INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU
Makalah Ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Mukalam, M.Hum.
Oleh :
1.
Mir’atul Azizah (11670022)
2.
Adnin Arief R (11670032)
3.
Syavi Fauziah R.Z.S. (11670034)
4.
Dian Lukmana (11670035)
5.
Yuni Astuti (12670011)
6.
Gita Melinda (13670032)
PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVESITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat disusun dan
diselesaikan dengan baik.
Penulis menulis makalah ini dengan tujuan untuk memenuhi
tugas Filsafat Ilmu dan menambah ilmu pengetahuan seputar metode memperoleh
ilmu.
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya, tidak lepas dari bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Bapak Mukalam, selaku dosen matakuliah
Filsafat Ilmu.
2.
Teman-teman yang telah membantu pembuatan
makalah ini.
3.
Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan
satu persatu.
Penulis memohon
maaf apabila makalah ini masih dirasa
kurang sempurna. Maka dari itu, saran
dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan untuk
menjadikan makalah ini semakin sempurna, dan semoga makalah ini bermanfaat.
Yogyakarta, 22 Mei 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu merupakan hal
terpenting bagi semua orang. Orang yang mempunyai ilmu pastilah mempunyai
kedudukan yang lebih dari pada yang tidak memilikinya. Ilmu sudah menjadi suatu
kebutuhan untuk dapat hidup di zaman sekarang ini. Orang akan lebih mudah
mendapatkan pekerjaan manakala dia mempunyai ilmu yang lebih dibanding dengan lainnya.
Islam mengembangkan ilmu yang bersifat universal dan tidak mengenal
dikotomi antara ilmu agama, ilmu sosial-humaniora dan ilmu alam. Suatu ilmu
secara epistimologis dikatakan sebagai ilmu keislaman ketika ilmu tersebut
sesuai dengan nilai dan etika islam. Ilmu yang berangkat dari nilai dan etika
islam pada dasarnya bersifat objektif. Dengan demikian dalam islam terjadi
proses objektifitas, tidak membedakan golongan, etnis maupun suku bangsa.
Keberadaan beragam disiplin ilmu, baik ilmu agama, ilmu-ilmu
alam maupun humaniora, hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami
kompleksitas dimensi-dimensi hidup manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu
mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia. Dari asumsi tersebut,
maka sikap mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja dapat
dikatakan sikap yang tidak bijaksana.
Apakah hanya satu
ilmu yang kita pelajari dikehidupan? “tentu saja tidak”, pada dasarnya semua
ilmu seharusnya kita intergrasikan agar kita lebih tahu keangungan Tuhan dalam
menciptakan alam semesta ini. Dengan mengintergrasikan antar ilmu maka
pengetahuan kita akan semakin luas. Bagaimanakah mengintegrasikan antar ilmu.
Dengan latar belakang tersebut maka makalah ini akan menjelaskan lebih dalam
tentang integrasi-interkoneksi ilmu. Diantara landasan integrasi-interkoneksi ilmu, kerangka dasar,
ranah integrasi-interkoneksi ilmu, aksiologi sains dan ilmu, serta sumber nilai
sains dan agama.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut, dapat diketahui bahwa rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana landasan integrasi-interkoneksi ilmu?
2.
Bagaimana kerangka dasar integrasi-interkoneksi ilmu?
3.
Bagaimana ranah integrasi-interkoneksi ilmu?
4.
Bagaimana aksiologi sains dan ilmu?
5.
Bagaimana sumber nilai sains dan agama?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui landasan integrasi-interkoneksi ilmu.
2.
Untuk mengetahui kerangka dasar integrasi-interkoneksi
ilmu.
3.
Untuk mengetahui ranah integrasi-interkoneksi ilmu.
4.
Untuk mengetahui aksiologi sains dan ilmu.
5.
