Ibn Al-Arabi
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
akhlak dan tassawuf
Dosen
Pengampu: Prof. Dr.
Syafaatun Almirzanah
Disusun
oleh:
Hafsyah
Siti Zahara (10670004)
Mafika Yekti Arweni (10670038)
Vika Puji Cahyani (10670044)
Hendra Budi Gunawan (11670018)
Beni Yanuar Dwi Satrio (12670037)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Dunia
Islam telah melahirkan para tokoh besar dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Bahkan diantaranya tak bisa ditandingi oleh tokoh-tokoh
cendekiawan dari dunia luar, baik ahli hukum, filsuf maupun para fisikawan dan
astronom serta matematikawannya. Dunia Barat sungguh berutang budi pada dunia
Islam, karena transfer pengetahuan abad pertengahan senantiasa melalui
interpretasi cendekiawan Muslim.
Tokoh
paling unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan seorang imam para
filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali, seorang ulama Islam yang jumlah
karya-karyanya tak tertandingi oleh ulama Islam mana pun. Ia adalah Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim, saudara Ady bin
Hatim ath-Tha'y. Kemudian ia biasa dipanggil dengan Abu Bakr, Abu Muhammad dan
Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan
al-Hatamy. Selain itu, ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang
Kibritul Ahmar. Walaupun lahir di Andalusia, namun bernasab Arab.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Ibn Al-Arabi
Ibn
al-Arabi mempunyai nama lengkap Abu Bakr Muhammad Ibn al-Arabi al-Hatimi
al-Tai. Ibnu 'Araby lahir kedunia bertepatan tanggal 17 Ramadhan, hari Senin,
tahun 560 H atau tanggal 29 Juli 1165 M di kota Marsia, Ibu Kota Andalusia
Timur. Sebuah kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama, cendekiawan dan
penyair besar Islam. Beliau dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan
”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”). Kendati tidak mendirikan tarekat popular,
pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid
terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun
filosofis (Narulloh,1994).
Beliau tumbuh di tengah-tengah keluarga sufi,
ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan
materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan yang masing-masing
membentuk ideologi kehidupan dan tingkah psikologis sehari-harinya. Kelak dari
keluarga inilah lahir filsuf besar, dan imam para sufi agung yang belum
tertandingi dalam dunia Islam. Ibunya adalah Nurul Anshariyah. Sungguh ibunda
agung ini, menyusui putranya dengan air susu taqwa, menyuapinya dengan suapan
mahabbah, mendidikknya lahir dan batin, hingga mencapai karakter dimana jiwa
ibunda telah berpisah dari kemanusiaan menuju karakter uluhiyah. Suatu ketika,
sufi besar Fathimah dari Kordoba berkata kepadanya, "Wahai Nurul
Anshariyah, anakmu ini, adalah "ayahmu", didiklah dengan baik dan
jangan kau batasi." Ibunda Ibnu 'Araby tidak terkejut dengan kata-kata itu,
dan ia terima dengan penerimaan yang baik (Narulloh,1994).
Sebagian
besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang
baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang
baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar disekolah resmi, hampir bisa
dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Beliau diajari Al Qur’an
oleh salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang kemudian
sangat dia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun. Sejak
menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai pendidikan
formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan
sarjana-sarjana terkenal mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih,
teologi, dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang
penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana (Narulloh,1994).
Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Arabi muda
sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara.
Kesempatan itu dimanfaatnya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka.
Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan
Ibnu Rusyd (w 595 / 1198) di Kordova. Ibnu ‘Arabi dikirim oleh ayahnya untuk
bertemu dengan filsuf besar Ibnu Rusyd
yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibnu Rusyd, dari
semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di
Eropa, karena ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles – Astronomi,
meteorologi, pengobatan, biologi, etika, logika – dan dan ulasan-ulasannya
berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian
menemukan kembali Aristoteles
(Narulloh,1994).
Percakapan
Ibnu ‘Arabi dengan filsuf besar ini
membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan
intelektual. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal
logis dan jalan imajinasi gnostik yang kemudian membagi pemikiran Islam secara
keseluruhan kedalam 2 cabang. Fakta bahwa sufi muda mengalahkan filsuf
peripatetik itu dalam tukar pikiran tersebut dengan tepat menunjukan titik
buhul pemikiran filosofis dan pengalaman mistik Ibnu’Arabi, yang memperlihatkan
bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam kesadaran
metafisisnya. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan paling dekat
dengan, dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibnu’Arabi adalah
seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia
bisa atau lebih tepat telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya
kedalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana terdalam dalam
hubungan dengan struktur metafisikanya kedalam waĥdatul wujūd (Narulloh,1994).
