ORGANISASI DALAM PROFESI KEPENDIDIKAN
A.
Konsep Dasar
Organisasi
1.
Pengertian
Organisasi
Secara sederhana organisasi dapat diartikan sebagai suatu
perserikatan orang-orang yang masing-masing diberi peranan tertentu dan
melaksanakan kegiatan sesuai dengan peranan tersebut bersama-sama secara
terpadu mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Organisasi dapat
didefinisikan dengan berbagai macam cara yang pada intinya mencakup berbagia
faktor yang menimbulkan organisasi yaitu kumpulan orang, ada kerja
sama, dan tujuan yang telah ditetapkan yang merupakan sistem yang saling
berkaitan dalam kebulatan.
2.
Bagian-Bagian
Pokok Organisasi
Berdasarkan konsep umum, terdapat bagian-bagian pokok dalam
organisasi dalam (Mudlofir, 2012: 229-230), yaitu:
a.
Kesatuan sosial, berarti organisasi terdiri dari kelompok (himpunan, perserikatan)
orang yang saling berinteraksi, saling tergantung satu sama lain dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam suatu kesatuan yang
bermakna bagi dirinya dan bagi organisasi.
b.
Struktur dan
koordinasi, berarti aktivitas orang-orang
dalam organisasi dirancang dan disusun dalam suatu pola tertentu yang
menggambarkan tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja setiap bagian, dan
hubungan kerja antar bagian. Pelaksanaan kegiatan setiap bagian tersebut
dilakukan secara bersama-sama, menyeluruh, seimban, dan terpadu.
c.
Batasan yang
dapat diidentifikasi. Setiap
organisasi mempunyai batasan yang membedakan antara anggota organisasi dan
bukan anggota organisai, siapa dan apa yang menjadi bagian dan bukan menjadi
bagian organisasi. Batasan organisasi dapat diidentifikasi melaui kontrak
perjanjian yang disepakati oleh anggota dan organisasi. Anggota organisasi
mempunyai ikatan dan berkontribusi secara terus menerus melakukan aktivitas
organisasi. Batasan organisasi juga dapat teridentifikasi melaui organisasi,
yang dilakukan oleh para anggotanya.
d.
Tujuan, organisasi timbul dan melakukan aktifitas untuk mencapai tujuan.
Tujuan organisasi mencakup juga tujuan individu-individu yang berada dalam
organisasi tersebut. Tujuan organisasi tidak dapat dicapai oelh orang-orang
yang berada di dalam organisasi secara sendiri-sendiri, tapi harus dilakukan
secara kerja sama yang saling mendukung secara berkelompok.
3.
Bentuk
Organisasi
Bentuk organisasi para pengemban tugas keprofesian itu ternyata
cukup bervariasi dipandang dari segi derajat kerataan dan keterikatan dengan/
dan antaranggotanya. Dalam bidang pendidikan, dapat ditemukan berbagai bentuk keorganisasian menurut (Mudlofir,
2012: 239) antara lain:
a.
Persatuan (union),
antara lain: PGRI, Australian Education Union, Singapore Teacher’s Union, Japan
Teacher’s Union.
b.
Federasi (federation), antara lain All India Federation of Teachers Organisations,
Bangladesh Teacher’s Federation, dll.
c.
Aliansi (alliance), antara lain Alliance of Concered Teachers, Philipina.
d.
Asosiasi (association), yang terdapat di kebanyakan Negara.
Ditinjau dari segi kategorisasi keanggotannya juga ternyata
menunjukkan corak keorganisasian yang bervariasi dalam (Mudlofir, 2012:
239-240), seperti menurut:
a.
Jenjang
pendidikan di mana mereka bertugas (dasar, menengah, dan perguruan tinggi).
b.
Status penyelenggaraan
kelembagaan pendidikan (negeri, swasta).
c.
Bidang studi/
keahlian (guru bahasa Inggris, matematika, dsb).
d.
Gender (wanita,
pria).
e.
Latar belakang
etnis (Cina, Tamil, Melayu, dsb).
Struktur dan kedudukan dipandang dari segi jangkauan wilayah
kerjanya juga ternyata beragam dan bersifat:
a.
Lokal
(kedaerahan, kewilayahan);
b.
nasional
(Negara);
c.
internasional.
B.
Struktur
Organisasi dalam Pendidikan
Mudlofir
(2012: 232) menjelaskan struktur organisasi mempunyai tiga komponen, yaitu:
1.
Kompleksitas mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalam organisasi.
Termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, jumlah
tingkatan di dalam hierarki organisasi serta tingkat sejauh mana unit-unit
organisasi tersebar secara geografis.
2.
Formalitas merupakan tingkat sejauh mana sebuah organisasi menyandarkan
dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur perilaku dari para
pegawainya.
3.
Sentralisasi mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan.
Sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua ujung dari sebuah rangkaian
kesatuan. Organisasi cenderung untuk desentralisasi atau cenderung
didesentralisasi. Namun, menetapkan letak organisasi di dalam rangkaian
keputusan tersebut merupakan salah satu faktor utama di dalam menentukan apa
jenis struktur yang ada.
Menurut Purwanto (2012), struktur
organisasi pendidikan yang pokokada dua macam, yaitu sentralisasi dan beberapa
bagian masih diselenggarakan secara desentralisasi. Pada umumnya, struktur
campuran inilah yang berlaku dikebanyakan Negara dalam menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran bagi bangsanya.
1.
Struktur
Sentralisasi, Di Negara-negara yang organisasi pendidikannya di jalankan secara
sentral, yakni kekuasaan dan tanggung jawabnya dipusatkan pada suatu badan di
pusat pemerintahan maka pemerintah daerah kurang atau sama sekali tidak
mengambil bagian dalam administrasi apapun.
2.
Struktur
Desentralisasi Di negara-negara yang organisasi pendidikannya desentralisasi,
pendidikan bukan lagi menjadi urusan pemerintah pusat, melainkan menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah dan rakyat setempat. Penyelenggaran dan
pengawasan sekolah-sekolah pun berada sepenuhnya dalam tangan penguasa daerah.
C.
Peran dan Jenis
Organisasi Asosiasi Profesi Keguruan
1.
Peran organisasi profesional keguruan
a.
