehingga tidak menimbulkan berbagai penafsiran.
c.
Dapat
diuji dengan data yang dikumpulkan dengan metode-metode ilmiah.
4.
Merumuskan Hipotesis Penelitian
Menurut Ary dalam Ghony dan Almansur
(2009), menyatakan bahwa dalam perumusan hipotesis seorang peneliti harus
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
a.
Hipotesis
yang baik menunjukkan bahwa peneliti mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup
dalam kaitannya dengan permasalahan.
b.
Hipotesis
yang baik dapat memberikan arah dan petunjuk tentang pengambilan dan proses
interprestasinya.
G.
DESAIN EKSPERIMEN
Desain
eksperimen adalah kerangka konseptual pelaksanaan eksperimen. Suatu desain
mempunyai dua fungsi (Furchan, 2004), yaitu:
1.
Menciptakan
kondisi bagi perbandingan yang diperlukan oleh hipotesis eksperimen, dan
2.
Melalui
analisis data secara stastistik, memungkinkan peneliti melakukan tafsiran yang
berarti mengenai hasil penelitaian.
Wiersma dalam Emzir (2007) mengemukakan sejumlah kriteria untuk
suatu desain penelitian eksperimental yang baik, antara lain:
1.
Kontrol
eksperimental yang memadai
2.
Kekurangan
artifisialitas
3.
Dasar
untuk perbandingan
4.
Informasi
yang memadai dari data
5.
Data
yang tidak terkontaminasi
6.
Tidak
mencampurkan variabel yang relevan
7.
Keterwakilan
8.
kecermatan
Menurut Arifin (2012), ada beberapa jenis desain penelitian
eksperimental, yaitu:
1.
Pra
Eksperimen (pre experimental)
Kelompok
ini hampir sama dengan eksperimen, tetapi bukan eksperimen, karena tidak ada
penyamaan karakteristik atau random dan tidak ada variabel kontrol. Fraenkel
dan Norman dalam Arifin (2012) menyebutnya sebagai eksperimen lemah (weak experimental),
karena dianggap eksperimen paling lemah. Jenis eksperimen ini hanya digunakan
untuk penelitian latihan, bukan untuk penelitian akademik, penelitian
kebijakan, pengembangan ilmu atau sejenisnya. Desain ini terdiri dari studi
kasus satu tembakan (one-shot case study), satu kelompok prates-postes
(one-group pretest-posttest design), dan perbandingan kelompok lengkap (intact-group
comparison).
2.
Eksperimen
Murni (true experimental)
Kelompok
ini menguji variabel bebas dan variabel terikat yang dilakukan terhadap sampel
kelompok kontrol. Sampel dari kedua kelompok tersebut diambil secara acak.
Sampel acak bisa diambil jika subjek-subjek tersebut memiliki ciri yang sama
atau dibuat sama atau disamakan, sehingga harus dilakukan pengujian. Jika tidak
bisa diuji, maka karakteristik kesamaan itu harus dibangun berdasarkan asumsi
yang kuat dari peneliti. Disain eksperimen murni mempunyai tiga karakteristik,
yaitu adanya kelompok kontrol, subjek ditarik secara random dan ditandai untuk
masing-masing kelompok, serta sebuah tes awal diberikan untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok. Desain ini terdiri dari: the posttest-only group control
design, the pretest-posttest control group design, dan the solomon
four-group design.
3.
Eksperimen
Kuasi (quasi experimental)
Eksperimen
ini disebut juga eksperimen semu. Tujuannya adalah untuk memprediksi keadaan
yang dapat dicapai melalui eksperimen yang sebenarnya, tetapi tidak ada
pengontrolan dan/atau manipulasi terhadap seluruh variabel yang relevan.
Eksperimen
kuasi banyak digunakan dalam penelitian pendidikan dengan desain pre-test
post-test, karena variabel-variabelnya banyak yang tidak bisa diamati, seperti
kematangan, efek pengujian, regresi statistik, dan adaptasi. Begitu juga
penelitian mengenai masalah-masalah sosial, seperti kenakalan, keresahan,
merokok, jumlah penderita penyakit jantung, yang mana kontrol dan manipulasi
tidak selalu dapat dilaksanakan. Desain ini terdiri dari: the nonequivalent
control group design, the time series design, conterbalanced design,
dan factorial design.
4.
Eksperimen
Subjek-Tunggal (single-subject experimental)
Eksperimen
subjek-tunggal adalah suatu eksperimen di mana subjek atau pertisipasinya
bersifat tunggal, bisa satu orang, dua orang, atau lebih. Hasil eksperimen disajikan
dan dianalisis berdasarkan subjek secara individual. Prinsip dasar eksperimen
subjek tunggal adalah meneliti individu dalam dua kondisi, yaitu tanpa
perlakuan dan dengan perlakuan. Pengaruh terhadap variabel akibat diukur dalam
kedua kondisi tersebut. Penelitian ini sangat berguna bagi guru yang sedang
melaksanakan penelitian terhadap individual peserta didik. Misalnya, dalam
melakukan penelitian bimbingan dan konseling atau dalam melakukan rehabilitasi
dan terapi fisik yang perlakuannya hanya diberikan pada satu individu. Desain single-subject
umumnya menggunakan pengukuran yang berulang dan hanya mengimplementasikan
variabel bebas tunggal yang diharapkan dapat mengubah hanya satu variabel
terikat. Pengukuran variabel dilakukan pada kondisi normal yang disebut baseline.
H.
VARIABEL
1.
Pengertian Variabel
Menurut
effendi dalam Ghony dan Almansur (2009), variabel dalam penelitian ilmiah
adalah faktor yang selalu berubah-ubah, atau suatu konsep yang mempunyai
variasi nilai, sedangkan menurut Ary dalam Ghony dan Almansur (2009), variabel
dikenal sebagai suatu atribut yang dianggap mencerminkan atau mengungkapkan
konsep atau konstruksi dalam penelitian. Seperti halnya konsep badan bukan
variabel, karena badan tidak mengandung pengertian dan nilai yang bervariasi.
Variabel itu mengandung nilai- nilai yang berbeda, sedangkan tinggi badan dan
berat badan termasuk dalam kategori variabel, karena mempunyai sebuah nilai.
2.
Jenis Variabel Penelitian
Menurut
Ghony dan Almansur (2009), variabel dapat dibedakan menjadi 7, yaitu :
a.
Independent Variabel dan Dependent Variabel
Variabel ini penting diketahui
peneliti bila mengetahui analisis sosiologik yang berkaitan dengan hubungan asimetrik.