Pada usia relatif muda, sekitar usia 16 tahun,
beliau menjalani pengasingan diri (khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih
dari 150 tahun setelah wafatnya, diceritakan bahwa Ibnu ’Arabi suatu ketika
ikut pesta makan-makan bersama
teman-temannya dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan
daging lalu disajikan anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur,
tiba-tiba dia mendengar seruan, “Wahai Muhammad, bukan untuk ini engkau
diciptakan!” Karena ketakutan mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke
sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Disana ia menjumpai reruntuhan yang
mirip sebuah gua. Selama empat hari ia tetap tinggal disana sendirian melakukan
khalwat, melakukan zikir dan hanya keluar saat shalat (Narulloh,1994).
Ibnu’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk
mengikuti jejak ayahnya : Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan Al
Muwahiddin selama beberapa waktu, dan dijanjikan kedudukan sebagai asisten
untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai
periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh
pengalaman konvensi atau pencerahan. Kejahilan Ibnu’Arabi bukan merupakan masa
ia melakukan dosa besar atau tindakan yang melampaui batas, namun hanya
ketidakpedulian (terhadap Tuhan) dan godaan dari daya tarik duniawi. Ini adalah
masa yang hampir semua manusia pasti mengalami, agar mereka memahami makna
kejauhan dari Tuhan dan karena itu memahami makna kedekatan dengan Tuhan (Narulloh,1994).
Setelah
pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun
580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan
duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat
adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin bersama-sama mengerjakan shalat di
Masjid Agung Kordova. Beliau berkata, “Alasan aku menolak dan mengundurkan diri
dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku
terhadap jalan itu adalah sebagai berikut : aku pergi bersama tuanku, Panglima
(Al Muwahidin) Abu bakar Yusuf bin Abd al Mu’min bin Ali, menuju ke Masjid
Agung Kordova, dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon
pada Allah. Kemudian pikiran melintas (khatir) menerpaku (sehingga) aku berkata
pada diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana
dihadapan Allah, maka dunia ini tidak artinya”. Lalu aku meninggalkannya pada
hari itu juga, dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti Jalan
ini”. Begitulah, sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan
spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang diberikan
oleh Isa, Musa dan Muhammad
(Narulloh,1994).
Ibnu
‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani 638 H) dalam
usia 76 tahun. Qadhi ketua di Damaskus dan 2 orang murid Ibnu ‘Arabi melakukan
upacara pemakamannya. Tentang isteri-isterinya menurut R.W.J. Austin yang dapat
diketahui ada tiga orang yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla, Fathimah
binti Yunus bin Yusuf, putri seorang syarif di Makkah dan seorang wanita yang
tidak diketahui namanya, putri seorang Qadi ketua Maliki yang dinikahinya di
Damaskus. Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibnu ‘Arabi) tidak
diketaui namanya serta bagaimana nasibnya (Narulloh,1994).
B. Ajaran-Ajaran Ibn Al-Arabi
Pemikiran atau inti
ajaran tasawuf Ibnu Arabi :
a.
Wahdat al – Wujud
Diantara ajaran terpenting Ibn Arabi adalah tentang
kesatuan wujud (Wahdat al -Wujud) yaitu faham bahwa manusia dan Tuhan pada
hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu
yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam .Aspek luar
disebut makhluk (al- Khalq) aspek dalam disebut Tuhan (al haqq). Menurut
faham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan
dari aspek dalam tersebut
(Jamil, 2007 : 109) .
Sebagaimana doktrin doktrin beliau dalam kitab Futuhad
Al-Makkiyah dan Fushush Al-Hikam esensi KeTuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala
yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal
dan tanpa atribut( sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga
di luar pengetahuan. Dalam
esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi
dalam keTuhanan-Nya, Tuhan
membutuhkannya. Eksistensi
Tuhan adalah absolut, ciptaannya ada secara relative dan yang muncul sebagai relasi realitas
adalah wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala
sesuatu adalah atribut Tuhan dan dengan demikian semua pada akhirnya identik
dengan Tuhan,tanpa memandang bahwa semua itu sebenarnya bukan apa apa (Ali, 2004 : 147).