Fungsi
Organisasi Profesi Kependidikan
Organisasi kependidikan selain sebagai cirri suatu profesi
kependidikan, sekaligus juga memiliki fungsi sebagai pemersatu seluruh anggota
dalam kiprahnya menjalankan tugasnya, dan memiliki fungsi peningkatan kemampuan
professional, kedua fungsi tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :
1)
Fungsi
pemersatu
Dorongan yag menggerakkan pada professional untuk membentuk suatu
organisasi keprofessian. Secara intrinstik, para professional terdorong oleh
keinginanya mendapatkan kehidupan yang layak, sesuai dengan profesi yang
diembannya. Kedua motif tersebut sekaligus merupakan tantangan bagi
pengembangan suatu profesi yang secara teoritas sangat sulit dihadapi dan
diselesaikan.
2)
Fungsi
Peningkatan Kemampuan Profesional
Fungsi ini telah tertuang dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 yang
berbunyi ; “ Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah
untuk peningkatkan dan mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan
professional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan. Menurut Johnson
(Galih, 2010), kompetensi kependidikan dibangun oleh enam perangkat kompetensi
berikut ini :
a)
Performance
component, yaitu unsur kemampuan penampilankinerja
yang sesuai dengan profesi kependidikan.
b)
Subject
component, yaitu unsur kemampuan penguasaan
bahan/substansi pengetahuan yang relevan.
c)
Profesional
component, yaitu unsur kemampuan penguasaan
subtansi pengetahuan dan ketarampilan teknis profesi kependidikan.
d)
Process
component, yaitu unsur kemampuan penguasaan
proses-proses mental mencakup berpikir logis dalam pemecahan masalah.
e)
Adjustment
component, yaitu unsur kemampuan penyerasian
dan penyesuaian diri berdasarkan karakteristik pribadi pendidik.
f)
Attitudes
component, yaitu unsur komponen sikap, nilai,
kepribadian pendidik/guru.
b.
Tujuan
Organisasi Profesi Kependidikan
Menurut visinya secara umum ialah terwujudnya tenaga kependidikan
yang professional. Sedangkan tujuan organisasi profesi kependidikan menurut
Galih (2010) yaitu:
1)
Meningkatkan
dan mengembangkan karier anggota, hal itu merupakan upaya organisasi dalam
bidang mengembangkan karir anggota sesuai bidang pekerjannya.
2)
Meningkatkan
dan mengembangkan kemampuan anggota, merupakan upaya terwujudnya kompetensi
kependidikan yang handal pada diri tenaga kependidikan
3)
Meningkatkan
dan mengembangkan kewenangan profeional anggota merupakan upaya para
professional untuk menempatkan anggota suatu profesi sesuai kemampuan.
4)
Meningkatkan
dan mengembangkan martabat anggota, merupakan upaya organisasi profesi
kependidikan agar anggotanya terhindar dari perlakuan tidak manusiawi.
5)
Meningkatkan
dan mengembangkan kesejahteraan merupakan upaya organisasi profesi kependidikan
untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin anggotanya.
2.
Jenis-jenis organisasi keguruan
a.
Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI)
PGRI lahir pada 25
November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal
organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB)
tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun
1932. Pada saat didirikannya, organisasi ini disamping memiliki misi profesi
juga ada tiga misi lainnya, yaitu misi politis-deologis, misi peraturan organisaoris,
dan misi kesejahteraan (Lisdiana, 2013).
Misi profesi PGRI
adalah upaya untuk meningkatkan mutu guru sebagai penegak dan pelaksana
pendidikan nasional. Guru merupakan pioner pendidikan sehinnga dituntut oleh
UUSPN tahun 1989: pasal 31; ayat 4, dan PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 agar
memasuki organisasi profesi kependidikan serta selalu meningkatkan dan
mengembagkan kemampuan profesinya. Misi politis-deologis tidak lain dari
upaya penanaman jiwa nasionalise, yaitu komitmen terhadap pernyataan bahwa kita
bangsa yang satu yaitu bangsa indonesia, juga penanaman nilai-nilai luhur
falsafah hidup berbangsa dan benegara, yaiitu panca sila. Itu sesungguhnya misi
politis-ideologis PGRI, yang dalam perjalanannya dikhawatirkan terjebak dalam
area polotik praktis sehingga tidak dipungkiri bahwa PGRI harus pernah menelan
pil pahit, terperangkap oleh kepanjangan tangan orde baru. Misi peraturan
organisasi PGRI merupakan upaya pengejawantahan peaturan keorgaisasian ,
terutama dalam menyamakan persepsi terhadap visi, misi, dan kode etik keelasan
sruktur organisasi sangatlah diperlukan (Lisdiana, 2013).
Dipandang dari segi
derajat keeratan dan keterkaitan antaranggotanya, PGRI berbentuk persatuan (union).
Sedangkan struktur dan kedudukannya bertaraf nasional, kewilayahan, serta
kedaerahan. Keanggotaan organisasi profesi ini bersifat langsung dari setiap
pribadi pengemban profesi kependidikan. Kalau demikian, sesunguhnya PGRI
merupakan organisasi profesi yang memiliki kekuatan dan mengakar diseluruh
penjuru indonesia. Arrtinya, PGRI memiliki potensi besar untuk meningkatkan
hakikat dan martabat guru, masyarakat, lebih jauh lagi bangsa dan negara
(Lisdiana, 2013).
b. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
MGMP merupakan suatu
wadah asosiasi atau perkumpulan bagi gurumata pelajaran yang berada di suatu
sanggar/kabupaten/kota yang berfungsisebagai sarana untuk saling berkomunikasi,
belajar dan bertukar pikiran danpengalaman dalam rangka meningkatkan kinerja
guru sebagai praktisi/perilaku perubahan reorientasi pembelajaran di kelas. MGMP
merupakan forum atauwadah profesional guru mata pelajaran yang berada pada
suatu wilayah kebupaten/kota/kecamatan/sanggar/gugus sekolah (Lisdiana, 2013).
Tujuan
diselenggarakannya MGMP menurut pedoman MGMP (Lisdiana, 2013) adalah:
1) Tujuan umum.
Tujuan MGMP adalah
untuk mengembangkan kreativitas dan inovasidalam meningkatkan profesionalisme
guru.