Dalam hubungan ini variabel independen dianggap memberi landasan untuk variabel
dependen. Hubungan antara variabel independen dan dependen tidak perlu
merupakan sesuatu hubungan sebab (causation). Sebagai pedoman praktis dalam
menentukan variabel independen yakni dengan menentukan sifat mudah tidaknya
variabel tersebut berubah atau diubah. Misalnya variabel sex, ras urutan
kelahiran dapat dipandang tetap dan tergolong variabel independen. Sebab dalam
keadaan tertentu variabel seperti nasionalitas, agama, kelas sosial, dan dapat
juga dikelompokkan pada variabel independen. Selanjutnya bila dibuat dalam
suatu fungsi: Y-F(X), di mana variabel X disebut variabel independen, dan Y
adalah variabel dependen. Ada kemungkinan bahwa hanya ada satu nilai Y tertentu
berkaitan dengan tiap nilai X, sedangkan variabel Y adalah merupakan suatu
fungsi dari X yang bernilai tunggal. Bilamana memiliki nilai lebih dari satu
nilai Y yang berkaitan dengan nilai X, sedangkan variabel Y adalah suatu fungsi
yang bernilai multiple dari X, di mana suatu fungsi dapat meliputi lebih
dari dua variabel, seperti misalnya Z = F (X, Y).
b.
Extraneous Variabel
Variabel ini merupakan variabel tambahan yang kadang-kadang perlu
ditinjau ulang untuk menjelaskan dan memahami sesuatu hubungan antara variabel
yang sudah ada. Kadang-kadang variabel extraneous ini ditambahkan oleh
peneliti sebagai “tes faktor” untuk membantu suatu analisis antara dua faktor
lain. Sebagi conoh dalam analisis hubungan jumlah nelayan dengan jumlah ikan
yang ditangkap. Maka kebenaran hubungan ini dapat diuji terhadap variabel extraneous
seperti iklim, modernisasi, alat penangkap yang digunakan nelayan, dan
sebagainya.
c.
Variabel
komponen
Variabel komponen adalah variabel yang merupakan sub bagian atau
komponen dari variabel yang dimaksud dalam penelitian. Biasanya uraian
penjelasan variabel komponen tersebut menyangkut variabel independen. Misalnya,
banyak sedikitnya perceraian dikalangan petani didaerah tertentu pada setiap
musim panen, bukan disebabkan karena faktor “panen” yang merupakan konsep umum,
tetapi berkaitan dengan komponen konsep “panen” itu seperti: panen jenis, hasil
bumi tertentu, atau ketetapan waktu panen, dan seterusnya.
d.
Intervening Variabel
Variabel ini merupakan variabel yang perlu memperoleh perhatian,
sebab dalam variabel ini ada unsu-unsur yang ikut campur tangan dalam hubungan
dengan variabel yang sedang diteliti. Adanya variabel “intervening” akan
dapat diduga bila dalam hubungan antara variabel yang sedang diteliti tidak
memperhatikan pola yang sama pada kesempatan atau lokasi yang berlainan.
Misalnya kerajianan murid dengan prestasi hasil belajar siswa, sedang variabel
interveningnya antara lain: kesehatan, keadaan rumah tangga siswa, beban
keluarga siswa dan sebagainya.
e.
Tresendent
Variabel
Di mana variabel intervening yang telah diungkapkan
diatas dan variabel antisendent ini
memiliki peranan yang serupa, hanya pertama tempatnya diantara variabel-variabel
independen dan dependen. Sedangkan variabel anticendent mendahului
variabel independen dan dependen.
f.
Supresor
Variabel
Dalam hal ini kadang-kadang hubungan antara variabel yang sedang
diteliti ternyata tidak ada, atau hubungan lemah bukan karena memang demikian
adanya tetapi disebakan karena sesuatu variabel yang melemahkan hubungan
tersebut. Variabel yang demikian itu dalam peneltian disebur supresor. Variabel
ini penting dalam suatu tindakan analisis untuk menguji suatu hipotesis, sehingga
hipotesis itu bisa ditolak atas dasar hubungan variabel yang lemah, sedangkan
variabel supresor itu ditemukan maka hubungan yang dicari tersebut ternyata
cukup kuat. Misalnya, dalam penelitian pembuktian bahwasannya IQ seseorang
tidak bergantung pada ketentuan keturunan atau ras. Berbagai peneliti
membuktikan ternyata hasilnya terjadi sebaliknya, yang menekan hubungan yang
tidak ada sehingga menjadi ada hubungan tak lain adalah faktor ekonomi dari pihak
responden berbagai ras keturunan yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, serta
ethnosentrisitas berbagai tes IQ yang diadakan.
g.
Variabel
yang Menyebabkan Distorsi
Di mana adanya variabel ini menyebabkan seseorang peneliti membuat
kesimpulan yang berupa sebaliknya dari apa yang seharusnya atau yang sebenarnya
terjadi. Misalnya, di dalam lembaga permasyarakatan Cipinang Jakarta Timur
kebanyakan narapidana adalah penduduk dari luar daerah DKI. Kesimpulan yang
dapat antara asal narapidana dan tingkat atau jenis kriminalitas adalah bahwa
penduduk diluar DKI memiliki kecenderungan berbuat tindakan kriminal yang lebih
dibandingkan dengan penduduk di wilayah DKI sendiri.
Bila variabel distorsi yang dalam kenyataanya menyatakan bahwa
kegiatan tindakan pidana kriminal itu dilakukan oleh adanya variabel
pengangguran dari responden pendatang, maka tindak pidana kriminal itu
dilakukan oleh adanya variabel penganguran dari responden pendatang, maka
tindak pidana kriminal di DKI yang tergolong penganguran dan pendatang baru
juga tidak kalah tingginya.
I. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Setelah
variabel-variabel itu diidentifikasi dan diklasifikasi, pekerjaan peneliti
berikutnya adalah mendefinisikan variabel-variabel itu yang lebih operasional.
Artinya, batasan yang memiliki sifat memudahkan peneliti untuk melakukan
pengamatan terhadap data yang dikumpulkan berdasarkan jenis variabel tersebut
(Setyosari, 2010).