Ibnu Arabi menjelaskan lebih jauh : “manusia itu bagi tuhan adalah merupakan mata dengan mata, dimana mata
dapat melihat dan dilihat. Penglihatan ini diibaratkan dengan pandangan hingga
ia dinamakan manusia. Dengan manusia tuhan memandang kepada makhluk dengan
kasih sayangnya. Manusia itulah yang baru, yang melimpah, yang berkekalan, yang
abadi dan ia juga merupakan kalimah pemisahdan penghimpun. Dan jika tidaklah
zahir tuhan pada benda-benda makhluk niscaya tidak ada sifat-sifat dan
asma-Nya.dan manakala sudah kenal terhadapnya, kitapun mengenal dia dan melalui
tajalli-Nya kita mengenal alam semesta” (Laily, 1996 : 189-190).
Menurut Ibnu Arabi wujud semua yang ada ini hanya satu
dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan
antara keduanya dari segi hakikat.Adapun kalau ada yang mengira
bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut
pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap
hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpulkan dalam ucapan Ibn ‘Arabi, “Mahasuci
Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat
segala sesuatu” (Rosihan, 2004
: 176-177).
Pengertian ‘wujud’ yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah wujud
yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud menurutnya adalah wujud Tuhan,
tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain tuhan, baik berupa
alam maupun apa saja yang ada di alam, tidak memiliki wujud. Walaupun
kenyataannya Ibn ‘Arabi juga menggunakan kata ‘wujud’ untuk menyebut sesuatu
selain Tuhan, ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan, sedangkan
wujud yang ada pada alam pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan
kepadanya. Dengan demikian,
wujud itu hanya satu, yakni wujud Tuhan. Untuk memperjelas uraiannya itu, Ibn
‘Arabi memberikan contoh, yaitu cahaya hanya milik matahari, namun cahaya itu
dipinjamkan kepada para penghuni bumi (Rosihan, 2004 : 149).
Sehubung
dengan ini, Ibnu Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut :
“Pada
satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk,
maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakana,
penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang
memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu
sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan
yang tidak pula buyar”.
(Rosihan,
2004 : 145-149).
Ibn
Al Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah menampakkan diri
atau membuka diri, jadi
diumpamakan Allah bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan
sendirinya. Dengan teori ini
makhluk adalah bayang bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat
dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya. Lebih
lanjut Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam.
menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam
tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam
tempat tajali dan mazhar (penampakan
Tuhan). Menurutnya
ketika Allah menciptakan alam ini. Ia juga memberikan sifat sifat keTuhanan
pada segala sesuatu. Alam
ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa.oleh karena
itu Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini
merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus
menerus. Tanpa alam sifat dan asma-nya
akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam
ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya.yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun (Laily, 1996 : 189-190).
b.
Haqiqah Muhammadiyah
Konsep haqiqah Muhammadiyah ini lanjutan dari konsep
Wahdat al –Wujud. Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan
dari ajaran haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad .Menurutnya tahapan tahapan
kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu adalah
sebagai berikut:
1) Wujud
Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan
tidak berhajat kepada suatu apapun.
2) Wujud
haqiqah Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan ) pertama dari wujud Tuhan dan
dari sini muncul segala wujud dengan proses tahapan tahapannya.Selanjutnya
beliau mengatakan bahwa Nur muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi
degan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada
diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan merealisasikan dari Muhammad
pada diri pengikutnya dari kalangan para wali dan insan
kamil (Laily, 2002 : 153).
Dalam
teori penciptaan ini Ibnu Arabi menganut faham tajalli atau tanazul (menampakkan diri). Dalam pandangan Ibnu
Arabi bahwa Nur Muhammad (haqiqah muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari
tahapan tahapan tanazul zat Tuhan dalam bentuk bentuk wujud. Dari haqiqah
muhammadiayah segala yang maujud dijadikan. Dengan demikian penciptaan alam
semesta ini termasuk manusia dalam teori Ibnu Arabi berasal dari zat Tuhan
sendiri kemudian bertanazul kepada haqiqah muhammadiyah sebagai tanazul tingkat
pertama yang dari padanya melimpah wujud wujud yang lain. Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat (penampakan) Allah
pada lingkaran wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan
keagungan yang abadi. Zatnya merupakan sumber pancaran yang
tak pernah habis keindahan dan keagunganNya. Ia merupakan perbendaharaan yang
tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin
membuka perbendaharaan tersembunyi tersebut dengan Tajalliyat (teofani) Haq
tentunya yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya. (Simuh, 1997 : 197).
c.
