KEBENARAN ILMU
Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Mukalam
Oleh:
Amanatul Qudsiyah (11670014)
Th. Nurmala Ekawati (116700)
Elsa (116700)
Fatkhul Aini Qur’ansyah
(116700)
Irma Asfiyani Zahroh (116700)
Rahma Mei Widarti (116700)
Janat Prabowo (116700)
PENDIDIKAN
KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia dalam peradabannya selalu membutuhkan bukti nyata fenomena
yang sering ditemui dalam hidupnya. Adanya fenomena-fenomena tersebut mendorong
manusia untuk mencari tahu suatu kebenaran dengan pengetahuan yang ia miliki.
Banyaknya berbagai sumber menjadikan manusia semakin kaya akan ilmu pengetahuan
untuk melihat suatu kebenaran. Suatu fenomena yang telah terjadi serta dapat
dilihat dan diyakini merupakan suatu wujud dari kebenaran itu sendiri. Namun
bukan berarti salah jika sesuatu yang tidak dapat dilihat, karena semua itu
tergantung pada keyakinan yang dimiliki dalam diri manusia itu sendiri, maka
dari itu kebenaran berhubungan dengan suatu keyakinan atau kepercayaan
Teori-teori kebenaran mengarah pada dasar
suatu ilmu pengetahuan yang bersifat benar atau salah. Hal ini dapat dilihat
dari adanya keterkaitan antara fenomena satu dan fenomena yang lain meskipun
kedua fenomena itu berlawanan arah atau tidak sejalan. Diterimanya suatu
kebenaran berdasar sifat benar atau salah didasari oleh keyataan dan logika
yang bersifat positif, meskipun hal tersebut tidak dialami secara langsung oleh
manusia. Diketahuinya suatu hubungan antara fenomena yang telah terjadi
sebelumnya serta dianggap benar merupakan salah satu ungkapan dari teori
kebenaran. Adanya perbedaan pandangan antar teori kebenaran yang satu dan yang
lainnya menjadikan munculnya pragmatism. Dimana anggapan pragmatisme mengenai
kebenaran berbeda dengan teori sebelumnya. Pragmatisme ini selalu berkaitan
dengan suatu tindakan praktis yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang
ada. Oleh karena itu adanya teori-teori kebenaran
ini merupakan salah satu acauan manusia untuk melihat kebenaran itu.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, dapat diketahui bahwa rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengertian kebenaran itu?
2. Bagaimana
kebenaran berdasarkan teori kebenaran?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah
tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian kebenaran.
2. Untuk
mengetahui kebenaran berdasar teori kebenaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran
Kata "kebenaran" dapat digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar.
Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau
statement (Tim Filsafat Ilmu UGM,
2007 ). Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat
yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran
merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta
atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan
itu adalah salah. Misalkan pernyataan ini: “Ada elektron-elektron, tetapi
mereka tidak dapat dilihat. Pertanyaannya bukan mengenai apakah pernyataan ini
benar atau salah, tetapi apa yang dimaksud dengan menganggap itu benar atau
mempercayai bahwa hal itu benar (Suriasumantri,
2012).
Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan
pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek.
Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber (Susanto, 2011 ). Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Susanto, 2011) yang ditulis oleh Purwadarminta menjelaskan bahwa
kebenaran itu adalah :
·
Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok
dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenran dan
keadilan.
·
Sesuatu yang benar (sugguh-sugguh ada,
betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran
yang diajarkan agama.
·
Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada
seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
·
Selalu
izin, perkenaan, misalnya dengan kebenaran yang dipertuan.
·
Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu
dapat dibekuk dengan secara kebenaran
saja.
Terdapat bermacam katagori atau tingkatan dalam arti kebenaran
ini, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki
pengetahuan akan memilki persepsi dan pengetahuan yang amat berbeda satu dengan
yang lainnya.
Pertama-tama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan.
Artinya semua pengetahuan yang dimilki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu
objek dititik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Dengan demikian tingkatan
pengetahuan adalah:
1. Pengetahuan yang memiliki sifat
subjektif, artiny amat terikat pada subjek yang mengenal.
2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas
atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologi yang khas pula.