Menurut
Arifin (2012), definisi operasional adalah definisi khusus yang didasarkan atas
sifat-sifat yang didefinisikan, dapat diamati dan dilaksanakan oleh peneliti
lain. Definisi operasional merupakan cara yang paling efektif bagi peneliti
untuk melakukan pengumpulan data penelitiannya. Ada beberapa cara
mendefinisikan variabel, yaitu ada yang menitikberatkan pada segi
kegiatan-kegiatan (operasi) apa yang harus dilakukan, dan ada yang menekankan
sifat-sifat statis (konseptual) tentang hal yang didefinisikan. Biasanya dalam
merumuskan batasan operasional variabel itu disertai atau ditunjukkan pula cara
atau alat (instrumen) pengumpul data yang digunakan (Setyosari, 2010).
J.
POPULASI
Populasi adalah target seluruh orang atau objek yang akan menjadi
sasaran kesimpulan penelitian. Dalam penelitian, populasi ini dibedakan antara
populasi secara umum dsan populasi target. Populasi target adalah populasi yang
menjadi sasaran keberlakuan kesimpulan penelitian kita. Populasi umum
penelitian mungkin seluruh guru SMA Negri di Jawa Barat, tetapi populasi
targetnya adalah seluruh guru IPA SMA negri di Jawa Barat. Hasil Penelitian
kita tidak berlaku untuk guru- guru selain guru negri dan harus guru IPA (Ghony
dan Almansur, 2009).
K.
SAMPEL
1.
Pengertian Sampel
Sampel
adalah kelompok kecil yang secara nyata kita teliti dan tarik kesimpulan. Dalam
penentuan sampel langkah awal yang harus ditempuh adalah pembatasan jenis
populasi, atau menentukan populasi target. Selain berdasarkan jenisnya
populasi, sampel juga dapat dibatasi dalam area atau dalam wilayah, entah itu
perkotaan, pedesaan dst. (Sukmadinata, 2012).
Semakin
banyak jumlah sampel penelitian diambil akan semakin representatif, artinya
akan semakian mendekati populasi yang diperoleh peneliti. Namun, apabila
populasi penelitiannya homogen sempurna maka besar kecilnya sampel tidak ada
dampaknya. Untuk pengambilan sampel penelitian yang representatif perlu
dipahami dan diperhatikan juga daerah generalisasinya, dimana peneliti terlebih
dahulu menetapkan luas populasi penelitiannya sebagai daerah generalisasi baru
kemudian menentukan sampelnya sebagai daerah penelitian. Disamping itu peneliti
harus menentukan terlebih dahulu luas dan sifat- sifat populasi, memberikan
batas-batas yang tegas, baru kemudian menetapkan sampel penelitiannya. Begitu
pula harus dipertimbangkan secara cermat terutama dalam mengguanakan sumber-sumber
informasi dari segi validitas dari apa yang dimuat didalamnya. Pentimg untuk
diketahui oleh peneliti waktu dibuatnya dokumen tersebut, bagaimana data yang
dikumpulkan dan bagaimana pula data itu diklasifikasikan dan dianalisis. Suatu
hal yang sangat penting untuk memperoleh perhatian dari peneliti dalam
menentukan besar kecilnya sampel penelitian adalah homogenitas populasi. Jika
keadaan populasi homogen, jumlah sampel penelitian hampir tidak menjadi
persoalan. Akan tetapi jika keadaan populasi homogen, maka peneliti dalam
menetapkan sampel penelitiannya harus memiliki kategori- kategori
heterogenitas, dan besarnya populasi dalam tiap-tiap kategori tersebut (Ghony
dan Almansur, 2009).
2.
Teknik Sampel
Menurut Ghony dan Almansur (2009), terdapat dua macam teknik
sampel, yaitu:
a.
Teknik
Random Sampling
Teknik random sampling adalah pengambilan sampel secara sembarang
atau acak. Teknik ini bukanlah suatu cara sembarangan sebagaimana pendapat
peneliti yang belum memahami dasar-dasar penelitian yang utuh. Sebab
pengambilan sempel secara random bertitik tolak pada prinsip-prinsip matematik
yang kokoh karena telah diuji dalam praktik. Hingga sekarang, teknik ini
dianggap paling representatif dalam penelitian pendidikan. Dalam teknik random
sampling semua individu dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk
dipilih menjadi anggota sampel penelitian. Oleh karena itu, tidak ada alasan
untuk menganggap teknik random sampling sebagai sempel penelitian yang
menyimpang. Adapun cara atau prosedur yang digunakan untuk random sampling,
yaitu:
1)
Cara
Undian
Cara
ini dilakukan seperti halnya melakukan undian. Semua anggota populasi diberi
nomor, nama, alamat, ditulis dalam kertas gulung kecil dan dimasukkan dalam
kotak. Kertas yang digulung dalam kotak. Kertas yang digulung dalam kotak
tersebut dikokcok-kocok lalu diambil satu persatu sesuai dengan kebutuhan
sampel yang telah ditetapkan besarannya. Setelah jumlah sampel tersebut
terpenuhi, maka pengambilan gulungan kertas dalam kotak tersebut dihentikan.
Siapa-siapapun yang tercantum namanya dalam gulungan kertas yang diambil dari
kotak itu adalah sebagai sempelnya.
2)
Cara
Oridinal
Cara
ini diselenggarakan dengan mengambil subyek dari atas kebawah setelah subyek
populasi tersebut disusun secara alfabetis. Ini dilakukan dengan cara
alfabetis, yaitu dengan cara mengambil mereka-mereka yang telah disusun
tersebut yang memiliki nomor urut ganjil atau genap, atau yang memiliki nomor
kelipatan ganjil, ataupun genap dari suatu daftar subyek yang telah disusun
tersebut.
3)
Cara Randomisasi dan Tabel Bilangan Random
Diantara
kegiatan prosedur itu, cara ketiga ini yang banyak digunakan oleh para
peneliti, sebab selain prosedurnya yang sederhana, juga kemungkinan penyimpangan
juga dapat diperkecil dan dihindari semaksimal mungkin. Tabel bilangan random
umumnya terdapat pada buku-buku statistik.
b.
Teknik
Non Random Sampling
Semua sampling yang dilakukan bukan dengan teknik random sampling
disebut non random sampling. Dalam sampling ini tidak semua individu dalam
populasi diberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel.
Indisental sampling misalnya, hanya individu-individu atau kelompok-kelompok
yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saat yang diteliti. Jenis
penelitian dari non random dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Proposional
Sampel, dalam hal ini sampel yang terdiri dari sub sampel yang perimbangannya
mengikuti perimbangan sub populasi yang sedang diteliti. Proposional sampling
mungkin menggunakan randomisasi, mungkin tidak. Jika proposional sampling
menggunakan randomisasi, maka sampling ini disebut proportional random
sampling. Dalam propotional random sampling ini besar kecilnya sub
sampel mengikuti perbandingan (proporsi) besar kecilnya sub populasi, dan individu
yang ditugaskan dalam tiap-tiap sub populasi diambil secara random dan sub
populasi.