Untuk mengetahui sumber nilai sains dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU
1. Landasan Teologis
Dapat dikatakan pendidikan Islam selama ini terseret
dalam alam pemikiran modern yang sekuler, sehingga secara tidak sadar
memisah-misah antara pendidikan keimanan (ilmu-ilmu agama) dengan pendidikan
umum (ilmu pengetahuan) dan pendidikan akhlak (etika). Dampaknya adalah terjadi
kmunduran umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan di level apapun ( Tim Pokja
UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Pendidikan modern memang mengembangkan disiplin ilmu
dengan spesialisasi secara ketat, sehingga keterpaduan antar disiplin keilmuan
mejadi hilang dan berimplikasi pada terbentukya perbedaan sikap dikalangan umat
islam secara tajam terhadap kedua kelompok ilmu. Ilmu-ilmu agama disikapi dan
diperlakukan sebagai ilmu Allah yang bersifat sacral dan wajib untuk
dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu umum, baik ilmu kealaman maupun social
dianggap ilmu manusia yang dianggap tidak wajib untuk dipelajari. Situasi
seperti ini, membawa akibat ilmu-ilmu agama menjadi tidak menarik karena
terlepas dari kehidupan nyata, sementara ilmu-ilmu umum berkembang tanpa sentuhan
etika dan spiritualitas agama
( Tim Pokja
UIN Sunan Kalijaga, 2006).
2. Landasan Filosofis
Keberadaan beragam disiplin ilmu, baik ilmu agama,
ilmu-ilmu alam maupun humaniora, hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami
kompleksitas dimensi-dimensi hidup manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu
mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia. Dari asumsi tersebut,
maka sikap mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja dapat
dikatakan sikap yang tidak bijaksana ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Maka untuk mengkonstruk satu paradigma keilmuan baru yang
tidak merasa puas hanya dengan mendalami salah satu disiplin keilmuan namun
juga mengkaji berbagai disiplin keilmuan. Bahkan paradigma baru ini bermaksud
merumuskan keterpaduan dan keterkaitan antar disiplin ilmu sebagai jembatan
untuk memahami kompleksitas hidup manusia demi meningkatkan kualitas hidup baik
dalam aspek material, moral maupun spiritual ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga,
2006).
3. Landasan Kultural
Ilmu pengetahuan baik ilmu alam maupun social bersifat
universal walaupun berkembang dalam konteks budaya barat. Pendidikan Islam di
Indonesia berhadapan dengan persoalan kesenjangan budaya, yakni kesenjangan
antara budaya local Indonesia dan budaya global agama dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, proses pendidikan tidak mungkin mengabaikan budaya local
sebagai basis cultural, baik dalam menerjemahkan Islam maupun dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan ( Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
4.
Landasan Sosiologis
Secara sosiologis masyarakat Indonesia terdiri dari
beragam suku bangsa, budaya dan agama. Keragaman ini sering kali melahirkan
berbagai konflik yang mengancam integrasi bangsa. Secara teologis-normatif
tidak ada agama maupun budaya manapun yang membenarkan perilaku agresif
terhadap orang lain, bahkan menekankan hidup rukun dan damai. Akan tetapi
kerukunan dan kedamaian yang didambakan terancam oleh pandangan yang selalu
merasa paling benar( truth claim) yang pada gilirannya memunculkan
prasangka-prasangka social terhadap kelompok lain ( Tim Pokja UIN Sunan
Kalijaga, 2006).
Lahirnya truth claim mengganggu hubungan antar pemeluk
agama dan kelompok masyarakat yang sering kali berawal dari penafsiran
keagamaan yang skripturalistik, lepas dari konteks kekinian sehingga tidak
jarang lulusan PTAI yang oleh sebagian masyarakat dipandang tidak mampu
menyelesaikan konflik di masyarakat. Hal ini bias terjadi karena PTAI cenderung
mengembangkan rumpun mata kuliah ke-Islaman yang tampaknya terpisah dari
konteks keragaman masyarakat Indonesia dan konteks global serta perkembangan
Iptek
( Tim Pokja
UIN Sunan Kalijaga, 2006).
5.
Landasan Psikologis
Paradigma integrasi-interkoneksi ilmu dimaksudkan untuk
memahami dan membaca kehidupan manusia yang kompleks secara padu dan holistic.
Pembacaan holistic tersebut dirangkum dalam tiga level atau dalam bahasa
teologis dapat dikatakan secara simplistic sebagai iman, ilmu da amal. Secara
psikologis, paradigma ini memiliki urgensi yang sangat besar. Iman berkait
dengan keyakinan, ilmu berkait dengan kognisi dan pengetahuan, dan amal berkait
dengan praksis dan realitas keseharian. Paradigma integrasi interkoneksi ini
bermaksud membaca secara utuh dan padu ketiga aspek tersebut ( Tim Pokja UIN
Sunan Kalijaga, 2006).