3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafati.
4. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.
Kedua, Kebenaran yang berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana
cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia
membanguannya dengan penginderaan atau sense experience, atau
akal pikir atau ratio, intuisi, atau keyakianan. Jenis pengetahuan menurut ini
terdiri atas:
1. Pengetahuan indrawi
2. Pengetahuan akal budi
3. Pengetahuan intuitif
4. Pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Ketiga, kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas
ketergantungan terjadinya pengetahuan itu, artinya bagaimana relasi atau
hubungan antara subjek dan objek, Jika subjek yang berperan maka jenis
pengetahuan itu mengandung nilai kebenran yang sifatnya subjektif atau jika
objek amat berperan maka sifatnya objektif ( Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM,
2007).
B. Teori Kebenaran
Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan
untuk menetukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu:
1.
Kebenaran korespondensi
Di dalam
Dictionary of Philosophy, Dagobert D Runes menyebutkan kebenaran korespondensi sebagai berikut:
“the theory that the truth of
propositions is determined by the existence of one-one correspondence between
the terms of the proposition and the elements of some fact”
Inti dari ungkapan itu bahwa kebenaran korespondensi ialah benarnya
pemikiran karena terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Dalam hal ini relevansi dibuktikan dengan adanya
kejadian yang sejalan ataupun yang berlawanan arah antara fakta dengan fakta
yang diharapkan. Bagi positivisme, begitupun positivisme-logis, kebenaran memang
seharusnya yang koresponding. Ini sesuai dengan dasar filosofinya yang
menyatakan bahwa proporsi yang benar manakala dapat diverifikasi. Adapun verifikasi
itu sendiri pada prinsipnya harus berdasar pada observasi. Hal itu diungkapkan oleh
A. Anyer dalam karangannya yang berjudul“Languange, truth and logic”:
“Kami mengatakan bahwa suatu kalimat pada kenyataannya bermakna bagi
seseorang tertentu, jika, dan hanya jika, ia tahu observasi-observasi mana akan
membuat dia –dengan syarat-syarat yang tertentu- menerima suatu proporsi sebagai
benar atau menolaknya sebagai salah. Sebaliknya, jika apa yang dianggap sebagai
proporsi bersifat demikian rupa sehingga menerima kebenaran atau ketidakbenarannya
dapat dicocokkan dengan pengandaian apa pun juga mengenai pengalamannya di
kemudian hari, maka bagi orang bersangkutan apa yang disebut proporsi itu tidak
lain (kecuali kalau merupakan suatu tautologi) dari pada proporsi semu saja.
Berdasar uraian itu dapat diketahui bahwa bagi positivisme,
bermaknanya suatu ungkapan apabila hal itu dapat diverifikasi. Artinya terbuktikan
lewat observasi (empiris atau teralami melalui indrawi). Itulah prinsip yang
pertama. Kemudian prinsip yang kedua, khususnya bagi positivisme logis, ialah bahwa
disamping data empiris, sebenarnya masih ada satu lagi jenis statemen yang
bermakna, yaitu ungkapan matematika dan logika. Seperti, untuk matematika segi empat
adalah gambar yang dibentuk oleh empat garis lurus yang saling memotong. Kemudian
untuk bidang logika misalnya menyebutkan bahwa Indonesia medeka tahun 1945. Ungkapan
ini bagi kita yang tidak mengalami peristiwa itu tentu tidak memiliki data
empiris. Namun secara logis dapat diterima
kebenarannya, sebab kita bisa membuktikan melalui pernyataan orang lain, dan prasasti/
peninggalan sejarah/ dokumen yang dapatdipercaya, dll.(berarti tidak langsung)
Dengan demikian hal penting yang perlu ditegaskan ialah untuk diterimanya
suatu kebenaran secara logis, bagi kebenaran korespondensi, tetap harus didasarkan
pada data empiris, meskipun tidak dialami langsung oleh
yang membuat statemen. (Ghazali, Bachri, dkk., 2005)
2.