2)
Stratified
Sampel, di mana sampel jenis ini bisa digunakan jika populasi terdiri dari
kelompok yang memiliki susunan bertingkat. Dalam banyak penelitian, peneliti
tidak menghadapi suatu populasi yang menunjukan adanya strata (lapisan). Di
lembaga sekolah sekolah misalnya, terdapat beberapa tingkat kelas, begitu juga
dalam masyarakat terdapat bertingkat-bertingkat penghasilan. Sampling yang
memperhatikan stratum dalam populasi disebut dengan stratified sampling.
Jika stratified sampling itu memperhatikan pertimbangan atau proporsi dari pada
individu dalam tiap-tiap stratum maka disebut proportional stratified
sampling. Selanjutnya propotional stratified sampling yang menggunakan
randomisasi dinamakan proportional stratified random sampling.
3)
Porposive
Sampel, dalam sampel ini pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri
atau sifat tertentu yang dipandang memiliki sangkut paut yang erat ciri-ciri
atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
4)
Quota
Sampel, berbeda dengan sampel sebelumnya seperti purposive sampling yang
paling sering digunakan untuk menyelidiki pendapat masyarakat atas dasar quota.
Meskipun tidak semua purposive sampling adalah quota sampling. Apabila dasar
quota digunakan yang paling penting adalah jumlah subyek yang akan diteliti
haruslah ditetapkan terlebih dahulu besarannya sebagai sampel penelitian.
5)
Double
Sampel, biasa juga disebut dengan sampel kembar. Sampel ini sangat baik dan
tetap digunakan manakala untuk penelitian yang menggunakan angket sebagai alat
pengempulan data dengan pengiriman lewat pos sekaligus sebagai usaha
penampungan bagi mereka yang tidak mengembalikan daftar angket yang telah
dikirimkan pada mereka sasaran penelitian. Mereka yang telah mengembalikan
daftar angket dimasukkan dalam sampel pertama, dan mereka yang tidak
mengembalikan daftar angket dimasukkan kedalam sampel kedua ini, karena tidak
dapat diperoleh dengan jalan angket, kemudian dapat dicapai dengan jalan
interview. Sampling kembar ini juga kerapkali digunakan untuk keperluan
pengecekan (cross validation).
6)
Areaprobability
Sampel, di mana sampel penelitian jenis ini membagi-bagi daerah populasi
kedalam sub-sub daerah tersebut dibagi-bagi lagi kedalam daerah- daerah yang
lebih kecil, dan jika diperlukan daerah-daerah kecil lagi.
7)
Cluster
Sampel, di mana dalam proporsi yang lebih kecil lagi dari kelompok sampling,
mempunyai kesamaan hakikat dengan aeroprobality sampling tersebut di
atas. Dalam cluster sampling satuan-satuan sampel tidak lagi terdiri
atas kelompok-kelompok individu atau biasa disebut cluster. Dalam
peneitian ekonomis karena observasi yang dilakukan dalam rangka pengumpulan
data terhadap sampel tersebut adalah lebih mudah dan lebih murah daripada
observasi- observasi terhadap sejumlah individu yang sama, tetapi tempatnya
terpencar-pencar.
8)
Petala
Sampel, di mana peneliti menetapkan sampel jenis ini bila keadaan populasi
penelitian heterogen, dan biasanya akan lebih baik dibuat menjadi beberapa
satrum atau petala atau lapisan. Pembuatan petala atau lapisan ditentukan
berdasarkan karakteristik tertentu sedemikian sehingga petala atau lapisan
menjadi homogen. Dari petala atau lapisan lalu diambil sampelnya secara random
terhadap anggota yang diperlukan, atau dapat juga dengan cara lain yaitu
dilakukan secara randomisasi di dalam setiap petala atau lapisan. Apabila
pengambilan anggota sampel dari tiap petala atau lapisan tidak secara random,
tetapi dilakuakan dengan cara lain, maka terjadilah sampling kuota. Disamping
itu, sampling petala biasanya diperbaiki lagi dengan menggunakan cara proposional.
Dengan cara ini dimaksudkan bahwa banyak anggota dari setiap petala atau
lapisan secara sebanding dengan ukuran tiap petala atau lapisan.
9)
Sampling
Sistematik, di mana dalam sampling sistematik ini anggota sampel diambil dari
populasi pada jarak interval waktu, ruang, ataupun urutan yang uniform. Jika
populasi penelitiannya berukuran N dan sampelnya beranggotakan n, maka jarak
interval besarnya (N:n). Dengan demikian, diperoleh n buah interval dan dari
tiap interval diambil sebuah anggota. Pengambilan anggota pertama yang ada di
dalam interal pertama dilakukan secara random, sedangkan angota-anggota
selanjutnya diambil pada jarak setiap (N:n).
10)
Sampling
Multipel, merupakan perluasan dari sampling ganda. Pengambilan anggota sampelnya dilakukan lebih dari dua
kali dan tiap kali digabungkan menjadi sebuah sampel. Pada tiap gabungan,
analisis dilakukan lalu kesimpulan diadakakan dan sampling berhenti dan apabila
hasilnya telah memenuhi kriteria yang telah direncanakan. Untuk
menggunakan sampling multipel, maka
peneliti harus merencanakan sampling penelitian yang baik. Ini semua termasuk
cara-cara sampling yang lainnya dalam penelitian terutama dalam statistik yang
disebut teknik sampling.
11)
Sampling
Sekwensial, di mana sampling ini sebenarnya juga merupakan sampling multipel.
Perbedaannya ialah dalam sampling
sekwensial tiap anggota sampel diambil satu demi satu dan pada tiap kali
selesai mengambil anggota sampel, analisis dilakukan lalu berdasarkan ini kesimpulan diadakan apakah sampling
berhenti ataukah dilanjutkan. Tentu saja setiap anggota yang diambil disatukan
dengan anggota-anggota yang diambil terlebih dahulu sebelum kesimpulan diadakan
pada tingkatan ini.
L.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Menurut Sukmadinata (2012), ada beberapa teknik dalam pengumpulan
data, yaitu:
1.
Wawancara
(interview)
Wawancara
merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam
penelitian deskriptif kualitatif maupun deskriptif kuantitatif. Wawancara
dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual. Namun,
wawancara juga dapat dilakukan secara berkelompok, apabila penelitian tersebut
bertujuan untuk menghimpun data dari kelompok, seperti wawancara dengan satu
keluarga, pengurus yayasan, dan sebagainya.