B. KERANGKA DASAR INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU
Pada dasarnya, Islam mengembangkan ilmu yang bersifat
universal dan tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama, ilmu sosial-humaniora
dan ilmu alam. Suatu ilmu secara epistimologis dikatakan sebagai ilmu keislaman
ketika ilmu tersebut sesuai dengan nilai dan etika islam. Ilmu yang berangkat
dari nilai dan etika islam pada dasarnya bersifat objektif. Dengan demikian
dalam islam terjadi proses objektifitas, tidak membedakan golongan, etnis
maupun suku bangsa.
Ilmu yang terintegrasi-interkoneksi mempelajari ilmu
agama, ilmu sosial-humaniora dan ilmu sains secara parsial. Dengan demikian
seluruh bidang keilmuan itu dapat dikatakan sebagai ilmu keislaman secara
ontologis, epistimologis dan aksiologis. Hal inilah yang membedakan ilmu
keislaman dengan ilmu sekuler (Hamami, 2006).
Ilmu sekuler mengaku diri sebagi objektif, value free, bebas dari epentingan
lainnya. Tetapi ternyata bahwa ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang
semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasda atas manusia. Ilmu
menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan (Kuntowijoyo, 2006).
Dalam kajian ilmu keislaman, Al-Qur’an dan As-Sunah
sebagai kajian utama. Ilmu pada lapisan ke dua dan seterusnya, satu sama lain
saling berinteraksi, saling memperbincangkan, dan saling menghargai atau
mempertimbangkan secara sensitif terhadap kehadiran ilmu lainnya. Dari gambar
tampak jelas bahwa sudah tidak dikenal lagi istilah dikotomi.
Meskipun al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sentralnya, namun
cara memperoleh kebenaran tidak hanya dari al-Quran dan al-Sunah, tetapi
dibutuhakn ilmu pengetahuan lain (ilmu sosial-humaniora dan ilmu sains).
Berdasarkan gamabar, struktur keilmuannya bersifat teoantroposentrik,
integratif-inerkonektif. Harapannya dalah ilmu-ilmu tersebut tidak terisolasi,
tidak bersifat myopik, tetapi bersifat luas dan komprehensif.
Budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks (hadlarah
al-nash) tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari budaya ilmu (sosial,
humaniora, sains dan teknologi) dan budaya falsafah (etnik-emansipatoris), dan
begitu juga sebaliknya. Budaya ilmu yaitu ilmu empiris yang menghasilkan ilmu
alam dan teknologi, tidak akan punya “karakter”, dan etos yang memihak
padakehidupan manusia dan lingkungan hidup, juka tidak dipadu oleh falsafah
(budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu, budaya agama yang
semata-mata mengacu pada teks dikombinasikan dengan budaya ilmu tanpa mengenal
humanitis dan isu-isu kontemporer sedikit pun juga berbahaya, karena jika tidak
berhati-hati akan musah terbawa arus ke arah gerakan
redikalisme-fundamentalisme negatif. Untuk itu diperlukan budaya falsafah
(etnik yang bersifat transformatif-emansipatoris). Begitu juga budaya falsafah
akan terasa kering dan hampa jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang
termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem
yang ditimbulakan dan dihadapi sains (budaya ilmu empiris-teknis).
Dalam mempelajari
ilmu harus menghindari jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa
“pasti” dalam wilayahnya sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin
di luar dirinya. Jika diskemakan, rancangan bangunan keilmuan yang baik adalah:
Bangunan keilmuan tidaklah terisolasi (terpisah) dengan
yang lainnya.
Bangunan keilmuan juga tidak boleh hanya budaya teks
tanpa dikombinasi dengan sains dan budaya falsafah (Hamami, 2006).
Menurut al-Qur’an pun ilmu tidak hanya dua macam, tetapi
ada tiga yaituilmu nafsiyah (humaniora),
ilmu kauniyah (ilmu alam) san ilmu kauliyah (hukum tuhan) (Kuntowijoyo, 2006).
Pendekatan integratif adalah terpadunya kebenaran wahyu
dalam bentuk pembilangan ilmu yang terkait dengan sumber kebenaran dengan
bukti-bukti yang ditemukan di alam semesta. Walaupun dilakukan pembidangan,
tetapi masing-masing bidang ilmu saling terintegrasi. Dikatakan terintegrasi
bukan berarti mengalami peleburan menjadi satu bentuk ilmu yang identik,
melainkan terpadunya karakter, corak, dan hakikat ilmu tersebut dalam semua
kesatan dimensinya (Hamami, 2006).