2) Tujuan khusus
a) Memperluas wawasan dan pengetahuan guru mata pelajaran dalamupaya
mewujudkan pembelajaran yang efektif dan efisien.
b) Mengembangkan kultur kelas yang kondusif sebagai tempat prosespembelajaran
yang menyenangkan, mengasyikkan dan mencerdaskansiswa.
c) Membangun kerjasama dengan masyarakat sebagai mitra guru dalammelaksanakan
proses pembelajaran.
c.
Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia (ISPI)
Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia (ISPI) lahir pada pertengahan tahun 1960-an. Pada awalnya organisasi
profesi kependidikan ini bersifat regional karena berbagai hal menyangkut
komunikasi antaranggotanya. Keadaan
seperti ini berlangsung cukup lama sampai kongresnya yang pertama di Jakarta
17-19 Mei 1984 (Lisdiana, 2013).
Kongres tersebut
menghasilkan tujuh rumusan tujuan ISPI, yaitu:
1) Menghimpun para sarjana pendidikan dari berbagai spesialisasi di seluruh
Indonesia.
2) meningkatkan sikap dan kemampuan profesional para angotanya.
3) membina serta mengembangkan ilmu, seni dan teknologi pendidikan dalam
rangka membantu pemerintah mensukseskan pembangunan bangsa dan Negara.
4) mengembangkan dan menyebarkan gagasan-gagasan baru dan dalam bidang ilmu,
seni, dan teknologi pndidikan.
5) meindungi dan memperjuangkan kepentingan profesional para anggota.
6) meningkatkan komunikasi antaranggota dari berbagai spesialisasi pendidikan
dan menyelenggarakan komunikasi antarorganisasi yang relevan (Lisdiana, 2013).
Pada perjalanannya ISPI
tergabung dalam Forum Organisasi Profesi Ilmiah (FOPI) yang terlealisasikan
dalam bentuk himpunan-himpunan. Yang tlah ada himpunannya adalah Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu Sosial Indonesia (HISPIPSI), Himpunan Sarjana
Pendidikan Ilmu Alam, dan lain sebagainya (Lisdiana, 2013).
d.
Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI)
Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) didirikan di Malang pada tanggal 17 Desember 1975.
Organisasi profesi kependidikan yang bersifat keilmuan dan profesioal ini
berhasrat memberikan sumbangan dan ikut serta secara lebih nyata dan positif
dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai guru pembimbing.
Organisasi ini merupakan himpunan para petugas bimbingan se Indonesia dan
bertujuan mengembangkan serta memajukan bimbingan sebagai ilmu dan profesi
dalam rangka peningkatan mutu layanannya (Lisdiana, 2013).
Secara rinci tujuan
didirikannya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) adalah sebagai berikut
ini.
1) Menghimpun para petugas di bidang bimbingan dalam wadah organisasi.
2) Mengidentifikasi dan mengiventarisasi tenaga ahli, keahlian dan
keterampilan, teknik, alat dan fasilitas yang telah dikembangkan di Indonesia
di bidang bimbingan, dengan demikian dimungkinkan pemanfaatan tenaga ahli dan
keahlian tersebut dengan sebaik-baiknya.
3) Meingatkan mutu profesi bimbingan, dalam hal ini meliputi peningkatan
profesi dan tenaga ahli, tenaga pelaksana, ilmu bimbingan sebagai disiplin,
maupun program layanan bimbingan (Anggaran Rumah Tangga IPBI, 1975).
Untuk menopang pencapaian tujuan tersebut dicanangkan empat kegiatan,
yaitu:
1) Pengembangan ilmu dalam bimbingan dan konseling;
2) Peningkatan layanan bimbingan dan konseling;
3) Pembinaan hubungan dengan organisasi profesi dan lembaga-lembaga lin, baik
dalam maupun luar negeri; dan
4) Pembinaan sarana (Anggaran Rumah Tangga IPBI, 1975).
Kegiatan pertama dijabarkan kembali dalam anggaran
rumah tangga (ART IPBI, 1975) sebagai berikut ini.
1) Penerbitan, mencakup: buletin Ikatan Petugas Bmbingan Indoesia dan brosur
atau penerbitan lain.
2) Pengembangan alat-alat bimbingan dan penyebarannya.
3) Pengembangan teknik-teknik bimbingan dan penyebarannya.
4) Penelitian di bidang bimbingan.
5) Penataran, seminar, lokakarya, simposium, dan kegiatan-kegiatan lain yang
sejenis.
6) Kegiatan-kegiatan lain untuk memajukan dan mengembangkan bimbingan.
D.
Tantangan
Organisasi Profesi Guru Di Era Globalisasi
1.
Keadaan yang
Ditemui
Suatu
perkembangan yang menggembirakan muncul menyusul keluarnya Undang-undang Rep.
Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dalam UU
tersebut, tenaga kependidikan mendapat perhatian yang amat besar, melebihi
bidang-bidang lain. Ada 6 pasal (pasal 39 s/d 44) terdiri atas17 ayat, yang
secara khusus menyangkut tenaga kependidikan. Ini menunjukan bahwa kedudukan
tenaga kependidikan begitu penting dalam rangka upaya memajukan pendidikan
secara keseluruhan. Bagi profesi kependidikan, UU tentang SPN mempunyai arti
yang sangat penting, karena dalam undang-undang ini profesi kependidikan telah
jelas dasar hukumnya, bahkan pekerjaan guru secara tegas telah dilindungi keberadaannya.Gagasan
yang mendasar yang terkandung UU tentang SPN dalam kaitannya dengan tenaga
kependidikan ialah perlindungan dan pengakuan yang lebih pasti terhadap jabatan
guru khususnya dan tenaga kependidikan umumnya. Profesi-profesi ini secara
tegas akan dilindungi, dihargai, diakui, dan dijamin keberadaannya secara
hukum. Perlindungan itu secara eksplisit dikemukakan dalam pasal 42 yang
menyatakan bahwa pendidikan harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi
sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar (Lisdiana, 2013).
2.
Permasalahan
yang Ada
Menurut
Lisdiana (2013) permasalahan pokok yang dihadapi profesi guru dan juga
organisasi profesi guru masa sekarang ini adalah sebagai berikut :
a.