2.
Angket
(Kuesioner)
Angket
merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung, atau
dengan kata lain peneliti tidak secara langsung melakukan tanya jawab dengan
responden. Instrumen atau alat pengumpulan datanya berupa angket yang berisi sejumlah
pertanyaan yang harus dijawab oleh responden.
3.
Pengamatan
(Observasi)
Pengamatan
merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan cara mengadakan
pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Kegiatan tersebut dapat
berupa cara guru mengajar, siswa belajar, dan sebagainya. Observasi dapat
dilakukan secara partisipatif ataupun nonpartisipatif. Dalam observasi
parsitipatif, pengamat ikut serta dalam kegiatan yang sedang berlangsung,
sedangkan dalam observasi non parsitipatif, pengamat tidak ikut serta dalam
kegiatan, akan tetapi pengamat hanya mengamati kegiatan yang sedang
berlangsung.
4.
Studi
Dokumenter
Studi
dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan
menganalisis dokumen-dokumen, baik secara tertulis, gambar, maupun elektronik.
Dokumen-dokumen yang dihimpun, dipilih sesuai dengan tujuan dan fokus masalah.
Selain itu, dokumen-dokumen tersebut diurutkan sesuai dengan sejarah kelahiran,
kekuatan, dan kesesuaian isinya dengan tujuan pengkajian. Isinya dianalisis,
dibandingkan, dan dipadukan membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu,
dan utuh.
M.
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
Menurut Sukmadinata (2012), instrumen pengumpulan data secara umum
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tes dan skala.
1.
Tes
Pada
umumnya tes bersifat mengukur, walaupun beberapa bentuk tes psikologis terutama
tes kepribadian banyak yang bersifat deskriptif, akan tetapi deskripsinya
mengarah kepada karakteristik atau kualifikasi tertentu, sehingga mirip dengan
interpretasi dari hasil pengukuran. Tes yang sering digunakan dalam pendidikan
anatara lain: tes hasil belajar dan tes psikologis.
a.
Tes
hasil belajar
Tes hasil belajar merupakan tes yang mengukur hasil belajar yang
dicapai peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Menurut waktunya, dibedakan
menjadi rentang satu pertemuan (tes akhir pertemuan), satu pokok bahasan (tes
akhir pokok bahasan), satu minggu (tes mingguan), setengah semester, satu
semester, dan satu jenjang pendidikan (ujian akhir).
Menurut materi yang diukur, tes hasil belajar dibedakan berdasarkan
nama mata pelajaran yang dipelajari, yaitu matematika, kimia, biologi, dan
sebagainya. Sedangkan menurut tujuan atau fungsinya, tes hasil belajar
dibedakan menjadi, tes diagostik, penempatan, formatif, dan sumatif.
b.
Tes
psikologis
Tes psikologis digunakan untuk mengukur atau mengetahui kecakapan
potensial dan karakteristik pribadi dari peserta didik. Kecakapan potensial dan
kecakapan hasil belajar peserta didik dapat diukur dengan menggunakan tes, akan
tetapi tes yang digunakan berbeda. Di mana untuk mengukur kecakapan potensial
digunakan tes standar, sedangkan untuk mengukur hasil belajar digunakan tes
buatan atau tes yang tidak distandarisasikan.
Aspek-aspek kepribadian ada yang bersifat mengukur dan ada juga
yang bersifat mendeskripsikan. Instrumen penilaian kepribadian yang bersifat
mengukur biasanya disusun dalam bentuk skala, skala sikap, minat, motivasi, dan
sebagainya, sedangkan yang tidak bersifat mengukur dikategorikan sebagai
inventori.
2.
Skala
Skala
merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat mengukur, karena diperoleh
hasil ukur yang berbentuk angka. Skala berbeda dengan tes, jika tes terdiri
dari jawaban salah atau benar, skala tidak ada jawaban salah atau benar, tetapi
jawaban atau respon dari responden terletak dalam suatu rentang (skala)
tertentu. Titik pada rentang yang dipilih menunjukkan posisi responden.
Menurut
Sukmadinata (2012), Ada lima macam skala, yaitu:
a.
Skala
deskriptif
Skala deskriptif merupakan skala yang mengikuti bentuk skala sikap
dari Likert, yaitu berupa pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berbentuk
skala persetujuan atau penolakan terhadap pertanyaan atau pernyataan tersebut.
Penerimaan atau penolakan dinyatak dalam persetujuan yang dimulai dari sangat
setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
b.
Skala
garis
Skala garis merupakan skala yang hampir sama denga skala
deskriptif, di mana respon dari responden tidak dalam bentuk persetujuan, akan
tetapi respon tersebut dapat bervariasi sesuai dengan rumusan pertanyaan atau
pernyataan. Respon atau jawaban dari responden tidak selalu seragam, akan
tetapi berbeda-beda sesuai dengan rumusan pertanyaan atau pernyataan. Meskipun
rumusan responnya berbeda-beda, tetapi jarak rentangnya sama.
c.
Skala
pilihan wajib
Skala ini biasanya digunakan untuk
mengukur minat. Skala ini berbentuk pernyataan yang diikuti oleh sejumlah
alternatif jawaban atau respon yang berkenaan dengan minat, minat bekerja,
belajar, dan sebagainya. Alternatif jawaban harus ganjil, biasanya tiga atau
lima pilihan. Dalam skala ini, responden wajib memilih satu jawaban yang paling
disukai dan satu jawaban yang paling tidak disukai.
d.
Skala
pembandingan pasangan
Skala ini biasanya digunakan untuk
mengukur persepsi, penilaian atau minat terhadap sesuatu objek yang berbentuk
kegiatan, institusi, organisasi, dan sebagainya. Pengukuran minat dilakukan
dengan membandingkan dua atau lebih dari dua objek, di mana objek yang
dibandingkan tersebut hendaknya seimbang.
e.
Daftar
cek
Daftar cek merupakan bentuk skala
yang berisi sejumlah pernyataan singkat yang harus direspon dengan memberi
tanda cek. Penggunaan daftar cek sangat luas, yaitu untuk mengukur pendapat,
persepsi, kegiatan, kebiasaan, pengalaman, dan pengidentifikasian sesuatu.
N.
CIRI-CIRI INSTRUMEN YANG BAIK
Menurut Uliana dalam artikel pendidikan disebutkan
bahwa, sebuah instrumen evaluasi hasil belajar hendaknya memenuhi syarat
sebelum di gunakan untuk mengevaluasi atau mengadakan penilaian agar terhindar
dari kesalahan dan hasil yang tidak valid (tidak sesuai kenyataan sebenarnya).