Menurut Kuntowijoyo, dalam bukunya Islam sebagai Ilmu,
ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatuakan (bukan sekedar menggabungkan)
wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusiadiharapkan bahwa integralisme akan
sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama
radikal dalam banyak sektor.
Pendekatan interkonektif adalah terkaitnya suatu
pengetahuan dengan pengetahuan yang lain melalui satu hubungan yang saling
mempertimbangkan. Bidang ilmu yang yang berkarakteristik integratif sudah tentu
memiliki interkoneksi antarbagian keilmuannya. Sebaliknya, karena tidak sema
bidang ilmu dapat diintegrasikan, maka paling tidak masing-masing ilmu memiliki
kepekaan akan perlunya interkoneksi untuk menutup kekurangan yang melekat dalam
dirinya sendiri jika berdiri sendiri.
Proyek besar reintegrasi epistimologi keilmuan umum dan
agama mengandung arti pentingnya dialog dan kerjasama antar disiplin ilmu.
Pendekatan integratif dan interkonektif antar disiplin ilmu keislaman, sosial,
humaniora, kealaman dan disiplin ilmu lain perlu mendapat skala pengembangan
terus menerus (Hamami, 2006).
C.
RANAH
INTERGRASI-INTERKONEKSI ILMU
1.
Ranah Filosofis
Abad pertengahan
dan abad modern / Renaissance
memiliki perbedaan dengan era sekarang. Dunia pengetahuan pada abad pertengahan
diwarnai dengan dominasi agama atas rasio. Penalaran rasional dikembangkan
dalam batas-batas dogma keagamaan. Implikasi dari dominasi semacam ini dapat
dilihat di Eropa, seperti hegemoni kebenaran Gereja dalam segala aspek
kehidupan termasuk dunia ilmu. Sementara di masa modern, dunia ilmu bergeser
dari dominasi agama atas rasio kepada dominasi rasio atas agama (Tim Pokja,
2006).
Belajar dari 2
periode historis sejarah tersebut, dunia pengetahuan haruslah dibersihkan dari
dominasi, apakah itu agama atas ilmu atau sebaliknya. Pada era kontemporer
kecenderungan untuk menghargai setiap bangunan keilmuan masih sangat kuat dan
bahkan meyakini adanya interkoneksi antar ilmu pengetahuan. Merajut paradigma
interkoneksi antara agama dan ilmu, bahkan antar agama, ilmu, filsafat,
tradisi, dan system episteme lainnya merupakan suatu kebutuhan pokok manusia
sekarang. Paradigma keilmuan yang seperti ini lebih sehat karena memiliki
implikasi saling mengapresiasi dan saling memberdayakan antar masyarakat,
budaya, bangsa, etnis, dan tradisi keagamaan (Tim penyusun Pokja, 2006).
Integrasi dan
interkoneksi pada ranah filosofis dalam pengajaran dimaksudkan bahwa setiap
mata kuliah harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan
disiplin keilmuan lainnya dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai
humanistiknya. Dengan demikian, integrasi-interkoneksi dalam ranah filosofis
berupa penyadaran eksistensi bahwa suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada
disiplin ilmu lainnya (Tim penyusun Pokja, 2006).
2.
Ranah Materi
Integrasi-interkoneksi
pada ranah materi merupakan suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai
kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam pengajaran mata
kuliah umum seperti filsafat, antropologi, sosiologi, hukum, politik, psikologi
dan lain sebagainya dan sebaliknya ilmu-ilmu umum ke dalam kajian-kajian
keagamaan dan keislaman. Selain itu juga termasuk mengkaitkan suatu disiplin
ilmu yang satu dengan yang lainnya dalam keterpaduan epistimologis dan
aksiologis (Tim penyusun Pokja, 2006).
Menurut Tim penusun
pokja (2006) implementasi integrasi-interkoneksi pada ranah materi ada 3 model,
yaitu:
a.
Model pengintegrasian ke dalam
paket kurikulum.
Misalnya dalam waktu 8 semester mahasiswa harus
menyelesaikan bobot studi sebanyak 142 SKS dengan komposisi 50% ilmu-ilmu
keislaman dan keagamaan dan 50% sisanya adalah ilmu umum. Jadi hanya sekedar
menyandingkan mata kuliah-mata kuliah yang mewakili ilmu-ilmu keislaman atau
keagamaan dan yang mewakili ilmu-ilmu umum. Proses interkoneksi keilmuannya
akan terpusat pada kreativitas mahasiswa memahami dan menghubungkan antara
keduanya.
b.