Penjabaran yang
operasional tentang ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam peraturan yang
berlaku yang berkenaan dengan profesi guru beserta kesejahteraannya, seperti
keputusan MENPAN No.26 tahun 1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam
Lingkungan Departemen pendidikan dan Kebudayaan.
b.
Peningkatan
unjuk kerja guru melalui perbaikan program pendidikan guru yang lebih terarah,
yang memelihara keterpaduan antara pengembangan profesional dengan pembentukan
kemampuan akademik guru, dengan memberikan peluang kepada setiap calon guru
untuk melatih unjuk kinerjanya sebagai calon guru yang profesional.
c.
Proses
profesionalisme guru melalui sistem pengadaan guru terpadu sejak pendidikan
prajabatan, pengangkatan, penempatan, dan pembinaannya dalam jabatan.
d.
Penataan
organisasi profesi guru yang diarahkan kepada bentuk wahana untuk pelaksanaan
profesionalisasi guru, dan dapat memberikan batasan yang jelas mengenai
profesi guru dan profesi lainnya.
e.
Penataan
kembali kode etik guru, terutama yang berkenaan dengan rambu-rambu prilaku
profesional yang tegas, jelas, dan operasional, serta perumusan sanksi-sanksi
terhadap penyimpangannya.
f.
Pemasyarakatan
kode etik guru ditetapkan oleh setiap guru dan diindahkan oleh masyarakat
rekanan, sehingga tumbuh penghargaan dan pengakuan yang wajar terhadap profesi
guru itu.
3.
Pengembangan
Organisasi Keguruan
PGRI
sebagai organisasi profesi perlu penekanan upaya penataan dan peningkatan dalam
bidang misi profesi dari PGRI. Dalam hal ini perlu dikembangkan kerangka
konseptual yang memadai dan terarah untuk melandasi program kerja mengenai
pengembangan profesi itu. Kerangka konsep itu seyogyanya diselaraskan dengan
patokan-patokan profesional dan akademik yang digunakan sebagai dasar
pengembangan standar unjuk kerja, pengembangan progran kependidikan guru, dan
penataan proses profesionalisasi guru berdasarkan pendekatan pengadaan guru
terpadu. Kekolegaan profesional guru sebagai suatu kesadaran profesional
merpakan keharusan bagi setiap guru sebagai konsekuensi kesediaan untuk
menerima tanggung jawab individual dan kolektif. Kekolegaan ini hanya dapat
terwujud jika dituangkan dalam kode etik yang operasional dan diakui oleh
pemerintah danmasyarakat yang tertuang dalam peraturan atau undang-undang
seperti dalamUU tentang SPN (Lisdiana, 2013).
KEPIMIMPINAN
DALAM PROFESI PENDIDIKAN
A. Konsep
Dasar Kepemimpinan
Dalam seluruh aspek kegiatan yang dilakukan manusia
secara bersama-sama membutuhkan kepemimpinan. kepemimpinan diterjemahkan ke
dalam istilah sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain,
pola-pola interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan dan satu
jabatan administrative, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh
(Wahjosumidjo, 2005 : 16). Banyaknya konsep definisi
kepemimpinan yang berbeda, hamper
menurut Joseph C. Rost (1993) dalam Wahjosumidjo, (2005 : 18) sebanyak jumlah orang yang telah berusaha
untuk mendefinisikannya. Untuk lebih mempermudah pemahaman kita, maka akan
diacu satu definisi yang kiranya mampu menjadi landasan untuk membahas konsep
kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling
mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan
perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya.
Banyak
definisi-definisi yang muncul tentang kepemimpinan dari para ahli tersebut,
sehingga dari definisi-definis tersebut mengandung kesamaan asmusi yang
bersifat umum, seperti:
a. Di
dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih
b. Di
dalam melibatkan proses mempengaruhi, di mana pengaruh yang sengaja (intentional influence) digunakan oleh
pemimpin terhadap bawahan.
Syarat-syarat
kepemimpinan :
Konsepsi mengenai persyaratan kepemimpinan itu harus
selalu dikaitkan dengan tiga hal penting yaitu :
a. Kekuasaan
ialah kekuatan, otoritas, dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin
guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu.
b. Kewibawaan
ialah kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang mampu “mbawani”atau mengatur orang lain,
sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin, dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan
tertentu.
c. Kemampuan
ialah segala daya, kesanggupan kekuatan, dan kecakapan/ketrampilan teknis
maupun social, yang dianggap melebihi dari kemampuan anggota biasa.
B. Macam-Macam
Gaya Kepemimpinan
1. Tipe
otoriter
Menurut Lamberi dan Indrafachrudi (1983:49), pada tipe kepemimpinan
otoriter, semua kebijaksanaan ditetapkan oleh pemimpin sendiri dan pelaksanaan
dilakukan oleh bawahannya. Semua perintah, pemberian dan pembagian tugas
dilakukan tanpa mengadakan konsultasi sebelumnya dengan bawahannya. Anggota-anggota
staf harus menerima tugas-tugas tersebut tanpa ada kebebasan untuk menimbang
buruk baiknya akibat positif-negatif yang timbul. Mereka harus patuh dan setia
pada pemimpin secara mutlak. Kehendak dan perintah pemimpin adalah kehendak
dari organisasi (lembaga) kerja itu.
Dampak negatif dari gaya kepemimpinan otoriter adalah potensi-potensi
yang sebenarnya ada dan dimilki oleh masing-masing anggota staf kerja tidak
bangkit, tidak tergugah dan tidak tersalur secara kreatif. Suasana kerjasama yang
dinamis dan kreatif dikalangan anggota-anggota staf akan memudahkan pemecahan
setiap problema yang dihadapi akan hilang karena situasi kepemimpinan.
2. Tipe
Laissez Faire
Lebih lanjut Lamberi dan Indrafachrudi (1983:53) menyatakan pada tipe
kepemimpinan Laissez Faire, pemimpin memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada masing-masing anggota staf untuk apa saja yang akan dikerjakan untuk
pelaksanaan tugas-tugas jabatan mereka. Mereka mengambil keputusan-keputusan,
penetapan prosedur kerja, penetapan dengan siapa dia hendak bekerjasama.