Alat evaluasi yang kurang baik dapat mengakibatkan hasil penilaian menjadi bias
atau tidak sesuainya hasil penilaian dengan kenyataan yang sebenarnya, seperti
contoh anak yang pintar dinilai tidak mampu atau sebaliknya (http://stahdnj.ac.id/?p=67).
Jika terjadi demikian perlu ditanyakan apakah persyaratan instrumen yang
digunakan menilai sudah sesuai dengan kaidah-kaidah penyusunan instrumen.
Instrumen Evaluasi yang baik memiliki ciri-ciri dan harus memenuhi beberapa
kaidah antara lain :
- Validitas
- Reliabilitas
- Objectivitas
- Pratikabilitas
- Ekomonis
- Taraf
Kesukaran
- Daya
Pembeda
1.
Validitas
Sebuah Instrumen Evaluasi dikatakan baik manakala memiliki validitas yang
tinggi. Yang dimaksud Validitas disini adalah kemampuan instrumen tersebut
mengukur apa yang seharusnya diukur. Ada tiga Aspek yang hendak dievaluasi
dalam evaluasi hasil belajar yaitu Aspek Kognitif, Psikomotor dan Afektif.Tinggi
Rendah nya validitas instrumen dapat di hitung dengan uji validitas dan di
nyatakan dengan koefisien validitas.
2.
Reliabilitas
Instrumen dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi manakala instrumen
tersebut dapta menghasilkan hasil pengukuran yang ajeg. Keajegan/ketetapn
disini tidak diartikan selalu sama tetapi mengikuti perubahan secara ajeg. Jika
keadaan seseorang si upik berada lebih rendah dibandingkan orang lain misalnya
si Badu, maka jika dilakukan pengukuran ulang hasilnya si upik juga berada
lebih rendah terhadap si badu. Tinggi rendahnya reliabilitas ini dapat di
hitung dengan uji reliabilitias dan dinyatakan dengan koefisien reliabilitas.
3.
Objectivitas
Instrumen evaluasi hendaknya terhindar dari pengaruh-pengaruh subyektifitas
pribadi dari si evaluator dalam menetapkan hasilnya. Dalam menekan pengaruh
subyektifitas yang tidak bisa dihindari hendaknya evaluasi dilakukan mengacu
kepada pedoman tertama menyangkut masalah kontinuitas dan komprehensif.
Evaluasi harus dilakukan secara kontinu (terus-menerus). Dengan evaluasi
yang berkali-kali dilakukan maka evaluator akan memperoleh gambaran yang lebih
jelas tentang keadaan Audience yang dinilai. Evaluasi yang diadakan
secara on the spot dan hanya satu atau dua kali, tidak akan dapat memberikan hasil
yang obyektif tentang keadaan audience yang di evaluasi. Faktor kebetulan akan
sangat mengganggu hasilnya.
4.
Praktikabilitas
Sebuah intrumen evaluasi dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi
apabila bersifat praktis mudah pengadministrasiannya dan memiliki ciri : Mudah
dilaksanakan, tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan
kepada audience mengerjakan yang dianggap mudah terlebih dahulu. Mudah
pemeriksaannya artinya dilengkapi pedoman skoring, kunci jawaban. Dilengkapi
petunjuk yang jelas sehingga dapat di laksanakan oleh orang lain.
5.
Ekonomis
Pelaksanaan evaluasi menggunakan instrumen tersebut tidak membutuhkan biaya
yang mahal tenaga yang banyak dan waktu yang lama.
6.
Taraf Kesukaran
Instrumen yang baik terdiri dari butir-butir instrumen yang tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sukar. Butir soal yang terlalu mudah tidak mampu
merangsang audience mempertinggi usaha memecahkannya sebaliknya kalau terlalu
sukar membuat audiece putus asa dan tidak memiliki semangat untuk mencoba lagi
karena diluar jangkauannya. Di dalam isitlah evaluasi index kesukaran ini
diberi simbul p yang dinyatakan dengan “Proporsi”.
7.
Daya Pembeda
Daya pembeda sebuah instrumen adalah kemampuan instrumen tersebut
membedakan antara audience yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan audience
yang tidak pandai (berkemampuan rendah). Indek daya pembeda ini disingkat
dengan D dan dinyatakan dengan Index Diskriminasi.
O.
VALIDITAS INSTRUMEN
1.
Pengertian Validitas
Menurut
Sudaryono (2012), validitas atau
keshahihan berasal dari kata validity yang
berarti sejauh mana ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan
fungsi ukurnya. Dengan kata lain, validitas adalah suatu konsep yang berkaitan
dengan sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur.
2.
Jenis Validitas
Menurut
Arifin (2012), dalam penelitian eksperimen terdapat dua jenis validitas jika
dilihat dari sumbernya, yaitu validitas internal dan validitas eksternal.
a.
Validitas
Internal
Validitas internal berkaitan dengan ketepatan mengidentifikasi
variabel eksperimen. Tujuan validitas ini adalah untuk menentukan apakah faktor-faktor
yang telah dimodifikasi benar-benar memberikan pengaruh pada latar eksperimen,
dan apakah variabel yang diobservasi benar-benar tidak dipengaruhi oleh
faktor-faktor luar (faktor-faktor yang tidak dikontrol). Apabila tujuan
tersebut tercapai, berarti validitas internal dalam penelitian eksperimental
sudah terpenuhi. Dengan kata lain, suatu eksperimen memiliki validitas internal
apabila faktor-faktor yang dimanipulasi (variabel bebas) berpengaruh terhadap
variabel terikat.
b.
Validitas
Eksternal
Tujuan kedua dari metode eksperimental adalah validitas eksternal.
Validitas ini menanyakan apakah hasil temuan penelitian sudah dapat dianggap
representatif dan dapat dipercaya? Dan apakah hasil temuan tersebut dapat
digeneralisasikan terhadap subjek atau kondisi yang sama dengan populasi yang
lebih besar? Jika suatu perlakuan dapat diterapkan pada kelas lain yang
memiliki subjek dan kondisi yang sama dengan hasil yang sama, berarti validitas
eksternalnya tinggi. Oleh karena itu, peneliti harus memahami teknik sampling
dan populasi yang baik. Kesalahan dalam menentukan populasi dan sampling
akan menyebabkan kesalahan di dalam penarikan kesimpulan.
3.
