Ibn al-Arabi merupakan seorang figur yang telah menjadi pusat
kontroversi didalam tradisinya. Dilihat dari sudut pandang ini, maka bukan
sesuatu yang aneh jika seseorang berinisiatif untuk menggunakan pemikiran figur
ini yang kontroversial ini sebagai sumber kajian bagi pemahaman tentang
keanekaragaman agama. Bagi mereka yang mempunyai keberatan serius terhadap
penggunaan figur ini disebabkan kontroversi dalam beberapa aspek pemikiran-nya.
Perspektif Ibn ‘Arabi tentang agama berbeda secara mendalam dari
asumsi metodologi Barat kontemporer tentang peranan dan fungsi umat manusia di
dalam alam semesta (cosmos). Tentu saja, kebanyakan sarjana agama tidak
menyuarakan asumsi mereka dengan cara itu, tetapi ini seperti asumsi yang tak
terkatakan yang menyajikan keumuman di antara mereka. Asumsi-asumsi ini mungkin
lebih mudah dinyatakan dalam term negatif ketimbang term positif. Sebagai
contoh, kesarjanaan modern berlawanan dengan kesarjanaan Islam tradisional tidak
mensyaratkan sebuah realitas paripurna yang menyatukan semua eksistensi, suatu
kebutuhan nyata bagi kehidupan umat manusia, suatu dimensi moral bagi aktifitas
manusia dan dunia alami, asal-usul ilahiyah dari agama-agama, atau kebenaran
teks-teks suci. Seseorang mungkin menjawab bahwa fundamentalis Kristen, sebagai
contoh, mensyaratkan beberapa atau semua hal tersebut, dan bahwa mereka tidak
memainkan peranan terhormat dalam lingkaran akademis. Saya akan tambahkan bahwa
mereka juga tidak mengetahui akan teknik penafsiran mereka yang sukar
dipisahkan atau evaluasi positif mereka mengenai pluralitas keagamaan.
Bagi Ibn al-Arabi, keanekaragaman secara esensial adalah karena
hakikat tidak berulangnya keanekaragaman jiwa manusia begitu mereka diwujudkan
oleh Yang Esa. Sebagai elemen fundamental dari dunia fenomenal, setiap manusia
secara alamiah merupakan mahall (secara literer berarti satu
“tempat/wadah” atau mazhar (lokus manifestasi)) dimana Yang Esa
menampakkan Diri-Nya dalam dan pada wilayah fenomenal. Karena tradisi agama
dipahami atau terpenuhi dalam kehidupan individu manusia yang terdiri dari
berbagai komunitas agama, perbedaan atau keragaman manusia sebagai manifestasi
tertentu dan berbeda dari Wujud Yang Esa, terefleksi dalam tradisi tertentu
sebagai suatu keseluruhan. Berbicara secara cukup terbuka mengenai isu
keanekaragaman agama, sang Master menulis:
Kamu hanya menyembah apa yang kamu tetapkan sendiri. Itulah
sebabnya doktrin serta hal mengenai Allah berbeda-beda sehingga salah satu
kelompok akan mengatakan bahwa Dia seperti ini dan yang lain akan mengatakan
Dia tidak seperti ini, melainkan seperti itu. Kelompok lain mengatakan
berkaitan dengan pengetahuan (tentang Tuhan) bahwa warna air ditentukan oleh
warna cangkirnya… maka pertimbangkan kondisi “ketersaingan/mistifikasi” yang
merasuki (sariyya) tiap kepercayaan/agama.
Ibn al-Arabi sangat senang mengutip sang master Sufi Baghdad abad
kesembilan belas, Abu al-Qasim Muhammad al-Junayd (d. 910), yang pernah
menggunakan metafora air diwarnai oleh wadahnya sebagai metafora “kesatuan
dalam keragaman”: “Warna air akan sesuai dengan warna wadahnya”. Akan tetapi,
kecintaan Ibn al-Arabi terhadap metafora ini tidak menunjukkan bahwa dia
memandang semua agama mempunyai makna sama, melainkan semata-mata bahwa,
sebagaimana elemen fundamental lain dalam tata aturan yang ada, semua agama
berasal dari Tuhan. Orang dapat meringkas atau memfrasa ulang interpretasi Ibn
al-Arabi terhadap metafora air yang dipakai oleh Abu al-Qasim Muhammad
al-Junayd dengan menegaskan bahwa jika air merepresentasikan Wujud Tuhan,
keanekaragaman agama direpresentasikan oleh warna atau warna-warna wadahnya.
Oleh karenanya, warna atau warna-warna secara langsung berkaitan dengan
“kesepian” agama tertentu untuk menerima manifestasi tertentu dari Yang Riil.
Terdapat beberapa agama yang mungkin bersifat monokromataik atau memiliki warna
sangat terbatas atau bahkan kabur. Agama-agama lain mungkin mempunyai
warna-warna yang lebih jelas, tetapi dengan nada atau kualitas yang berbeda,
dan seterusnya. “Dia Yang menampakkan Diri-Nya,” Ibn al-Arabi menulis, “dalam
arti Dia dalam Diri-Nya sendiri adalah Esa dalam entitas, tetapi yang
menampakkan diri-maksudku bentuk-bentuknya (misalnya keragaman agama)-adalah
beragam.