Kebenaran
Koherensi
Teori kebenaran
koherensi atau disebut juga teori konsistensi yang menyebutkan bahwa kebenaran
tidak dibentuk oleh hubungan antara putusan dengan sesuatu hal yang lain,
seperti dengan fakta, melainkan hubungan diantara putusan-putusan itu sendiri. Kebenaran
itu dibentuk atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan sebelumnya
yang sudah diketahui dan dianggap benar. Ini sebagaimana dikatakan oleh
Dagobert D. Runes (Pokja Akademik, 2005):
“Theory of knowledge which maintains that truth is a property
primarily applicable to any extensive body of consistent proposition and derivatively
applicable to any one proposition in such a system by virtue of its part of
system”.
Atas dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa sesuatu yang koheren
dengan sesuatu yang lain adalah adanya kesesuian atau keharmonisan dengan
sesuatu yang memiliki hierarki lebih tinggi. Maksud dengan hierarki yang lebih
tinggi ialah sesuatu yang secara aklamasi dan mutlak dipandang sebagai
referensi atau rujukan. Kondisi ini
hierarki yang lebih tinggi itu bisa berupa nilai tinggi itu nilai, skema,
maupun sistem (Pokja Akademik, 2005).
Pada masalah nilai dapat dicontohkan, misal nilai moral, bila pada
suatu masyarakat yang dianggap benar dalam hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrimnya adalah harus melalui ikatan pernikahan, maka
jika terjadi hubungan dua manusia lawan jenis dan berdasar pernikahan, maka hal
itu diakui sebagai benar. Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, hubungan
itu tanpa pernikahan, maka hal tersebut dianggap tidak benar. Ini artinya
adalah kesesuaian atau keharmonisan antara implementasi atau lapangan yang di
bawah dengan aturan norma dalil yang lebih tinggi yang diajdikan standar atau
patokan bersama (referensi) (Pokja Akademik, 2005).
Hierarki berikutnya yang berupa skema dapat dicontohkan dengan
perolehan hasil atau target kelulusan mahasiswa oleh sebuah perguruan tinggi.
Jika seumpama ditetapkan bahwa lulusan program studi pendidikan kimia adalah
para sarjana yang memiliki wawasan dan kemampuan keterampilan mengajar, maka
prodi harus membuat skema atau jalur yang mesti ditempuh oleh mereka. Paling
tidak mereka dilewatkan jalur. Pertama, yang membekali kerangka teoritik
tentang pendidikan, dan kedua, jalur praktek lapangan guna mengimpletasikan dan
sekaligus menguji kemampuan teoritik pendidikan tersebut, sehingga nanti
hasilnya akan maksimal (Pokja Akademik, 2005).
Uraian di atas menggambarkan bahwa target atau hasil menjadi
rujukan dalam skema hierarki tersebut bagi jalur-jalur lainnya mestinya harus
tampak koherensinya. Artinya sifat konsistensi dari masing-masing hal yang ada
dalam skema itu harus saling mendukung dan itu dapat dikatakan benar secara
koheren (Pokja Akademik, 2005).
Berikutnya kebenaran koheren yang berupa sistem merupakan sesuatu
yang terdiri dari beberapa hal dan masing-masingnya memiliki peran dalam
mendukung sistem tersebut dapat diumpamakan dengan organisasi. Di dalamnya ia
terdiri dari beberapa unsur kepengurusan, misalnya suatu fakultas terdiri dari
dekan, pembantu dekan (bidang akademik, bidang keuangan dan personalia, serta
kemahasiswaan dan alumni), dan TU. Masing-masing komponen itu dibentuk dan
berperan sesuai dengan pertimbangan pemikiran bahwa masing-masingnya
berkondisikan sebagaimana dirinya sendiri dan sebagai bagian dari bagan utuh
yang lebih besar, yaitu fakultas. Komponen-komponen itu adanya dan aktivitasnya
adalah koheren, sebab masing-masingnya sesuaia dengan bagan dan aktivitas yang
memang sudah merupakan kemestian (Pokja Akademik, 2005).
3.
Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma
( bahasa Yunani ) yang berarti tindakan atau perbuatan. Kata ini sering sekali
di ucapkan orang – orang yang biasanya dipahami dengan pengertian praktis. Kata
pragmatisme sering sekali di ucapkan orang. Orang-orang menyebutkan kata itu dalam pengertian praktis. Jika orang
berkata, rancangan ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu
kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian
pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian
pragmatisme.