Pemimpin tipe seperti ini akan menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya
untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, setelah
menerangkan tujuan. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya dengan
tidak terlalu jauh ikut campur atau mengambil inisiatif. Semua pekerjaan
tergantung inisiatif dan prakarsa dari bawahannya. Dengan demikian, pemimpin
dianggap cukup memberikan kesempatan pada para bawahannya untuk bekerja bebas
tanpa kekangan.
Suasana
kerja yang demikian akan menimbulkan dampak negatif diantaranya adalah timbul
kekacauan-kekacauan, tabrakan, konflik, dan kesimpang-siuran kerja dan wewenang
karena pemimpin sama sekali tidak berperan menyatukan, mengarahkan,
mengkoordinasi, dan menggerakkan agar setiap anggota kelompok yang memiliki cita-sita, sifat dan
karakteristik yang berbeda dapat bekerjasama dengan baik.
3. Tipe
demokratis
Asmani
(2009:102) menyatakan bahwa pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai
bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha
bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya. Setiap anggota dianggap
sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.
Menurut Kartono (2010 : 86), kekuatan kepemimpinan demokratis bukan terletak
pada sosok individu pemimpin itu sendiri, tetapi terletak pada partisipasi
aktif anggota staf. Kepemimpinan demokratis adalah pemimpin yang menghargai
potensi setiap individu, tidak segan mendengarkan masukan dari bawahan, bersedia
mengakui keahlian anggotanya dalam bidangnya masing-masing dan mampu
memanfaatkan kapasitas anggotanya seefektif mungkin. Dengan demikian, pemimpin
demokratis berfungsi sebagai katalisator yang berfungsi untuk mempercepat
dinamisme dan kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara yang
paling cocok dengan jiwa kelompok dan situasinya.
4. Tipe
Karismatis
Tipe karismatis menurut Kartono (2010 :
81), merupakan pemimpin yang memiliki energi dan pembawaan yang mampu
mempengaruhi orang lain sehingga mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya.
Pemimpin tipe karismatis memiliki inspirasi, keberanian, dan memiliki keyakinan
teguh terhadap pendiriannya sendiri. Totalitas kepribadian pemimpin inilah yang
memancarkan pengaruh daya tarik yang kuat. Contoh tokoh besar yang memiliki
tipe karismatis adalah Adolf Hitler, Mahatma Gandhi, John F. Kennedy, Bung
Karno dan lain-lain.
5. Tipe
Paternalis
Tipe paternalis menurut Kartono (2010 : 82), merupakan tipe kepemimpinan
kebapakan. Pemimpin tipe ini menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum
dewasa, bersikap terlalu melindungi (over
protective), jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil
keputusan sendiri, selain itu pemimpin tipe paternalis hampir tidak pernah
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk berinisiatif dan menganggap
dirinya maha tahu dan maha benar.
6. Tipe
Militernis
Lamberi dan
Indrafachrudi (1983:62) menyatakan bahwa pemimpin tipe militernis memiliki
sifat menggerakkan bawahannya dengan memerintah, jabatan dan pangkat memegang
peranan, formalitas yang berlebihan, tidak mau dikritik serta menerapkan
disiplin yang sangat tinggi dan kaku. Pemimpin tipe militernis juga senang
mengadakan upacara-upacara, ritual, dan tanda kebesaran yang berlebihan.
Komunikasi antara atasan dan bawahan hanya berlangsung searah saja.
7. Tipe
Populistis
Kepemimpinan
populistis menurut Profesor Peter Worsley dalam Kartono (2010 : 85), merupakan
kepemimpinan yang dapat membangun solidaritas rakyat, misalnya Soekarno dengan
ideologi marhaenisme-nya yang menekankan
pada masalah kesatuan nasional, nasionalisme, dan sikap yang berhati-hati
terhadap kolonialisme dan penindasan-penghisapan serta penguasaan oleh kekuatan
asing.
Kepemimpinan
populistis ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal,
kurang mempercayai dukungan serta bantuan hutang-hutang luar negeri.
Kepemimpinan ini mengutamakan penghidupan kembali nasionalisme.
8. Tipe
Administratif atau Eksekutif
Kepemimpinan
tipe administratif adalah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas
administrasi secara efektif. Para pemimpinnya terdiri dari teknokrat dan
administratur yang mampu menggerakkan modernisasi dan pembangunan sehingga
dapat membangun administrasi dan birokrasi yang efisien untuk memantapkan
integritas bangsa pada khususnya dan usaha pembangunan pada umumnya (Kartono,
2010 :85).
C. Peran
Dan Sifat-Sifat Seorang Pemimpin
Allah SWT
berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya:” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. 33:21)
Dalam dakwatuna.com, sebagai bagian dari umat
Rasulullah, maka sudah sepatutnya pemimpin memiliki sebuah Visi Kelangitan.
Sebuah visi yang mengikat kesehatan spiritual jiwa sehingga mampu untuk terus
mendekatkan dirinya pada Allah SWT. Bersumber dari Visi Kelangitan inilah yang
nantinya dapat membawa seorang pemimpin mampu mengatasi setiap permasalahan
yang sedang dihadapinya dengan adanya ketenangan, kesabaran, serta kemantapan
hati yang datangnya dari Allah SWT sebagai sebuah bentuk pertolongan yang Allah
berikan. Selain itu, adanya Visi Kelangitan yang ditanam di dalam dirinya,
mampu menjadikan seorang pemimpin membawa momentum perubahan bagi dirinya dan
bagi lingkungannya. Inilah sosok pemimpin yang menjadi ideal bagi masa kini,
pemimpin yang mampu membawa pada perubahan kebaikan bagi dirinya, orang lain,
bahkan bagi lingkungannya. Semoga selalu dapat kita ingat, sebuah Visi
Kelangitan yang pernah Rasulullah sampaikan pada pamannya, ketika Beliau
diminta untuk menghentikan dakwah Islamnya, Rasulullah menjawab
“Paman, demi
Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan
bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini,
sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang membuktikan kemenangan
itu di tanganku atau aku binasa karenanya.”