Model penamaan mata kuliah yang
menunjukkan hubungan antara 2 disiplin ilmu umum dan keislaman.
Model ini menuntut setiap mata kuliah mencantumkan kata
islam, seperti ekonomi islam, politik islam, sosiologi islam, antropologi
islam, sastra islam, pendidikan islam, filsafat islam, dll sebagai refleksi
dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan.
c.
Model pengintegrasian ke dalam
tema-tema mata kuliah.
Model ini menuntut
setiap pengajaran mata kuliah keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan
teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksi antara keduanya,
dan sebaliknya dalam setiap pengajaran mata kuliah ilmu-ilmu umum harus
diberikan wacana-wacana teoritik keislaman dan keagamaan sebagaimana terkandung dalam ilmu-ilmu keislaman sebagai
wujud interkoneksi antar keduanya, tanpa embel-embel nama Islam pada mata
kuliah yang bersangkutan.
3. Ranah Metodologi
Menurut Kuntowijoyo (2007:
49), ada dua metodologi yang digunakan dalam proses pengilmuan islam, yaitu
integralisasi dan objektifikasi. Pertama
integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu.
Kedua, objektifikasi adalah, menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk
semua orang. Ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu integralistik tidak
akan mengucilkan wahyu Tuhan atau mengucilkan manusia. Diharapkan inntegralisme
akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme eksrim dan agama-agama
radikal dalam banyak sector.
Metodologi yang dimaksud dalam
integrasi dan interkoneksi ialah metodologi yang digunakan dalam pengembangan
ilmu yang bersangkutan. Setiap ilmu memiliki metodologi penelitian yang khas
disamping metodologi penelitian umum yang biasa digunakan, misalnya ilmu
psikologi mempunyai metodologi khas yang digunakan seperti introspeksi,
ekstrospeksi dan retrospeksi dan metode umum yang digunakan seperti kuisioner,
wawancara dan observasi. Tidak sebatas metodologi yang digunakan, di sini yang
dimaksud dengan metodologi juga bisa dalam pengertian yang lebih luas yang
berupa pendekatan. Misalnya dalam psikologi dikenal beberapa pendekatan seperti
fenomenologis, kontemplatif, dan normatif (Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2006).
Ranah metodologis ini tentu saja
dibahas dalam konteks struktur keilmuan integrative-interkonektif. Ketika
sebuah ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain,
misalnya psikologi dengan nilai islam, maka secara metodologi ilmu
interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman dengan
ilmu tersebut. Contohnya pendekatan
fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami
pengalaman dianggap lebih aman dibandingkan dengan pendekatan lain yang
mengandung bias anti agama seperti psiko-analisis (Tim Pokja UIN Sunan
Kalijaga, 2006).
4. Ranah Strategi
Ranah strategi yang dimaksud di sini
ialah ranah persiapan atau praksis dari proses pembelajaran keilmuan
integrative-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan
serta keterampilan mengajar dosen menjadi kunci keberhasilan perkuliahan
berbasis paradigm interkonektif. Pembelajaran dengan model active learning
dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi keharusan (Tim Pokja UIN Sunan
Kalijaga, 2006).
Misalnya pada hal ini, dosen
menunjukkan kasus-kasus hokum tertentu dalam mata kuliah Fiqh, kemudian
menunjukkan referensi tentang teori-teori social dalam ilmu sosiologi terkait
dengan pemutusan hokum kasus dimaksud secara sosiologis, kemudian mahasiswa
dituntut untuk aktif dalam melakukan kajian sebelum proses pembahasan dengan
dosen. Jika dalam hal ini dosen fiqh masih awam tentang sosiologi tentu menjadi
hambatan besar untuk merealisasikan paradigm interkonektif ( Tim Pokja UIN
Sunan Kalijaga, 2006).
Intinya, seorang dosen atau guru
yang akan mengintegrasi dan menginterkoneksikan dua ilmu harus menguasai ilmu
yang bersangkutan terlebih dahulu. Kelemahan seorang dosen yang masih awam
mengenai ilmu yang akan diintegrasikan dapat disiasati dengan menerapkan model
pembelajaran team teaching. Semakin banyak mata kuliah atau ilmu yang
diintegrasi dan dinterkoneksikan maka akan semakin membutuhkan strategi
pembelajaran yang melibatkan banyak dosen terkait ilmu yang dikaji ( Tim Pokja
UIN Sunan Kalijaga, 2006).