Jenis pengujian validitas tes hasil belajar
Menurut
Sudaryono (2012), Analisis terhadap tes hasil belajar dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu analisis dengan menggunakan jalan berpikir secara rasional atau
dengan menggunakan logika, dan analaisis yang dilakukan dengan mendasarkan diri
kepada kenyataan empiris.
Tes hasil belajar yang telah diuji secara rasional dan memiliki
daya ketepatan mengukur disebut tes hasil belajar yang telah memiliki validitas
logika (logical validity). Validitas
rasional merupakan validitas yang diperoleh atas dasar hasil pemikiran, yaitu
validitas yang diperoleh dengan pemikiran yang logis. Validitas suatu tes dapat
ditentukan melalui dua segi, yaitu dari segi isi (content) dan dari segi susunan atau konstruksinya (construct).
1)
Validitas
Isi (Content Validity)
Validitas
isi adalah derajat di mana sebuah tes evaluasi mengukur cakupan substansi yang
ingin diukur. Dua aspek penting yang sangatt penting untuk memeperoleh
validitas isi yaitu, valid isi dan valid teknik sampling. Valid isi mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan item-item evaluasi menggambarkan
pengukuran dalam cakupan yang diukur, sedangkan validitas teknik sampling
berkaitan dengan kemampuan suatu sampel item tes mempresentasikan total cakupan
isi (Sukardi, 2008).
2)
Validitas
konstruk (Construct Validity)
Suatu
tes evaluasi dapat dinyatakan sebagai tes yang telah memiliki validitas
konstruksi, apabila tes evaluasi tersebut ditinjau dari segi susunan, kerangka
atau rekaanya telah dapat dengan secara tepat mencerminkan suatu konstruksi
dalam teori psikologis. Konstruksi dalam teori psikologis ini menjelaskan bahwa
jiwa seorang peserta didik dapat dirinci ke dalam beberapa aspek. Benjamin S
Bloom misalnya, merincinya dalam tiga aspek kejiwaan, yaitu aspek kognitif (cognitive domain), aspek afektif (affective domain), dan aspek
psikomotorik (psychomotoric domain)
(Sudaryono, 2012).
b. Pengujian Validitas Tes Secara Empirik
Menurut Mulyono dalam Sudaryono (2012),
validitas empiris atau validitas karena suatu tes atau instrumen ditentukan
berdasarkan data hasil ukur instrumen yang bersangkutan, baik melaalui uji coba
maupun melalui tes atas pengukuran yang sesungguhnya. Validitas empiris
diartikan sebagai validitas yang ditentukan berdasarkan kriteria, baik kriteria
internal maupun kriteria eksternal. Kriteria internal adalah tes itu sendiri
yang menjadi kriteria, sedangkan kriteria eksternal adalah hasil ukur tes lain
di luar tes itu sendiri. Dengan kata lain, validitas empiris adalah validitas
yang bersumber pada atau diperoleh atas dasar pengamatan di lapangan.
Validitas empiris menurut Sukardi (2008), dapat dilakukan melalui
dua segi, yaitu segi daya ketepatan meramalnya (predictive validity) dan daya ketepatan bandingannya (concurrent validity).
1)
Validitas Prediksi
Suatu
tes dikatakan memiliki predictive
validity jika hasil korelasi tes itu dapat meramalkan dengan tepat
keberhasilan seseorang pada masa mendatang di dalam lapangan tertentu. Tepat
tidaknya ramalan tersebut dapat dilihat dari korelasi koefesien antara hasil
tes itu dengan hasil alat ukur lain pada masa mendatang (Purwanto, 1984).
2)
Validitas
Bandingan
Jika
hasil suatu tes mempunyai korelasi yang tinggi dengan hasil suatu alat ukur
lain terhadap bidang yang sama pada waktu yang sama pula, maka dikatakan tes
itu memiliki concurrent validity.
Sementara itu, Sukardi menjelaskan bahwa tes dengan validitas konkuren biasanya
diadministrasi dalam waktu yang sama atau denga kriteria valid yang sudah ada
(Purwanto, 1984).
c.
DAYA BEDA BUTIR SOAL
Menurut Arikunto (2009: 211) dalam artikel Muhammad
Khotib daya beda soal adalah kemampuan sesuatu soal yang dapat membedakan
antara peserta didik yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan peserta didik
yang bodoh (berkemampuan rendah). Sedangkan menurut Surapranata (2004: 23)
indeks daya beda adalah kemampuan soal untuk membedakan antara peserta tes yang
berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah. Dari dua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa soal yang baik adalah soal yang dapat
membedakan peserta didik yang pintar dan peserta didik yang tidak pintar. Soal
digunakan oleh seorang evaluator untuk menguji kelompok yang diuji. Soal akan
berfungsi dengan baik jika dapat membedakan kemampuan orang-orang dalam
kelompok tersebut (http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/).
Rentang indeks daya beda adalah sampai .
Semakin tinggi nilai indeks daya beda semakin baik. Kelompok peserta didik yang
memperoleh nilai tinggi biasa disebut Kelompok Atas (KA) dan kelompok peserta
didik memperoleh nilai rendah disebut Kelompok Bawah (KB). Jika soal dijawab
oleh sebagian besar kelompok atas maka soal tersebut dikatakan baik, sebaliknya
jika soal banyak dijawab dengan benar oleh kelompok bawah maka soal tersebut dikatakan
jelek. Artinya soal harus dapat membedakan atau menguji dengan baik kelompok
atas dan kelompok bawah .
Sebuah butir soal dikatakan baik adalah butir soal yang mempunyai daya beda
0,40 sampai 1,00. Menurut Arikunto (2009: 213) dalam arikel Muhammdak Khotib perhitungan indeks daya beda butir
soal dapat menggunakan formula sebagai berikut (http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/):
Keterangan
D
= indeks diskriminasi butir,
BA
= jumlah kelompok atas yang menjawab benar,
BB
= jumlah kelompok bawah yang menjawab benar,
JA
= jumlah kelompok atas,
JB
= jumlah kelompok bawah ,
T = jumlah responden
seluruhnya.
Indeks daya beda soal digunakan dalam mengklasifikasi
kualitas soal. Menurut Crocker dan Algina dalam Depdiknas (2010: 13) dalam artikel Muhammad Khotib membedakan soal dalam empat
katagori soal, yaitu: soal diterima, soal diterima tapi perlu diperbaiki, soal
diperbaiki, dan soal ditolak. Klasifikasi ini diperlukan untuk memilih soal
mana pada tahap selanjutnya untuk dijadikan soal yang akan digunakan kembali
dan dimasukkan dalam bank soal. Dan soal mana yang memerlukan perbaikan jika
tetap ingin dimasukkan dalam bank soal (http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/)
.