Karena masing-masing manifestasi Tuhan adalah satu dan tidak pernah
berulang, masing-masing agama juga adalah satu dan bersifat eksklusif. Karena objek
masing-masing agama adalah satu-yaitu “Tuhan di dalam agama “atau” Tuhan yang
disembah oleh masing-masing orang beriman” berbeda dengan Tuhan yang disembah
oleh yang lain. Sebenarnya, Ibn al-Arabi berusaha menegaskan pandangan ini
dengan membicarakan keragaman “Sembahan” (Rabb) yang merupakan manifestasi Yang
Esa:
Setiap orang beriman mempunyai satu Sembahan (Lord/Rabb) dalam hatinya yang dia wujudkan, lalu dia percayai.
Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang mempunyai tanda di hari kebangkitan nanti. Mereka tidak menyembah sesuatu kecuali apa
yang mereka buat sendiri. Itulah sebabnya, ketika Tuhan menampakkan Diri
dalam bentuk yang lain dari yang sudah mereka tandai, mereka ragu. Mereka
mengetahui apa yang mereka imani, tetapi apa yang mereka imani tidak mengetahui
mereka, karena mereka telah mewujudkannya. Menurut aturan umum, karya seni
tidak akan mengetahui siapa yang membuat karya, dan bangunan tidak mengetahui
siapa yang membangun.
Bagi
Ibn al-Arabi, penting bagi orang beriman untuk mengatasi atau pergi menuju sesuatu
yang berada di balik “ Tuhan yang diciptakan dalam agama “. Bagi sang master,
jalan Tasauf akhirnya akan membawa seseorang untuk jauh mengatasi atau pergi
menuju sesuatu yang berada di balik “warna” yang dibawa oleh afiliasi agama.
Aka tetapi, hal itu bukan berarti suatu rekomendasi untuk pendekatan
relativistik terhadap agama. Kita harus ingat, sebagaimana ditekankan
sebelumnya, bahwa dalam pemikiran Ibn al-Arabi, Hukum Tuhan (yaitu Shari’a)
sangat penting dalam realisasi mengenai yang Riil (la haqiqa bi la shari’a).
Dengan demikian, jalan menuju Tuhan harus difasilitasi oleh iman dan amal yang
murni dan paling benar yang dimungkinkan. Bagi Ibn al-Arabi, semua ini dapat
ditemukan dalam interpretasi dan amaliah yang benar dari sunah nabi Muhammad, penutup
para nabi yaitu yang biasanya dirujuk dengan “Islam”.
Kebanyakan
pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman agama berdasar pada
ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tradisi agama-agama selain Islam. Berbeda
dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa ayat-ayat eksklusif tertentu
dalam al-Qur’an menghapus(naskh) ayat-ayat inklusif tertentu di dalamnya
sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan bahwa islam menghapus agama-
agama yang ada sebelumnya, Ibn al-Arabi tidak mempunyai kesimpulan yang
demikian. Bagi Ibn al Arabi, semua agama wahyu (shara’i) adalah cahaya. Di
antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad adalah
seperti cahaya matahari di antara cahaya bintang-bintang lain. Ketika matahari
muncul, cahaya bintang-bintang lain akan tersembunyi dari cahaya tercakup dalam
cahaya matahari. Kondisi sebagai tersembunyi adalah seperti penghapusan
agama-agama lain dengan hadirnya agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad.
Sekalipun demikian hal itu sebenarnya tetap eksis sebagaimana eksisnya cahaya
bintang. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama inklusif kita diwajibkan untuk
percaya pada kebenaran semua rasul dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama
tersebut tidak menjadi tertolak (batil) dengan adanya penghapusan (naskh)- itu
adalah pendapat orang bodoh.
Apa
yang dikatakan Ibn al-Arabi pada dasarnya adalah merupakan kewajiban bagi
Muslim untuk mengikuti jalan yang dibawa oleh Rasul mereka, Muhammad dan
berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an. Pada saat yang sama, dia juga menekankan
bahwa hakikat al-Qur’an adalah inklusif, yaitu bahwa di dalamnya tercakup jalan
para Rasul sebelum Muhammad. Dia menulis:
Di
antara jalan yang ada adalah jalan yang diberkahi. Ini merujuk pada firman
Tuhan “ bagi masing-masing kalian, Kami telah menetapkan suatu jalan yang benar
dan hukum.
Ibn
al-‘Arabi menggangap bahwa tujuan agama adalah untuk membawa pada kesempurnaan
umat manusia pada tiga modus karya, kedudukan dan ilmu pengetahuan. Para nabi
adalah model-model yang memantapkan paradigma-paradigma kesempurnaan yang
berbeda. Ilmu pengetahuan adalah salah satu dimensi kesempurnaan, dan dalam
banyak cara merupakan hal yang paling penting dan dimensi yang paling
fundamental. Hal ini butuh pembedaan dan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya yang tepat. Dia menulis, “Karena seseorang bergerak mendekati
kesempurnaan. Tuhan memberinya pembeda di antara berbagai urusan dan pembenaran
baginya terhadap realitas. Realitas adalah segala sesuatu di alam semesta
(dunia/universe) yang diketahui oleh-Nya sendiri.
Daftar Pustaka
Almirzanah Syafa’atun, Ph.D., D.MIN.
2008. When Mistic Masters Meet (Paradigma Baru dalam Relasi Umat
Kristiani-Muslim). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chittick William C. 2009. Imaginal World
(Ibn al-‘Arabi and The Problems of Religious Diversity). Alih bahasa
Samantho Ahmad Y. New York: State University of New York.
0 komentar:
Posting Komentar