D. AKSIOLOGI SAINS DAN ILMU
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang
meliputi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan simbolik atau kawasan fisik material. Lebih
dari itu, nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu condition sine quanon yang wajib
dipatuhi dalam kegiatan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan
ilmu (Maksudin, 2003).
Menurut Max Scheler dalam Maksudin (2003)., nilai merupakan sesuatu
kenyataan yang pada umumnya tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan yang lain.
Atau dapat dikatakan sebaliknya bahwa kenyataan lain merupakan pembawa nilai
seperti halnya suatu benda dapat menjadi pembawa warna merah atau warna
lainnya.
Scheler menegaskan nilai-nilai moral tidak tersembunyi di balik
tindakan-tindakan yang pada dirinya bersifat baik, tetapi di balik
tindakan-tindakan yang menyimpan atau mewujudkan nilai-nilai lain secara benar.
Ditegaskan pula bahwa nilai-nilai itu sungguh merupakan kenyataan yang
benar-benar ada, bukan hanya yang dianggap ada. Karena nilai itu benar-benar
ada, walaupun tersembunyi di balik kenyataan lain, tidak berarti sama sekali
tidak tergantung pada kenyataan-kenyataan lain karena meskipun
kenyataan-kenyataan lain yang membawa nilai-nilai itu berubah dari waktu ke
waktu, nilai-nilai itu sendiri bersifat mutlak dan tidak berubah. Di balik
dunia yang tampak ini, menurut Max Scheler, tersembunyi dunia nilai-nilai yang
amat kaya. Oleh karena itu ia menolak kecenderungan beberapa pemikir yang
mengembalikan semua nilai pada beberapa atau bahkan hanya kepada satu nilai
saja.
Karena dunia nilai itu begitu kaya, nilai tidak bisa disimpulkan dalam satu
atau beberapa nilai saja. Semua itu berasal dari Allah sebagai nilai yang
tertinggi. Setiap nilai merupakan salah satu wujud nilai Ilahi yang secara
sebagian saja dapat memantulkan keagungan-Nya. Selanjutnya, Max Scheler
menegaskan walaupun nilai-nilai harus dicari di balik kenyataan-kenyataan lain
yang selalu berubah, nilai-nilai itu tetap bukan ciptaan manusia. Oleh karena
alasan itu, relativisme nilai seperti tampak pada beberapa pemikir lain harus
ditolak karea Allah sendirilah sumber nilai satu-satunya. Dengan demikian,
manusia hanya mampu memahami, menemukan, atau mewujudkan nilai (Maksudin,
2003)..
Max Scheler berpendapat bahwa manusia memahami nilai dengan hatinya dan
bukan dengan akalnya. Manusia berhubungan dengan dunia lain dengan keterbukaan
dan kepekaan hatinya. Dalam memahami suatu nilai, manusia tidak melalui
kegiatan berfikir mengenai nilai itu, tetapi dengan mengalami dan mewujudkan
nilai itu, seperti halnya seorang pelukis yang baru memahami paa yang
dilukisnya, sementara ia masih sibuk melukisnya. Seseorang hanya memahami nilai
cinta bila ia sedang mencinta. Seseorang hanya memahami sahabatnya, bila ia
memasuki kehidupan sahabatnya itu dengan segenap hati.
Menurut Maksudin (2003).Sains dan agama nondikotomik sarat muatan nilai
yang merupakan bagian nilai tak terpisahkan di dalam kajian aksiologi sains dan
agama itu sendiri. Keberadaan nilai-nilai tersembunyi di balik fenomena
empirik. Pendapat Max Scheler esensi nilai dalam perspektif fenomenologis
mencakup (1) nilai sebagai pusat moralitas (2) nilai mendahului pengalaman (3)
nilai bersifat mutlak dan apriori (4) nilai ditemukan bukan diciptakan (5)
nilai dirasakan bukan dipikirkan (6) nilai berhierarki.
Keenam esensi nilai tersebut tampak relevansinya dengan pandangan nilai dalam
Islam. Pertama, Scheler menempatkan
nilai sebagai pusat moralitas. Prinsip Islam sangat jelas dalam menempatkan
nilai moral (akhlak) sebagai pilar Islam. Pilar Islam adalah akidah, syari’ah,
dan akhlak. Hal ini diperkuat hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya
“sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Kedua, keberadaan nilai mendahului
pengalaman, artinya nilai sudah ditentukan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah sebelum
dilakukan manusia. Pengalaman dalam Islam merupakan bagian substansial yang
berkaitan dengan perilaku lahir dan batin bagi manusia. Ketiga, nilai bersifat mutlak dan apriori, artinya keberadaan dan
kebenaran nilai tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya pelaku dan tidak
terbatas ruang dan waktu. Dapat dikatakan bahwa Islam merupakan sistem nilai.