Sedangkan menurut Ebel and Frisbie (1991: 232) dalam artikel Muhammad Khotib soal dapat diklasifikan dalam empat
katagori yaitu: sangat baik, baik, cukup dan kurang/ jelek. Klasifikasi
soal berdasarkan indeks daya beda soal selanjutnya ditampilkan dalam tabel di bawah ini(http://simpelpas.wordpress.com/2011/04/12/menentuka-daya-beda-soal/).
Tabel Klasifikasi Indeks Daya Beda
Soal
Indeks
Diskriminasi
|
Kategori
Soal
|
Kurang
dari 0,19
|
Jelek –
Soal tidak dipakai/dibuang
|
0,20 –
0,29
|
Kurang –
soal diperbaiki
|
0,30 –
0,39
|
Baik –
soal diterima tetapi perlu diperbaiki
|
Lebih dari
0,40
|
Sangat
Baik – soal diterima
|
d.
RELIABILITAS INSTRUMEN
1.
Pengertian
Menurut
Sudaryono (2012), reliabilitas berasal dari kata reliability berarti sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama, diperoleh hasil
pengukuran yang sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum
berubah. Salah satu syarat agar hasil ukur suatu tes dapat dipercaya ialah tes
tersebut harus mempunyai realibilitas yang memadai.
2.
Karakteristik Reliabilitas
Menurut
Kusaeri dan Suprananto (2012), reliabilitas mempunyai beberapa
karakteristik sebagai berikut :
a.
Reliabilitas
merujuk pada hasil yang didapat melalui instrumen tes, bukan merujuk pada hasil
instrumennya sendiri. Suatu instrumen tertentu mungkin memiliki reliabilitas
berbeda, tergantung pada kelompok yang terlibat dan situasi dalam tes itu.
b.
Reliabilitas
merupakan syarat perlu, tetapi belum cukup untuk syarat validitas, karena
reliabilitas semata-mata memberikan
hasil yang konsisten sehingga memungkinkan terpenuhinya validitas.
c.
Reliabilitas
utamanya berkaitan dengan statistik. Pada reliabilitas memiliki hasil yang
konsen biasanya dinyatakan dalam bentuk koefisien reliabilitas dan kesalahan
pengukuran.
3.
Metode untuk Mengestimilasi
Reliabilitas.
Metode
yang sering digunakan untuk mengestimasi reliabilitas (Kusaeri dan Suprananto,
2012), antara lain:
a.
Metode
Tes-Retes
Metode tes-retes merupakan cara yang paling mudah untuk
mengestimilasi reliabilitas karena hanya mengujikan tes yang sama pada kelompok
yang sama, namun berbeda waktu. Koefisien reliabilitas tes diperoleh dengan
menghitung korelasi antara skor yang didapatkan dari dua tes tersebut. Tingkat
skor tes dapat digeneralisasi dalam situasi atau waktu yang berbeda. Hal
penting yang harus diperhatikan adalah waktu jeda antardua tes untuk mencari
waktu yang optimal.
b.
Metode
Bentuk Ekuivalen
Mengestimasi reliabilitas dengan metode ini menggunakan dua tes
yang berbeda, namun bentuknya ekuivalen (biasanya disebut bentuk paralel atau alternate form). Kedua bentuk tes
dikenakan pada sekelompok peserta didik yang sama dalam jeda waktu yang tidak
lama dan hasilnya dikorelasikan. Koefisien korelasi ini akan memberikan suatu
ukuran yang ekuivalen. Kondisinya
menunjukkan kedua bentuk tes mengukur aspek yang sama. Bentuk ekuivalen ini
disusun berdasarkan kisi-kisi yang sama untuk menghasilkan rerata tingkat kesulitan
yang dekat.
c.
Metode
Tes-Retes dengan Bentuk Ekuivalen
Bentuk ekuivalen sering menggunakan jeda waktu dalam
penyelenggaraan kedua tes. Hasil koefisien reliabilitas akan memberikan ukuran
kemantapan dan ekuivalen. Metode ini paling baik digunakan karena menunjukkan
kemantapan karakteristik anak yang diukur dan mampu mempresentasikan sampeldari
materi yang diujikan , semua dapat dikontrol.
d.
Metode
Belah Dua (Split Half)
Metode ini dilakukan dengan cara menguji seperangkat tes, tes
dibagi atau dibelah menjadi dua ekuivalen dan masing-masing diskor secara
terpisah. Hasil dari belahan pertama selanjutnya dikorelasikan dengan hasil
belahan kedua, dihitung dengan menggunakan korelasi produk moment pearson.
e.
Metode
Kuder Richardson atau Koefisien Alpha
Pendekatan ini untuk mengestimasi reliabilitas suatu tes yang
diselenggarakan satu kali, estimasi reliabilitas yang dihasilkan dengan formula
ini merupakan rerata dari semua kemungkinan koefisien split-half. Reliabilitas split-half,
metode ini sensitive terhadap kesalahan pengukuran yang disebabkan oleh
kesalahan sampel isi. Metode ini juga sensitive terhadap heterogenitas isi tes.
Mengestimilasi relibilitas dengan metode ini memberikan informasi kepada kita
seberapa jauh butir-butir tes itu mengukur karakteristik yang mirip.
f.
Metode
Inter-rater
Pada penskoran terhadap suatu instrumen atau non-objektif (melibatkan
penyekor atau rater), perlu dihitung tingkat atau persentasi persetujuan (agreement) masing-masing rater. Metode ini menjadi proses
penyekoran menjadi lebih adil. Pada metode tes ini dilaksanakan satu kali pada
sejumlah peserta tes dengan menggunakan dua orang rater. Agar tidak saling
mempengaruhi, maka masing-masing rater bekerja secara terpisah.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
Arief Furchan. 2004. Pengantar
Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Arifin, Zainal.
2012. Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Emzir. 2007. Metodologi
Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ghony, Djunaidi dan Almansur, Fauzan.
2009. Metodologi Pendidikan Pendekata Kuantitatif. Malang: UIN-Malang.
Kusaeri dan Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Purwanto, Ngalim. 1984. Prinsip-Prinsip
dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Setyosari,
Punaji. 2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Malang:
Prenada Media Group.
Sudaryono. 2012. Dasar-dasar
Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugiyono.
2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukardi. 2008. Evaluasi
Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sukmadinata,
N. Syaodih. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
0 komentar:
Posting Komentar