Inilah visi
Rasulullah yang membawa beliau dan umat Islam di kala itu terus maju membawa
Islam hingga pada akhirnya Islam mampu berkembang sampai saat ini. Maka oleh
sebab itulah, marilah kita terus berbenah karena sebenarnya kita adalah
pemimpin-pemimpin bagi diri kita sendiri, berbenah menuju pada arah kebaikan,
dan berbenah dengan menjadikan Islam sebagai manhaj kehidupan yang bersumber
pada Al Quran dan As Sunnah, hingga pada akhirnya kita pun dapat menjadi
pemimpin ideal di masa mendatang, yang tidak hanya membawa rahmat bagi diri
kita sendiri melainkan bagi seluruh alam semesta, dan tentunya dengan
mengharapkan Surga Allah kelak, ketika pertanggungjawaban amanah sebagai
pemimpin itu, Allah tanyakan di Yaumul Akhir (dakwatuna.com).
Sebagai seseorang pemimpin tentunya harus
memiliki sifat-sifat tertentu, karena untuk menilai gagalnya pemimpin bisa
melalui upaya mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas atau mutu
perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinanya. Pada
perkembanganya munculah sebuah teori-teori oleh para ahli, yang disebut sebagai
the traitist theory of leadership (teori
sifat atau kesifatan dari kepemimpinan) diantara para penganut teori ini adalah
Ordway Tead dan George R Terry (Kartono, 2010:44-47).
Ordway Tead dalam Kartono, (2010:44-47)
mengemukakan 10 sifat, yaitu sebagai berikut:
1. Energi Jasmaniah dan Mental (Physical And Nervous Energy)
Hampir setiap pribadi pemimpin memiliki tenaga
jasmani dan rohani yang luar biasa, mereka memiliki daya tahan, keuletan, dan
tenaga yang istimewa yang sepertinya tidak pernah habis. Hal ini ditambah lagi
dengan kekuatan-kekuatan mental berupa semangat juang, motivasi kerja, disiplin,
kesabaran, keinginan, ketahanan batin dan kemauan yang luar biasa dalam
mengatasi semua permasalahan yang dihadapi.
2. Kesadaran Akan Arah Dan Tujuan (a sense of purpose and direction)
Seorang pemimpin mempunyai
keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan dari segala perilaku yang
dikerjakan, dia tahu persis kemana arah yang akan ditujunya, serta pasti member
kemanfaatan bagi diri sendiri maupun kelompoknya. Tujuan tersebut haruslah
benar dan berguna bagi kebutuhan maupun berjalanya organisasi atau kelompok
yang dipimpinya.
3. Antusiasme
Sebagai seorang pemimpin harus
berantusias dalam menjalankan kepemimpinya, karena pekerjaaan yang dilakukan
bersama organisasi yang dibawahinya merupakan pekerjaan yang memberikan nilai
dan harapan-harapan yang menyenangkan serta berharap apa yang dikerjakanya
menuai kesuksesan, hal itu akan dapat membangkitkan semangat besar pada diri
pribadi pemimpin maupun para anggota kelompok.
4. Keramahan dan Kecintaan
(Friendliness And Affection)
Affection itu berarti kesayangan,
kasih sayang, cinta, simpati yang tulus, disertai kesediaan berkorban bagi
pribadi-pribadi yang disayangi. Sebab pemimpin ingin membuat mereka senang,
bahagia dan sejahtera. Maka kasih sayang dan dedikasi pemimpin bisa menjadi
tenaga penggerak yang positif untuk melakukan perbuatan yang menyenangkan bagi
semua pihak.
Sedang keramah-tamahan akan membuat
kenyamanan dihati orang lain, dengan memberikan kenyamanan pada bawahan, maka
hati yang tadinya tertutup akan tergerak dan terpengaruh untuk menjalankan roda
organisasi
5. Integritas
Pemimpin itu harus bersifat
terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa dan seperasaan dengan anak buahnya bahkan
merasa senasib dan seperjuangan, karena itu pemipin akan memberikan pelayanan
dan pengorbanan kepada para pengikutnya. Sedang kelompok yang dituntun menjadi
semakin percaya dan semakin menghormati pemimpinya. Dengan segala ketulusan
hati dan kejujuran, pemimpin memberikan ketauladanan, agar dia dipatuhi dan
diikuti oleh anggota kelompoknya.
6. Penguasaan Teknis
Setiap pemimpin harus memiliki
satu atau beberapa kemahiran teknis tertentu, agar ia mempunyai kewibawaan dan
kekuasaan untuk memimpin kelompoknya,
selain kemahiran teknis seorang pemipin juga harus memiliki kemahiran
sosial untuk memimpin serta memberikan tuntunan yang tepat dan bijaksana, agar
setiap anggota yang dipimpinnya dapat memberikan sumbangsi serta produktivitas
dan efektivitas kerjanya.
7. Ketegasan dalam mengambil
keputusan
Pemimpin yang berhasil itu pasti
dapat mengambil keputusan secara tepat, tegas dan cepat sebagai hasil dari
kearifan sebagai hasil dari kearifan dan pengalamanya. Selanjutnya dia mampu
meyainkan para anggotanya akan kebenaran keputusanya, sehingga para anggotanya
akan mendukung kebijakan yang ia putuskan. Seorang pemimpin juga harus
menampilkan ketetapan hati dan tanggung jawab, agar ia selalu dipatuhi oleh
bawahanya.
8. Kecerdasan
Kecerdasan yang perlu dimiliki
oleh seorang pemimpin adalah keampuan dalam memahami dan memahami dengan baik,
mengerti sebab dan akibat dinamika organisasi, menemukan permasalahan serta
solusi dengan cepat. Karena itu dengan kecerdasan yang dipunyai oleh seorang
pemimpin akan membuat permasalahan terselesaikan dengan cepat serta efektif.
9. Keterampilan mengajar (teaching skill)
Pemimpin yang baik itu adalah
seorang guru yang mampu menuntun, mendidik, mengarahkan, mendorong dan
menggerakan anak buahnya untuk berbuat sesuatu. Disamping mendidik dan
mengarahkan “muridnya”, seorang pemipin juga bertugas untuk mengawasinya, agar
tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.
10. Kepercayaan
Keberhasilan seorang pemimpin itu
umumnya selalu didukung oleh epercayaan dari para anggotanya, kepercayaan akan
integritas, kepercayaan akan diarahkan dengan baik dan sebagainya. Kepecayaan
ini akan dapat memadukan antara pemimpin dan anggota kelompoknya untuk mengarah
pada tujuan yang sudah dicanangkan bersama.