Oleh karena itu, keberlakuan nilai-nilai (akidah, syari’ah, dan akhlak) dalam
Islam bersifat sepanjang zaman (waktu) dan tempat. Keempat, nilai ditemuakan bukan diciptakan. Hal ini berarti bahwa
keberadaan nilai itu tinggal dicari, ditemukan, dan diwujudkan. Nilai dalam
Islam secara garis besar dikategorikan ke dalam dua dimensi ketuhanan dan
dimensi kemanusiaan (Maksudin, 2003).
Kelima, nilai dirasakan bukan dipikirkan. Hal ini dpat diartikan
bahwa nilai itu tidak perlu dipikrkan, tetapi melalui hati nurani dan rasa atau
perasaan dan keasadaran, nilai cukup disadari (dipahami), diamalkan dan
dirasakan. Nilai dalam Islam mutlak untuk diwujudkan dan dirasakan dengan
kesadaran dan kesabaran. Dengan kata lain, nilai dalam Islam diwujudkan dengan tazkiyah. Keenam, nilai itu berhierarki,
artinya nilai memiliki hierarki. Nilai dalam Islam sangat jelas hierarkinya,
misalnya nilai halal-haram, wajib-sunat, sah-batal, benar-salah,
terpuji-tercela, dan lain sebagainya (Maksudin, 2003).
E. SUMBER NILAI SAINS DAN
AGAMA
Disebutkan dalam salah satu hadits Nabi: yang artinya: “telah aku
(Muhammad) tinggalkan dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepadanya,
niscaya kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Sunnah Rasol-Nya (HR. Malik
bin Anas). Pesan Hadits di atas jelas dan tegas bahwa bia berpegang pada
Al-Qur’an dan hadits akan terhindar dari kesesatan (Maksudin, 2003).
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut, yang eksistensinya tidak
mengalami perubahan walaupun interpretasinya dimungkinkan mengalami perubahan
sesuai dengan konteks zaman, keadaan, dan tempat. Sumber nilai absolut dalam
Al-Qur’an adalah nilai Ilahi dan tugas manusia untuk menginterpretasikan
nilai-nilai itu. Dengan interpretasi tersebut, manusia akan mampu menghadapi
ajaran agama yang dianut. Lebih lanjut ia mengatakan konseptualisasi pendidikan
Islami bertolak dari “bahwa telah Aku (Allah) sempurnakan agamamu” maka nash
adalah sumber kebenaran, kebajikan dan rahmat bagi umat manusia (Maksudin,
2003).
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, Al-Qur’an itu memang diperuntukkan bagi
umat manusia dan eksistensi pandangan Al-Qur’an senantiasa mengacu kepada dunia
ini yang porsinya sama dengan kehidupan akhirat. Secara garis besar tujuan
pokok diturunkannya Al-Qur’an adalah, (1) sebagai petunjuk akidah (2) petunjuk
syari’ah (3) petunjuk akhlak. Bahkan Al-Qur’an mengilhami tiga pokok aspek ilmu
pengetahuan, yaitu (1) aspek etik termasuk aspek-aspek perseptual dalam ilmu
pengetahuan (2) aspek historik dan psikologis (3) aspek observatif dan
eksperimental.
Kemudian masing-masing aspek tersebut berkaitan dengan hal yang lain,
seperti aspek etik berkaitan dengan prinsip dasar keyakinan, perbuatan,
moralitas, baik perorangan maupun kemasyarakatan serta pandangan menuju
kehidupan terbaik di dunia dan di akhirat. Aspek-aspek psikologik dan historik
berkaitan dengan berbagai sikap dan cara berpikir manusia dan bangsa terkait
atau menyimpang dari warna agama, sedangkan aspek observatif dan eksperimental
sebagai sumber utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang benda-benda yang
berhubungan dengan penciptanya. Titik temu dari ketiga aspek ilmu pengetahuan
yang diilhami oleh Al-Qur’an terfokus pada prinsip tauhid yang merupakan faktor
yang berperan dalam kehidupan intelektual dan emosional manusia. Tauhid
merupakan landasan spiritual Islam tertinggi dan termasuk di dalamnya
pendidikan Agama Islam (Maksudin, 2003).