Wahdat al - adyan (kesamaan
agama)
Ibnu Arabi yakin bahwa umat manusia dan agama-agama yang
tumbuh ditengah-tengah umat manusia itu adalah memiiliki prinsip dasar yang
sama yaitu menyembah kepada Allah Yang Maha Esa. Kitab-kitab suci alqur’an,
zabur, taurat, injil dll memiliki prinsip ajaran dasar yang sama, sedang yang
berbeda itu adalah syariatnya saja. Demikian juga masjid, gereja, kelenteng dll
melaksanakan ibadah dalam berbagai cara, namun yang dituju adalah Yang Maha Esa
itu. Perbedaan antara satu agama dengan agama lain hanyalah dalam lambang dan
simbol yang ditonjolkan bagi masing-masing pengikut. Umat manusia dan Tuhan
yang disembah adalah satu jua, kapan pun mereka hidup dan dimanapun mereka
berada (Laily, 1996 : 192).
C. Karya Ibn Al-Arabi
Ibn ‘Arabi tidak menulis seperti penulis
biasa. Ia pernah berkata,“Apa yang telah aku tulis, tidak pernah tertulis
dengan satu tujuan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Cahaya-cahaya dari
inspirasi Ilahi sering terpancar kepadaku dan hampir menyelubungiku, hingga aku
hanya bisa mengekspresikannya dari pikiranku dan mencatat di kertas apa yang
telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku tampak berupa sebuah komposisi, itu
terjadi tanpa disengaja. Sebagian karyaku, telah kutulis karena perintah dari
Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku di dalam mimpi atau melalui kasyaf.
Kalbuku berpaut di pintu Hadirat Ilahi, menunggu dengan penuh kesadaran apa
yang akan datang ketika pintu itu terbuka. Kalbuku fakir dan membutuhkan,
kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada kalbu dari balik
tirai, kalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang sudah
ditentukan.” (Narulloh,1994).
Karya-karya Ibn ‘Arabi sangatlah banyak,
diantara sekian banyak itu ada beberapa karya yang terbesar. Karya-karya
tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
1.
Al-
Futuhat Al Makiyyah
Karya Ibn ‘Arabi yang
terbesar adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang
membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga
tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat,
tegas Ibn ‘Arabi, bukanlah satu karya individualis, tetapi, “Ketahuilah bahwa
susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku sendiri
maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku semua
yang telah kutulis lewat malaikat inspirasi.”
Karya besar Ibn ‘Arabi ini ia selesaikan di Damaskus,
tempat terakhirnya menetap hingga akhir hayat.Dalam kitab Futuhat, dia
menyebut-nyebut dua saudara laki-laki ibnya yang sufi, Abu Muslim Al-Khawlani
dan Yahya bin Yughan. Tentang Al-Khawlani, Ibn Arabi
mengisahkan bahwa dia akan memukuli kakinya dengan tongkat manakala merasa
lelah mengerjakan sholat. Dia diriwayatkan pernah mengatakan, “Apakah
Sahabat-sahabat Muhammad saw mengira bahwa mereka bisa memiliki beliau sepenuhnya,
demi Allah, kita akan berdesak-desakan dengan mereka sampai mereka menyadari
bahwa mereka telah meninggalkan orang-orang di belakang mereka (yang lebih
berhak dan pantas memiliki beliau)”
(Narulloh,1994).
Kitab
futuhat juga tertuang mengenai istrinya, Maryam. “ Istriku yang saleh, Maryam
binti Muhammad bin ‘Abdun mengatakan, “ Aku telah melihat dalam tidurku
seseorang yang belum pernah kulihat sendiri sosok orangnya, tetapi muncul pada
saat-sat ekstaseku. Ia bertanya kepadaku pakah aku ingin menempuh jalan itu.
Aaku pun menjawab ya, tapi aku tidak tahu dengan sarana apa aku bisa sampai
kepadanya. Ia lalu memberitahuku bahwa aku akan bisa sampai kepadanya dengan
lima hal : amanah, keyakinan, kesabaran, keteguhan hati, dan kejujuran.”
Begitulah, isteriku mengemukakan visinya kepadaku (untuk kurenungkan) dan aku
pun mengatakan kepadanya bahwa yang demikian itu memang metode yang ditempuh
oleh kaum Allah.” (Narulloh,1994).
2.