D. Kepemimpinan
dalam Pendidikan (Kepala Sekolah, Guru, Pengawas)
1.
Kepemimpinan
Pengawas
Pengawas sekolah menurut
Sagala (2012:138) merupakan tenaga kependidikan profesional yang diberi tugas,
tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melakukan pembinaan, pengawasan, dalam bidang akademik (teknis pendidikan) dan
bidang manajerial (pengelolaan sekolah). Pengawas sekolah salah satu jabatan
resmi bidang pendidikan yang ada di Indonesia, untuk melakukan pemantauan
pelaksanaan manajemen sekolah dan pelaksanaan belajar mengajar dikelas. Jabatan
pengawas sekolah adalah jabatan fungsional dari Dinas Pendidikan kabupaten atau
kota. Jabatan pengawas memiliki tugas untuk melakukan inspeksi dan supervise
pada lembaga satuan pendidikan mengenai manajemen sekolah dan akademik.
Keterampilan yang dimiliki pengawas sekolah adalah
a.
Keterampilan
manajerial, karena dalam keterampilan manajerial fungsi pengawasan adalah
bagian dari fungsi manajemen,
b.
Keterampilan
akademik, dalam penerapan keterampilan akademik pengawas sekolah melakukan
pengawasan dan pembinaan dalam pelaksanaan pembelajaran.
Lebih
lanjut menurut Sagala (2012:154), pengawasan manajerial yang dilakukan pengawas
sekolah adalah memberikan pembinaan, penilaian, dan bantuan atau bimbingan
mulai dari penyusunan rencana program sekolah berbasis data sekolah, proses
pelaksanaan program berdasarkan sasaran, sampai dengan penilaiaan program yang
ditargetkan. Bantuan ini dilakukan pengawas sekolah kepada kepala sekolah dan
seluruh staf sekolah. Maka atas dasar kegiatan ini, maka kegiatan pengawas
sekolah adalah melakukan pembinaan manajerial dalam hal pengembangan kualitas
sekolah sesuai dengan otonomi dan penerapan manajemen berbasi sekolah.
Pengawasan
akademik pengawas sekolah merupakan upaya untuk menungkatkan prestasi belajar
dan mutu sekolah. Pengawasan akademik sering disebut pula Instructional Supervision atau Instructional
Leadership, yang mengkaji, menilai dan memperbaiki, meningkatkan, dan
mengembangkan mutu kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru melalui
pendekatan bimbingan dan konsultasi dalam nuansa dialog professional. Fokus
pengawasan akademik menurut Ofsted (2005) dalam Sagala (2012:154) adalah
standard prestasi yang diraih siswa, kualitas layanan siswa di sekolah
(efektifitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah, kualitas
bimbingan siswa) dan kepemimpinan dan manajemen sekolah yang efektif mengenai
pembelajaran.
2.
Kepala Sekolah
Sebagai Pemimpin
Kepala sekolah mempunyai tugas yang sangat penting dalam mendorong
tugas guru untuk melakukan tugas pembelajaran guna menumbuhkan kemampuan
kreatifitas, daya inovatif, kemampuan pemecahan masalah, berpikir kritis dan
memiliki naluri jiwa kewirausahaan bagi siswa sebagai produk suatu sistem
pendidikan, sehingga diharapkan dapat menjadi acuan peningkatan kompetensi
kepala sekolah sesuai yang diamanahkan dalam Permendiknas No 13 Tahun 2007
(Daryanto, 2011: 66).
Menurut
Daryanto (2011:66), kepemimpinan merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Banyak model kepemimpinan yang dapat
dianut dan diterapkan dalam berbagai organisasi ataun institusi, baik profit
maupun non profit, namun model kepemimpinan yang paling cocok untuk diterapkan
di sekolah adalah kepemimpinan.
Menurut Stronge (1998) dalam Daryanto (2011:66 – 67), menunjukkan
bahwa dari seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kepala sekolah, hanya
10% yang dialokasikan untuk kepemimpinan pembelajaran. Sampai sekarang pun
banyak kepala sekolah yang masih menyeimbangkan perannya sebagai manager,
administrator, supervisor, dan instructional leader (kepemimpinan
pembelajaran).
Kepemimpinan
pembelajaran yang efektif menurut Petterson (1993) dalam Daryanto (2011:68)
yaitu :
a.
Kepala sekolah
mensosialisasikan dan menanamkan isi dan makna visi sekolahnya dengan baik.
b.
Kepala sekolah
melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sekolah (manajemen
partisipatif).
c.
Kepala sekolah
memberikan dukungan terhadap pembelajaran, memfokuskan kepentingan belajar
siswa menjadi prioritas.
d.
Kepala sekolah
melakukan pemantauan terhadap proses belajar mengajar sehingga memahami lebih
mendalam dan menyadari apa yang sedang berlangsung di dalam sekolah.
e.
Kepala sekolah
berperan sebagai fasilitator sehingga dengan berbagai cara dapat mengetahui
kesulitan pembelajaran dan dapat membantu guru dalam mengatasi kesulitan
belajar tersebut.
Sehingga
kepemimpinan pembelajaran adalah kepemimpinan yang memfokuskan atau menekankan
pada pembelajaran yang komponen-komponennya meliputi kurikulum, proses belajar
mengajar, asesmen (penilaian hasil belajar), penilaian serta pengembangan guru,
layanan prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah.
Tujuan utama kepemimpinan pembelajaran adalah memberikan layanan prima kepada
semua siswa agar mereka mampu mengembangkan potensi kualitas dasar dan kualitas
instrumentalnya untuk menghadapi masa depan yang belum diketahui dan sarat
dengan tantangan - tantangan yang sangat turbulen (Daryanto, 2011 : 69 – 70).
Pada sekolah - sekolah yang mempunyai kemandirian dan otonomi
tinggi, maka ciri – ciri kepemimpinan kepala sekolahnya adalah memiliki moral
kerja yang tinggi dan visioner ditandai dengan (1) memahami secara tepat
berbagai segi kegiatan sekolah dengan menggunakan daya kognitif dan daya nalar
secara teratur dan intensif, (2) responsif terhadap berbagai perubahan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), (3) keterampilan berkomunikasi secara
efektif, (4) melihat kepentingan sekolah sebagai keseluruhan, (5) berpikir dan
bertindak rasional serta objektif, dan (6) mampu menentukan prioritas secara
tajam (Sagala, 2010 : 127).