kedudukan dan sumber sains
Dari
gambaran tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut (Maksudin, 2003):
a)
Sumber utama ilmu pengetahuan adalah Allah SWT, ilmu
pengetahuan-Nya tersebut difirmankan pada ayat-ayat-Nya, baik yang bersifat
kauniah maupun qur’aniah
b)
Ilmu pengetahuan dapat dicapai manusia setelah melalui
interpretasi (iqro’) terhadap ayat-ayat kauniah dan ayat-ayat qur’aniah.
1) Interpretasi
terhadap ayat-ayat kauniah menghasilkan ilmu-ilmu diantaranya sebagai berikut:
(a) Dari alam,
melahirkan ilmu fisika, kimia, astronomi, botani, zoologi, geografi, geologi,
dan sebagainya.
(b) Dari manusia
sebagai makhluk indvidu, melahirkan ilmu antropologi, kedokteran, psikologi,
dan lain sebagainya.
(c) Dari manusia
sebagai makhluk sosial, melahirkan ilmu sejarah, kebudayaan, linguistik,
ekonomi, politik, sosiologi, hukum, perdagangan, komunikasi, dan sebagainya.
2) Interpretasi
terhadap ayat-ayat qur’aniah menghasilkan ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu tafsir,
ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, bahasa Al-Qur’an,
metafisis alam, perbandingan agama, kultur Islam, dan sebagainya.
c)
Keasadaran akan keterbatasan interpretasi tersebut akan
menimbulkan sikap dan perilaku ilmuwan untuk:
1) Tunduk, penyerahan
(taslim) dan patuh (taat) kepada Allah SWT
2) Menyadari bahwa
ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai berasal (amanah) dari Allah SWT
3) Motivasi
penerapannya diupayakan dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
d)
Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu qur’ani
(agama) dengan ilmu kauniah (umum), karena keduanya berasal dari sumber yang
sama. Pertentangan yang dijumpai dalam praktik hanyalah semu sebagai akibat
dari kesalahan interpretasi terhadap ayat kauniyah atau ayat qur’aniyah atau
kedua-duanya.
e)
Adanya kesadaran bahwa ilmu pengetahuan bukan
satu-satunya sumber kebenaran dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi
persoalan problem kehidupan manusia.
f)
Pemahaman model di atas menghindarkan seorang muslim
(ulama cendikiawan) dari pemahaman dikotomi dan juga menghindarkan dari cara
berpikir yang hanya rasionalistis dan spiritualistis atau sekuralistis yang
tanpa dibarengi dengan pemahaman berdasarkan petunjuk naqly (wahyu / firman
Allah SWT). Di samping itu, pemahaman model tersebut dapat meningkatkan
pemahaman ayat naqliyah dengan temuan-temuan yang diperoleh dari ayat kauniah.
Sebaliknya, pemahaman model tersebut dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang
difahami dari wahyu untuk dijadikan dasar etis filosofis bagi interpretasi
terhadap ayat kauniah.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Landasan integrasi
interkoneksi ilmu antara lain landasan teologis, landasan filosofis, landasan
kultural, landasan sosiologis, dan landasan psikologis
2.
kerangka dasar integrasi interkoneksi ilmu dalam kajian
ilmu keislaman, Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai kajian utama. Ilmu pada lapisan
ke dua dan seterusnya, satu sama lain saling berinteraksi, saling
memperbincangkan, dan saling menghargai atau mempertimbangkan secara sensitif
terhadap kehadiran ilmu lainnya.
3.
Ranah Integrasi interkoneksi ilmu antara lain ranah
filosofis, ranah materi, ranah metodologi, dan ranah strategi
4.
Aksiologi sains dan
ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan simbolik atau
kawasan fisik material.
5.
Sumber utama nilai
sains dan agama adalah Al-Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Hamami, Tasman. (2006). Kerangka
Dasar Keilmuan & Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Departemen Agama Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kuntowijoyo. (2007). Islam
sebagai Ilmu:
epitemologi, metodologi dan etika. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Maksudin. (2013). Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik. Yogyakarta:
Pusta pelajar.
Tim Penyusun Pokja. (2006). Kerangka Dasar Keilmuan & Pengembangan
Kurikulum. Yogyakarta: Pokja Akademik.
0 komentar:
Posting Komentar