Menurut teori
pramatisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab kita hanya
bisa mengetahui dari pengalaman kita saja. Di lain pihak, menurut teori
pragmatisme, teori koherensi adalah formal dan rasional, pragmatisme
berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apa pun tentang wujud, esensi,
intelektualitas, rasionalitas. Pragmatisme menentang otoritarianisme,
intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut
empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman.
Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kebenaran itu
dibuat dalam proses penyesuaian manusia (Ihsan, 2010).
Schiller (dalam Ihsan, 2010) pengikut
pragmatisme di Inggris mengemukakan bahwa “kebenaran merupakan suatu bentuk
nilai artinya apabila kita menyatakan benar terhadap sesuatu berarti kita
memberikan penilaian terhadapnya”. Istilah benar adalah sesuatu pernyataan yang
berguna, sedangkan istilah salah adalah pernyataan yang tidak berguna.
Kebenaran merupakan hasil sosial, artinya sebagai hasil hubungan osial.
Kebenaran individual dikontrol atau dikore
|
ksi di bawah pengaruh sosial, sampai
akhirnya kebenaran itu diterima secara umum.
Pragmatisme adalah aliran dalam
filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah
sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Kebenaran sifatnya menjadi
relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak
memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi
masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang
kedua. (Ihsan, 2010).
Para pendukung pragmatisme cenderung
memberikan penekanan pada tiga pendekatan (Sadulloh, 2003), yaitu:
1.
Bahwa
sesuatu itu dikatakan benar apabila memuaskan atau memenuhi keinginan dan
tujuan manusia. Kepercayaan akan kebenaran bukan hanya memberikan kepuasan bagi
seluruh sifat dasar manusia, melainkan juga memberikan kepuasan selama jangka
waktu tertentu.
2.
Bahwa
sesuatu itu dikatakan benar apabila dapat dikaji kebenarannya secara
eksperimen. Pengujian kebenaran ini selaras dengan semangat dan praktik sains
modern, baik dalam laboraturium maupun dalam kehidupan sehari-hari. Begitu
suatu kebenaran atau ketidakbenaran muncul, maka kita hendaknya mengujinya atau
membuktikannya.
3.
Bahwa
sesuatu itu dikatakan benar apabila membantu dalam perjuangan hidup bagi
eksistensi manusia. Instrumentalisme Dewey menekankan fungsi bagi kehidupan
dari ajaran serta ide-idenya
Kaum pragmatis dalam mencari kebenaran cenderung menggunakan metode
sains (ilmiah). Sebab metode ini dianggap berguna dalam menafsirkan gejala
alam. Kriteria pragmatisme banyak digunakan oleh ilmuwan untuk menentukan
kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karena menurut para pragmatisme
tidak ada kebenaran yang abadi dan mutlak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan,
dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu
kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan
ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah.
Teori yang dapat dijadikan acuan untuk
menetukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu:
1.
Kebenaran
Korespondesnsi
bahwa
kebenaran korespondensi ialah benarnya pemikiran karena terbuktinya sesuatu itu
relevan dengan sesuatu lain.
2.
Kebenaran
Koherensi
bahwa
kebenaran tidak dibentuk oleh hubungan antara putusan dengan sesuatu hal yang
lain, seperti dengan fakta, melainkan hubungan diantara putusan-putusan itu
sendiri.
3.
Pragmatisme
menurut teori
pramatisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab kita hanya
bisa mengetahui dari pengalaman kita saja.
Daftar pustaka
Ihsan Fuad. 2010. Filsafat
Ilmu.Jakarta : Rineka Cipta
Pokja Akademik. 2005. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Sadulloh, uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
alfabeta
Suriasumantri, jujun. 2012. Ilmu dalam
Perspektif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Susanto, A.
2011. Filsafat
Ilmu:suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ Bumi Aksara, Jakarta:2011.
Tim dosen filsafat ilmu UGM. 2007. Filsafat Ilmu. Liberty, Yogyakakta.
0 komentar:
Posting Komentar