Tarjuman
Al-Asywaq (koleksi puisi terbaik)
Puisi ini dikritik oleh
para ulama karena terlalu mengumbar kenikmatan dan sangat bersifat duiniawi,
karena berisi pujian atas keelokan tubuh seorang wanita yang ia jumpai di
Makkah. Akan tetapi sahabat Ibn ‘Arabi mendesaknya untuk menulis komentar dengan
mempertahankan integritas komposisi dan gubahannya. Dalam komentar ini, dia
berbicara tentang wanita cantik sebagai berikut : “Ketika aku tinggal di
Makkah, di sana aku bertemu dengan banyak pria maupun wanita yang sangat
terhormat, beradab dan shaleh. Tak ada satu pun di antara mereka yang
membangga-banggakan diri, sekalipun mereka memiliki berbagai keutamaan dan
kemuliaan ; orang-orang seperti…Abu Syaja Zhahir bin Rustam bin Abu Raja
Al-Isfahani dan saudara perempuannya, Binti Rustam, seorang wanita tua alim,
seorang teladan cemerlang di kalangan kaum wanita…Syaikh ini mempunyai seorang
anak gadis, seorang dara langsing dan semampai yang memikat orang yang
melihatnya, yang kehadirannya menerangi pertemuan-pertemuan dengan sinar
cemerlang…Namanya adalh Nizham (keselarasan) dan nama panggilannya adalh ‘Ayn
Al-Syams (mata sang surya). Dia sangat religius, alim, zuhud, seorang bijak di
antara orang-orang bijak di tanah Suci itu” (Narulloh,1994).
3. Fushush Al-Hikam
Fushush
al-Hikam, menurut Ibn ‘Arabi adalah pemberian dari Nabi
sendiri. “Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam,
dalam satu penglihatan batin (“mubasysyirah”) yang telah diperlihatkan
kepadaku di sepuluh hari terakhir di bulan Muharam pada tahun 627 di kota
Damisyq. Dan di tangan beliau, ada sebuah kitab. Beliau berkata kepadaku: ‘Ini
adalah kitab Fushush Al-Hikam. Ambillah ia dan sampaikanlah ia kepada
manusia dan manfaatkannya.’ Dan aku berkata: ‘Aku dengar dan aku taat Allah dan
Rasul-Nya dan Ulil Amr dari kalangan kami sebagaimana yang telah diperintahkan
kepada kami.” (Narulloh,1994).
Jelas
dari kalimat Ibn ‘Arabi, kitab Fushush al-Hikam bukanlah karyanya
sendiri. Tetapi secara esensial ia adalah kitab dari Sumber Ilahi. Ibn ‘Arabi
sekadar menyatakan kitab tersebut dalam bentuk tulisan. “Maka aku pun
mengaktualisasikan pesan tadi, dan mengikhlaskan niat, serta memfokuskan
keinginan dan aspirasi untuk menyatakan kitab tersebut sebagaimana yang telah
ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa penambahan dan
pengurangan.” (Narulloh,1994).
Tentang nama kitab
ini, Qaysari menafsirkan ketika Ibn ‘Arabi memberitahu, “Ini adalah kitab Fushush
al-Hikam”, ada kemungkinan di sini beliau ingin memberitahu bahwa nama
kitab tersebut di sisi Allah adalah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi
menamakan kitab itu sesuai dengan namanya di sisi Allah. Sudah
tentu antara “nama” (al-ism) dan “yang dinamakan” (al-musamma)
akan ada relasi. Dan namanya menandakan bahwa “yang dinamakan” adalah intisari
(quintessence) hikmah-hikmah dan rahasia yang telah diturunkan kepada
arwah para nabi yang disebut dalam kitab itu. Al-Fashsh juga berarti
tempat terletaknya batu-cincin atau cap-cincin (seal). Karena kalbu
insan kamil adalah tempat tertulisnya hikmah Ilahiah, maka itu kalbu diumpamakan
sebagai al-fashsh. Dari itu kata Fushush al-Hikam berarti tempat
terletaknya batu-cincin yang bernilai atau dengan kata lain, ia adalah
kalbu-kalbu insan kamil yang terletak dan terkandung di dalamnya hikmah dan
rahasia Ilahiah. Dan insan kamil di sini direpresentasi dengan para nabi, yang
kalbu mereka adalah lokus termanifestasinya hikmah Ilahiah (Narulloh,1994).