3.
Kepemimpinan
Guru
Kepala sekolah sebagai pemimpin adalah
metafora yang diterima umum, dengan guru sebagai pengikut atau guru sebagai
pekerja. Belakangan ini makin banyak literatur reformasi pendidikan yang secara
konsisten menekankan bahwa pemimpin yang efektif tidak menerapkan secara
langsung, tetapi sangat berpengaruh pada kemampuan sekolah untuk meningkatkan
mutu implementasi program – program dan keberhasilan akademik siswa. Namun,
dalam upaya menyesuaikan diri di sekolah, perbaikan dan akuntabilitas, guru di
semua tingkatan mengasumsikan kecenderungan peran lebih besar pada tanggung
jawab dan kepemimpinan dalam proses perubahan (Danim, 2010 : 176).
Di
Amerika Serikat, kepemimpinan guru (teacher leadership) dengan cepat
diakui secara luas sebagai faktor penting dalam pertemuan baru – baru ini
sesuai dengan mandat pendidikan federal dan negara bagian, seperti No Child
Left Behind. Menurut Roland Barth (2001) dalam Danim (2010 : 176),
pendukung kuat kepemimpinan guru di sekolah – sekolah, mencatat bahwa
setidaknya ada sepuluh area, dimana semua mempunyai dampak pada hubungan guru –
murid dan sangat penting untuk kesehatan sekolah yaitu memilih buku pelajaran
dan bahan pengajaran, membentuk kurikulum, menetapkan standar untuk perilaku
siswa, memutuskan apakah siswa diacak dalam kelas khusus, merancang
pengembangan staf dan program – program dalam jabatan, pengaturan promosi dan
kebijakan retensi, menentukan anggaran sekolah, mengevaluasi kinerja guru,
memilih guru baru, dan memilih pengurus baru (Danim, 2010 : 176 - 177).
Menurut
Wasley (1991) mendefinisikan kepemimpinan guru sebagai kemampuan mendorong
rekan – rekan untuk mengubah dan melakukan hal – hal dimana mereka biasanya
tidak mempertimbangkannya tanpa pengaruh pemimpin. Katzenmeyer dan Moller (2001)
mendefinisikan guru sebagai pemimpin bahwa: “Guru adalah pemimpin di dalam dan
di luar kelas, dengan mengidentifikasi dan memberikan konstribusi kepada
komunitas pembelajar guru dan pemimpin, dan mempengaruhi orang lain bagi
peningkatan mutu praktik pendidikan”. Liebermen (1992) menyatakan bahwa “Peran
kepemimpinan guru yang berkembang biak pada berbagai sekolah lebih besar
daripada sebatas yang dipikirkan”. Guru dapat berperan dalam kepemimpinan
informal atau formal dan sangat beragam di sekolah yang berbeda konteks. Peran
kepemimpinan guru juga bervariasi sesuai dengan pengalaman pengembangan
profesional mereka (Danim, 2010 : 177).
Pada
sisi lain, dalam PP 74 Tahun 2008 tentang Guru, sebagai turunan dari UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dalam Danim (2010 : 178) diamanatkan tentang beberapa
hal yaitu:
a.
Guru yang
diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan
struktural sesuai dengan ketentuan peraturab perundang – undangan.
b.
Penempatan pada
jabatan struktural dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan bertugas
sebagai guru paling singkat selama 8 (delapan) tahun.
c.
Guru yang
ditempatkan pada jabatan struktural kehilangan haknya untuk memperoleh
tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat
tambahan.
d.
Guru yang
ditempatkan pada jabatan struktural dapat ditugaskan kembali sebagai guru dan
mendapatkan hak – hak guru sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
e.
Hak – hak guru
yang berupa tunjangan profesi dan tunjangan fungsional diberikan sebesar
tunjangan profesi dan tunjangan fungsional berdasarkan jenjang jabatan sebelum
guru yang bersangkutan ditempatkan pada jabatan struktural.
f.
Ketentuan
operasional mengenai penempatan guru pada jabatan struktural dan
pengembaliannya pada jabatan guru diatur dengan peraturan menteri. Hal ini
mengisyaratkan bahwa konsepsi kepemimpinan guru harus dielaborasi menjadi
realitas karena guru bukan hanya melaksanakan kegiatan pembelajaran, melainkan
juga merupakan calon pemimpin masa depan.
Menurut
Katzenmeyer dan Moller (2001) dalam Danim (2010, 179) menjelaskan bahwa
pemimpin guru dapat melayani dalam tiga cara, yaitu :
a.
melalui
kepemimpinan siswa atau guru – guru lain sebagai fasilitator, pelatih, mentor,
spesialis kurikulum, atau memimpin kelompok belajar
b.
melalui
kepemimpinan atas tugas – tugas operasional agar sekolah tetap terorganisasi
baik dan bergerak menuju tujuannya dengan andil dalam aktivitas komite sekolah
dan melakukan penelitian tindakan
c.
melalui
pembuatan keputusan untuk melayani perbaikan tim sekolah, menciptakan kemitraan
bisnis, serta keterlibatan guru dalam asosiasio guru dan orang tua siswa atau
komite sekolah.
Terdapat
empat dimensi berbeda dari peran kepemimpinan guru menurut Harris (2002) dalam
Danim (2010 : 180) yaitu brokering, kepemimpinan partisipatif, mediasi
dan penempaan hubungan. Melalui broker, guru mampu menerjemahkan ajaran
perbaikan sekolah dalam praktik. Ketika beroperasi dalam peran kepemimpinan
partisipatif, guru merasa menjadi bagian dari perubahan atau pengembangan dan
perbaikan sekolah, serta bersama – sama membantu rekan – rekan guru dengan
mengambil peran mencapai tujuan kolektif. Pemimpin guru adalah sumber penting
informasi dan keahlian, serta dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya melalui
bertindak sebagai mediator. Sehingga akhirnya dengan membangun hubungan dengan
sesama mereka, dapat dikembangkan sebagai model dari teknik – teknik
kepemimpinan guru.
0 komentar:
Posting Komentar