Ibn ‘Arabi
mendefinisikan manusia sebagai insan, dalam hubungannya dengan ruh kebenaran
yang membentuk jiwa-jiwa atas pengesahan atas ridho-Nya terhadap
ketetapa-ketetapan yang telah diijinkan kepada hamba-hambaNya yang telah
mencapai insan Kamil. Sebagai contoh, semua yang dilakukan Rasulullah SAW
adalah ‘benar’ menurut Allah SWT karena beliau maksum, dan semua sunnah-sunnah
yang dilakukan, bila diikuti secara kaffah, maka akan menjadi benar bagi ummat,
kecuali orang tersebut tidak lagi bertauhid, maka akan keluar dari garis
Rasulullah. Dan cerminan ini digambarkan Ibn Arabi dalam
kausalitas manusia dengan alam, sebagai keterikatan yang tak terpisahkan,
sesuai firman-Nya tentang penciptaan alam semesta dengan dasar yang terikat
dengan penciptaan Muhammad SAW,
serta
keberlangsungan alam semesta berkaitan dengan keberlangsungan ‘manusia
sempurna’ (Nabi, Rasul serta Wali-Nya) (Narulloh,1994).
Dalam penjabaran
tentang malaikat, Ibn ‘Arabi memaparkan kedudukan mereka serta
pembatasan-pembatasan atas pemahaman malaikat atas ilmu-Nya, dan malaikat tidak
mampu melebihi manusia (bila diizinkan mencapai-Nya), sebagai bentuk atas
utusan, kekhalifahan, serta wakil-Nya, di mana disimpulkan, bahwa malaikat
terbatas dalam sifat-sifat dan nama-nama yang baik (dalam anggapan manusia) dan
dalam ridho-Nya. Karya-karya Ibn ‘Arabi yang lain adalah Insya’ Al-Dawa’ir,
Hilyat Al-Abdal, Taj Al-Rasa’il, Ruh Al-Quds, Al-Tanazzulat Al-Mawsilyyah dan lain-lain
(Narulloh,1994).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ibn ‘Arabi setelah bertemu dengan Ibnu Rusyd dan mengalami
pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri
dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir
yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin
bersama-sama mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova, saat dia melihat panglima itu bersimpuh, sujud dengan
rendah hati memohon pada Allah.
Sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan spiritual dan
penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Isa,
Musa dan Muhammad.
2.
Inti
ajarannya :
a.
Wahdat al –wujud : Konsep wahdat al Wujud yakni Bahwa
manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
b.
Haqiqah Muhammadiyah : Dalam pandangan Ibnu Arabi bahwa
Nur Muhammad (haqiqah muhammadiyah) adalah tahapan pertama dari tahapan tahapan
tanazul zat Tuhan dalam bentuk bentuk wujud. dalam teori Ibnu Arabi penciptaan
alam semesta berasal dari zat Tuhan sendiri kemudian bertanazul kepada haqiqah
muhammadiyah sebagai tanazul tingkat pertama yang dari padanya melimpah wujud-wujud
yang lain.
c.
Wahdat al - adyan (kesamaan agama) : Ibnu Arabi yakin
bahwa umat manusia dan agama, kitab, lambang, dan simbol yang tumbuh ditengah-tengah umat manusia
memiiliki prinsip dasar yang sama yaitu tertuju kepada Allah Yang Maha Esa.
3. Karya Ibnu
Arabi
Ibnu ‘Arabi menghasilkan banyak
karya, sejumlah 300 buku. Di antara buku-buku itu, yang dikenal adalah Fushush
al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah juga Tarjuman al-Asywaq adalah karya
besarnya. Ia pernah berkata bahwa apa yang telah ia tulis, tidak pernah
tertulis dengan satu tujuan melainkan terinspirasi dari cahaya-cahaya Illahi
hingga ia bisa mengekspresikannya dengan mencatat di kertas apa yang telah
ditampakkan kepadanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Mahdi Khan. 2004. Dasar Dasar Filsafat Islam : Pengantar Ke
Gerbang Pemikiran. Bandung
: Nuansa
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf.
Bandung: CV Pustaka Setia
Jamil, M. 2007. Cakrawala Tasawuf:Sejarah,Pemikiran dan Kontekstualitas. Jakarta: GP
Press
Mansur, Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Narulloh, M.S.
1994. Sufis of Andalusia karya Ibn Arabi.
Bandung : Mizan
DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR
BalasHapusBONUS CASHBACK SLOT GAMES 5%
BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
Bonus di Bagikan Setiap Hari Kamis pukul 11.00 wib s/d selesai
Syarat dan Ketentuan Berlaku ya bosku :)
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.biz
UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
WHATSAPP : (+855 88 876 5575 ) 24 JAM ONLINE BOSKU ^-^